5. Perihal minuman

1563 Words
Mendengar teriakan Bella, Vivi segera sadar, mendorong tubuh Destra yang kekar itu kemudian berdiri. “Mbak, ini ngga seperti yang kamu li-” Belum selesai Vivi bicara, Bella maju dan menampar gadis yang belum lama menjadi madunya itu. Memang benar, sah bagi Vivi dan Destra untuk melakukan hubungan intim, tapi bukankah pernikahan mereka terjadi karena tidak sengaja dan akan segera berakhir. Dan, ya. Sampai kapanpun Bella tidak akan menerima pernikahan sialan itu. “segitu rendahnya kah dirimu sampai menjajakan tubuhnya dengan percuma untuk suamiku, Vi?” Bella menatap Vivi penuh kecewa. Sementara Vivi hanya diam, menikmati rasa sakit di pipi dan juga di hatinya. Ucapan Bella kali ini terlalu menyakitinya. “Dasar bodoh, lagipula bagaimana bisa kamu tertangkap basah tidur dengan Destra lagi?” rutuk Vivi dalam hatinya. Seperti telah masuk ke dalam lubang yang sama, Vivi begitu merasa bersalah. Namun, Destra yang baru selesai merapihkan bajunya segera menghampiri Vivi dan mengusap pipi gadis itu. Bella yang melihat itu tentu naik pitam, “Mas!” “Ada apa? Bukankah tidak ada yang salah jika saya dan Vivi melakukan hal itu karena kami sudah sah!” Bella bungkam. Destra memang benar, “Tapi, Mas?” “Sudah! Tidak ada tapi-tapian. Vivi siapkan makanan, saya lapar. Dan kamu, ikut saya!” Destra menarik tangan Bella, menyeret wanita yang telah 3 tahun menjadi istrinya itu dengan sedikit kasar. “Lepas!” ucp Bella kasar. Jujur, Bella marah, benci bercampur bingung. Di satu sisi dia begitu marah dengan Vivi dan Destra tapi di sisi lain Destra juga bersalah dengan telah menikah lagi. Apalagi dengan kesalahan mereka sendiri. Haruskah dia yang hanya jadi korban ini mengalah dan menerima saja? Tidak! Bella tidak akan menerimanya. “Bella, saya dan Vivi sudah menikah. Saya harap kamu bisa menerima dan bahkan berteman baik dengannya,” tutur Destra sontak membuat Bella menatapnya tajam. “Mas! Kalian yang bersalah, kalian juga yang telah menghianatiku. Haruskah aku mengalah dalam hal ini?” Bella mulai menangis, memeluk Destra yang selalu menjadi pelindung baginya selama ini. Dan apa sekarang? Dia harus siap belahan jiwanya dibagi dengan wanita lain? “Maafkan saya, tapi saya hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan malam itu,” ujar Destra dengan mata kosong. Bella yang kesal mencoba menahan amarahnya, kemudian mengangkat kepala menatap Destra, “Mas, tidak bisakah kamu ceraikan Vivi saja? Aku menginginkan keluarga kita kembali dengan utuh, tanpa wanita itu.” “Kamu?” Sedikit tak suka, Destra kembali menaikan suara. “Ada apa? Bukankah Mas bilang tidak sengaja melakukannya? Jadi, mas berikan saja Vivi uang yang banyak sebagai rasa tanggung jawab. Dan jika mas takut Vivi hamil, kita ambil saja bayi itu setelah dia lahir. Aku siap merawat dan mencintai darah daging Mas itu,” ungkap Bella. Terdengar sedikit memberi solusi, tapi Destra yang tidak mau gegabah segera memeluk Bella yang akhir-akhir ini manja dan bersikap lembut padanya. “Akan kupikirkan nanti,” ungkap Destra sontak membuat Vivi yang ternyata ada tak jauh dari kediaman mereka meneteskan air mata. Awalnya Vivi yang baru selesai masak dan ingin memberi tahu suaminya jika apa yang dia minta telah siap, Vivi begitu bersemangat karena Destra mencoba memberi keterangan pada