Ayah sedang menonton berita di ruang tv, sendirian. Kulihat bang Tegar belum pulang, aku menghampiri ayah dan memeluknya.
"Gimana Prima?"
"Sudah mendingan."
"Tadi Prima yang antar?"
"Bukan, Kafka."
"Si monyet itu?"
Aku tertawa, "iyah. Dia yang nemenin mas Prima di ruko sekarang. Kasian kalau tidur sendiri, takutnya perlu bantuan malam-malam."
"Iya. Lagi seneng banget, si monyet ngomong apa?"
"Dih, kok si monyet sih. Gak ayah.. Yah, kalau tahun depan Naya nikah. Gimana?"
"Ah kecepetan, tiga tahun lagi deh." Ayah mengganti channel tv.
"Tuh kan, setiap hari aku disuruh bawa calon. Sekarang udah ada, malah di pending tiga tahun." Aku cemberut.
"Heheh, ayah kan bercanda dek. Kamu digituin aja baper deh."
What?
"Ayah kok tahu baper sih, kayak abege aja."
"Tahu dong, biar gahol gitu loh."
"Idiihh, jangan gaul-gaul ah. Nanti ayah ikut-ikutan main Bigo deh."
"Nah itu, gimana caranya?"
Aku menatap ayah sambil mengernyitkan dahi.
"Arul seneng banget main itu, ayah jadi penasaran."
Duh ayah ini, sejak ada anak magang di kantornya jadi kekinian banget kalau ngomong. Eh sekarang, malah tahu-tahuan sama Bigo.
"Jangan ayah, mending download e-quran. Biar bisa tadarusan dimana-mana."
"Bisa aja anak ini." Ayah menepuk lenganku pelan, "ngomong-ngomong calonnya siapa emang?"
Aku nyengir malu-malu, "hehehe, belum ada sih."
"Huuu dasar PHP!" Ayah mencubit pipiku.
Oh ayahku!
***
Aku membuka email dan mendapatkan announcement darurat meeting. Ini sudah pasti melibatkan ketiga founder yang akan turun di meeting sekarang. Aku masih punya waktu 20 menit untuk merampungkan editanku.
"Nay, ada apa sih?" Tiara menggeser kursinya ke mejaku.
"Eh eh ikutan, kenapa kenapa?" Sissy kini duduk di hadapanku.
"Ya mana gue tahu!" Jawabku sambil mengedikkan bahu.
"Huu, penonton kecewa. Sebagai orang yang ngefans berat sama bos 1, lu mestinya tahu segala hal." Tiara mencibir, Sissy mengangguk menyetujui.
"Kamprettt!"
"Katanya ada plagiat." Sissy memberi informasi.
"Kata siapa lo?" Aku tak percaya.
"Farhan. Eh tapi diem-diem aja ya, intinya gitu deh. Eh atau kita yang dituduh plagiat ya. Gue lupa, hehehe." Sissy menggaruk-garuk kepalanya.
"Heum."
"Lo ikut meeting, Ra?"
Karena biasanya Tiara hanya meeting bertiga atau berempat dengan founder. Sebagai satu-satunya staf yang mengurus management dan administrasi, Tiara jarang terlibat dalam meeting proyek.
"Ikut kok." Jawab Tiara.
Kafka turun, dengan rambut yang masih basah dan keriting. Menyapa kami semua dan berjalan keluar.
"Aduh, lemah iman gue liat rambut tuh monyet abis keramas." Sissy meremas-remas kertas.
"Halah, lo mah liat Sandy nganter kopi aja lemah iman lo!" Tiara mencibir, aku tertawa.
Aku belum bertemu mas Prima hari ini, dia belum turun. Juga tidak berani menanyakan keadaannya via w******p, mas Prima juga tidak ada memberi kabar padaku. Mendadak aku ragu, yang kemarin mungkin hanya ucapan mas Prima yang tidak sadar. Atau karena sedang sakit, dirinya merasa ketakutan dan mengatakan hal itu untuk membuatku tetap tinggal. Entahlah.
Derri datang membuka 3 lusin jco yang dilambaikan ke arah kami.
"Langsung ke lantai dua ya girls!" Katanya sambil lalu.
Sissy bergerak dengan semangat mengambil catatan dan laptopnya, lalu mengikuti Derri menuju lantai dua. Serentak aku dan Tiara memakinya, "dasar gembuuullll!" Sissy tertawa manja.
Aku membereskan meja dan membawa catatanku, mengajak Tiara menyusul Sissy yang mungkin sedang menguasai 3 lusin jco itu sendirian.
Di ruangan rapat sudah ada Derri, Farhan, Teddy, Sissy. Mas Prima belum turun juga, dan Kafka belum kembali. Entah kemana. Aku mengambil bangku di sebelah Derri.
"Gimana warung kopi, rame?" Aku menyapa Derri yang tampil klimis kali ini.
"Rame alhamdulillah, bisa lah nabung buat beli Wrangler."
Aku tertawa, Derri juga asyik. Dan menolak dipanggil abang, kayak abang bakso katanya. Mas Prima masuk ketika aku menelengkan kepala ke arah pintu, di belakangnya Kafka datang membawa plastik berisi minuman botol kemasan.
Mas Prima mengenakan sweater tanpa lengan berwarna merah hitam, di luar kemeja merah marunnya. Wajahnya terlihat lebih segar, meski hidungnya masih merah. Melihatku sekilas dan tersenyum samar sambil menyapa semuanya. Tak ada yang berubah, seolah hal kemarin tidak ada. Dadaku berdenyut, nyeri.
Fokus Naya!
Kafka menjatuhkan tubuhnya di sebelahku, membuka plastik dan menyebarkan minuman di atas meja. Sementara mas Prima masih sibuk dengan laptopnya sambil berbicara dengan Derri.
"Gaes gue dapat laporan tentang media online yang sama banget dengan kita. Di beberapa artikel bahkan, kita sangat mirip dengan mereka. Entah gaya penulisan, bahasa dan konten-nya. Bahkan sebuah thread di kaskus 'membongkar' CRAP yang dianggap melakukan plagiarsm." Mas Prima menarik napas, tatapannya jatuh padaku. "Naya, jelasin bagaimana bisa tulisan kita sama persis dengan mereka?"
Aku mengerjap, Kafka menyodorkan laptop yang terbuka. Disana terpampang sebuah media online dengan tampilan persis seperti CRAP, bahkan namanya TRAP. Semua artikel yang terbuka sama persis dengan yang aku posting dan publish dalam laman CRAP. Bagaimana bisa?
Sebelum posting aku melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tulisan ini belum pernah di publikasikan dalam situs manapun. Bagaimana bisa aku kebobolan sampai puluhan, bahkan ratusan artikel?
"Ini pasti mirror system." Aku mengusap wajah dengan cepat, "aku make sure semua artikel siap publish adalah tulisan pertama dari semua penulis."
Mirror system sempat masuk dalam salah satu artikel yang ku-posting. Dimana si plagiator melakukan penyadapan dan masuk ke dalam sistem yang diplagiat untuk mendapatkan 'makanan' berupa segala hal yang di-publish oleh web inang. Karena setiap system punya celah.
Kafka mengangguk, "gue kira memang begitu, coba perhatiin polanya. Ini plagiat otomatis. Setiap tulisan yang dipublish Naya, akan muncul otomatis di web ini. Liat jam publishnya, di jam yang sama dengan CRAP."
"Analisa kita belum cukup, Teddy sudah bedah celah yang bisa ditempelin penyadap. Sampai detik ini, kita belum ketemu ada sistem yang bocor sampai di tangan plagiator. Mirror system bisa terjadi kalau si plagiator nempelin system kita dan itu bisa terlacak." Entah mengapa, aku merasa mas Prima meragukan analisaku. "Coba Kaf, lo bongkar laman si plagiator. Cari titik yang menghubungkan dengan CRAP".
"Sy, lo masuk ke semua sosmed yang menggunakan forum, sharing thread dan artikel umum. Lo tandai yang dapat sumber dari CRAP dan TRAP." Derri menunjuk Sissy, cewek montok itu langsung berselancar dalam dunia maya.
"Farhan, lo telusuri thread maker di kaskus yang buat berita soal bongkar CRAP. Dia pasti salah satu orang dibalik TRAP." Mas Prima mengarahkan telunjuk panjangnya ke arah Farhan, yang disambut anggukan mantap cowok hitam manis itu.
"Gue dapat ip address-nya nih." Teddy bersuara.
"Acak-acak Ted!" Kafka menggeram.
"Cek dulu, kalau kapasitas besar gue mau proses secara hukum. Yang penting kantongi bukti."
"Kalau kerjaan bocah SMK yang baru belajar nge-hack gimana?" Kafka bertanya dengan seringai usil di wajahnya.
"Perkosa rame-rame!" Aku tersedak mendengar jawaban Derri, mas Prima tertawa kecil.
Aku tahu maksudnya tidak secara harfiah, tetap saja terdengar mengerikan di telingaku.
"Gotcha!" Kafka sampai lompat dari kursinya dan menghampiri mas Prima. "Nih celahnya, ya ampun simple banget gini."
"Pake psikologi terbalik doi, biar kita mikirnya ruwet dulu." Teddy menimpali.
"Dapet mas, cewek anjir! Nih mas." Farhan membelokkan laptopnya ke mas Prima, seketika apapun yang dilihatnya membuat mas Prima kaget dan shock?
"Case closed. Gue urus sendiri soal ini." Katanya tiba-tiba.
Case closed?
Mas Prima seketika berdiri dan mengeluarkan kunci mobilnya. "Gue cabut dulu, sialan! Gue urus ini sendiri." Wajahnya marah, aku gak mengerti apa yang membuatnya marah. Cowok-cowok saling pandang, Farhan terlihat salah tingkah.
Baru kali ini aku melihat mas Prima sebegitu gusar dan penuh emosi. Mas Prima sudah pergi tapi kami masih berkumpul di ruang rapat, sambil membuka jco yang dibawa Derri kami membicarakan soal tadi.
Kafka dan Derri malah merebut laptop Farhan dan mengamati sumber masalah yang membuat mas Prima hilang kendali. Seketika Kafka menghempaskan diri ke kursi bekas mas Prima duduk tadi. Mengusap wajahnya pelan.
"Cari mati si Ola." Katanya.
"Ola? Siapa tuh?" Tiara bertanya pada Kafka.
"Aurora, mantannya mas Prima." Aku merasakan kedutan nyeri di dadaku lagi.
Dan muncul lah obrolan tentang Aurora yang datang kembali merebut perhatian mas Prima. Tapi karena satu dan lain hal, mas Prima memutuskan tidak lagi kembali dengan Aurora. Membuat gadis itu kesal dan memancing mas Prima dengan melakukan pembajakkan situs media online kami. Yah seenggaknya itu yang Kafka yakini, karena dia melihat mas Prima yang terang-terangan menghindari Ola, gadis itu biasa dipanggil.
Kukira mas Prima masih mengharapkan dia, tapi kenapa berita ini mengindikasikan hal sebaliknya. Apakah ada hubungannya dengan permintaan mas Prima kemarin? Aku bingung, clueless dan gak tahu mesti gimana. Gak mungkin aku menceritakan hubunganku dengan mas Prima pada salah satu dari mereka.
Mas Prima akan menjelaskannya kan padaku? Tentang Aurora dan semua ini? Begitukan orang pacaran, saling terbuka.
"Terus jadi mau diperkosa rame-rame?" Farhan bertanya asal.
"Wah itu jatah Prima aja, anak buah mah gak kebagian." Derri menimpali sambil tertawa, tak tahu bahwa hatiku terluka mendengarnya.
Baru sehari, sudah begini. Apa aku sanggup bertahan sampai besok? Tetap tak dilihat, tak diakui dan harus mendengar semua ini? Rasanya memendam perasaan sendiri seperti kemarin jauh lebih baik.
Aku memutuskan untuk turun dan kembali ke mejaku. Kurasakan sebuah tangan merangkul bahuku lembut, aku menoleh dan Kafka sedang menghisap rokoknya tanpa memandangku, mengajak pergi dari ruang rapat.
"Gak nyela gue?" Aku bertanya malas, sebuah tawa lolos dari mulut Kafka.
"Orang patah hati masa gue cengin, bisa gantung diri nanti." Sahutnya.
Aku tidak menyanggah kata-katanya, "kapan dinas lagi?" Tanyaku.
"Masih 11 hari lagi disini, kenapa? Masih kangen ya?" Alisnya naik turun dengan cepat, membuatku mendengus sebal.
"Suruh majuin kek, empet gue liat lo!" Kafka terbahak dan menjitak kepalaku ringan.
Masih ada Kafka, setidaknya aku punya tempat melampiaskan kesal. Dan Kafka cukup peka membaca suasana hatiku, thanks ya Kaf.
~tbc~