Bella jika mereka sudah menikah tadi. Ya, Vivi merasa di akui dan terlindungi. Tapi apa ini? Tak butuh waktu lama, pria tampan yang memang diam-diam sering Vivi kagumi dulu itu membuatnya kembali menangis. Hendak kembali dan melanjutkan menangis. Tapi sial, sesuatu jatuh saat Vivi tak sengaja menyenggolnya, membuat Bella dan Destra sadar kemudian menatapnya. “Vivi?” Destra segera melepaskan pelukan, menyingkirkan Bella kemudian menghampiri Vivi. Sementara Bella yang tahu Vivi menguping segera menarik bibir lebar. Puas dengan jawaban Destra tadi. “Vivi, kamu tidak apa-apa?” tanya Destra begitu terdengar khawatir di telinga Vivi. Tapi Vivi kembali sadar, “Destra berlaku seperti itu hanya karena rasa tanggung jawab, Vi. Tidak lebih!” “Tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu anda jika masakannya sudah selesai.” Segera membalikan badan dan pergi dari sana. Vivi merasa sakit hati atas ucapan Destra tadi. Benarkah itu artinya Vivi mulai jatuh hati dan berharap pada Destra? Entahlah. Yang pasti Vivi akan menghubungi Viola kali ini. Dia perlu tekanan fitnah orang tuanya lagi. Agar dia sadar. “Vi….” Destra yang sejak tadi memperhatikan air muka Vivi mencekal tangan gadis itu. Entah benar-benar karena rasa bersalah itu atau apa, tapi yang pasti jantung Destra selalu terguncang jika dekat dengannya. Destra juga khawatir jika gadis itu berpikiran yang aneh-aneh tentangnya. Padahal dulu dia begitu tidak peduli, hanya melihat Vivi sebagai sekertarisnya yang lincah dan cerdas, tidak lebih. Tak mengugbris, Vivi yang sejak tadi sibuk menyiapkan makan malam hanya diam membiarkan Destra kembali bicara. “Vi, apa yang saya bicarakan tadi-” “Tidak masalah, Tuan. Saya mengerti. Lagipula Mbak Bella benar, kita melakukannya tanpa sengaja. Jadi Tuan berhak menceraikan saya,” ucap Vivi entah kenapa membuat Destra mengepal marah. Vivi yang sejak tadi menahan tangis kembali bicara, “Tapi maaf, untuk anak itu, saya tidak akan pernah memberikannya. Saya seorang ibu, jadi tidak mungkin memberikan anak saya begitu saja pada orang lain.” Mendengar itu Destra segera berdiri dan mengapit wajah Vivi kasar, “Kamu menganggap saya orang lain? Saya ayah dari bayi itu!” sentaknya. Vivi yang sakit semakin sakit saja, “Tuan, bayi itu saja belum ada, kenapa anda marah akan hal yang belum pasti!” batin Vivi seraya menahan tangis. Destra yang sadar sudah bersikap berlebihan segera melepaskan wajah Vivi, kemudian kembali duduk dan mulai melahap makanannya. * Sementara di dalam kamar, Bella yang tidak sudi memakan makanan Vivi memilih masuk ke kamar dan mengistirahatkan tubuhnya. Ia tidak bisa bayangkan pertengkaran besar apa yang sedang terjadi di meja makan saat ini, Bella tidak peduli. Tapi yang pasti, Bella menginginkan hari cepat berganti besok. Cepat mendengar ucapan perceraian yang keluar dari mulut Destra. * Desta yang sudah menyelesaikan makannya berjalan membuntuti Vivi, masuk ke dalam kamarnya. “Tuan, anda mau apa?” “Tidurlah! Kamu pikir apa?” Seperti masih kesal, Vivi maupun Destra berkata dengan nada tinggi. Tapi tak mau kalah, Vivi segera menimpal. “Ya, tapi ini kamarku!” Destra yang juga tak ingin kalah segera menimpal, “Kau pikir ini rumah siapa? Kalau kamu tidak suka pergilah!” sentak Detrsa sontak membuat Vivi tersinggung dan membalikan badan. Vivi hendak pergi, tapi segera di cekal oleh Destra, “Maafkan saya, saya hanya ingin tidur di sini.” “Tidak apa-apa, lagipula Tuan benar, sebentar lagi juga saya akan pergi dari kamar ini.” Mendengar penuturan Vivi, Destra begitu marah. Menarik tangan gadis itu kemudian melahap bibirnya dengan sangat liar. Destra marah, benci bercampur bingung. Jujur, ia bingung kenapa ia berjalan mengikuti Vivi tadi, dia juga bingung kenapa dia marah setiap Vivi mengatakan kata ‘pergi’. Mungkinkah dia mulai melirik wanita itu sekarang? Entahlah. Destra menikmati setiap ringga Vivi yang begitu wangi dan kenyal. Seperti malam panas di kantor kemarin, Destra menginginkannya lagi. “Vi, boleh saya lanjutkan?” tanya Destra dengan pelan. Dengan keringat di pelipisnya pria itu menatap Vivi penuh gairah. Vivi yang pernah melihat ekspresi itu sedikit kasihan. Tapi penuturan pria itu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. “Tidak!” segera mendorong d**a bidang Destra dan menatapnya tajam. “Kamu berani menolak saya?!” Destra yang sudah pusing segera mendorong tubuh Vivi dan mengapitnya ke pojok ruangan. “Tuan, kumohon jangan lakukan hiks!” “Kenapa hm? Bukankah kau begitu menyukai juniorku?” Kata siapa?, Vivi segera melotot, “Jangan fitnah!” Mendengar nada panik Vivi, Destra langsung tertawa. “Fitnah apa? Apa perlu saya keluarkan hasil cctv kamar ini hm?” Mendengar itu Vivi semakin panik. Ia memang tidak ingat apa yang menyebabkan dia bersama Destra tadi, tapi jika diberikan bukti itu juga Vivi takut. Ia takut khilaf dan menghianati ucapannya sendiri. “Ada apa hm? Kenapa kau takut?” Mendekati wajah Vivi dan meniupnya dengan gayanya yang cool. Vivi langsung bergidik, apalagi saat mendengar ucapan pria itu. “Padahal saya suka, bagaimana kamu menyerang saya, membuka celana saya denagn begitu kasar kemudian menjilati milik saya dengan begitu liar.” “Cukup!” Vivi segera menutup mulut ember Destra dengan tangannya. Cukup sudah! Ia tidak mampu mendengar ucapan memalukan itu lagi. Meski ia tidak tahu itu benar atau tidak, tapi tetap saja Vivi bergidik takut mendengarnya. Destra yang dikira marah ternyata malah mencium telapak tangan Vivi dan bahkan mengecupinya beberapa kali. “Tuan!” protes Vivi malah dicium di bagian bibir kali ini. Oh, Tuhan! Kenapa bos yang selalu dia lihat dingin dan galak ini ternyata begitu menjengkelkan? Percuma saja Vivi protes, gadis cantik itu memilih membalikan badan dan berjalan menuju kursi. Jujur ia lelah. Tapi, di detik kemudian ingatan Vivi kembali pulih. “Tapi, Tuan. Kenapa aku tiba-tiba menjadi liar seperti itu?” tanya Vivi mengejutkan Destra yang ingin kembali jail dengan menciumi tengkuk leher gadis itu. Berdehem untuk bersikap biasa, kemudian ikut duduk di sampingnya. “Kau pikir kenapa?” Menaikkan satu kaki ke atas meja. “Mungkin karena kau begitu merindukanku!” “Jangan fitnah!” Destra tertawa terbahak-bahak, “Kenapa kau selalu berakta fitnah, Vi? Saya hanya becanda!” Vivi memutar bola mata malas, kemudian matanya beralih pada gelas yang tergeletak di atas balkon. “Ada apa?” “Vivi minum itu tadi, mungkinkah karena minuman itu?” tanya Vivi seraya menunjuk botol itu. Destra yang sejak tadi tertawa baru berhenti, menatap botol yang tidak pernah ia beli itu dengan mata memicing. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD