15 Oktober 2015
Beberapa murid pria tak masuk karena membolos. Termasuklah Cahyo di dalamnya. Dia tergoda ajakan dari teman-temannya yang telah terbiasa membolos. Tempat tongkrongan yang mereka datangi saat membolos adalah kuburan yang berada tak jauh dari sekolah. Untuk sampai kesana cukup mudah. Mereka hanya tinggal memanjat pagar sekolah dan berjalan sekitar lima menit. Maka sampailah mereka di markas. Berbeda dengan kuburan yang kebanyakan seram. Kuburan di samping sekolah adalah tempat favorit. Saat siang cuaca sangat redup. Para siswa biasanya duduk santai di bawah pohon mangga besar yang ada di tempat itu sambil meminum air kemasan, dan makan jajanan. Para guru sudah berkali-kali merazia tempat tersebut. Namun, mereka hanya insaf selama bebeapa minggu, dan akhirnya mengulangi lagi.
"Eh gaize, gimana soal Bekti? masih musuhan lu ama dia?" tanya teman Cahyo yang agak jangkung. Pemuda itu sibuk menguliti kuaci sambil meminum minuman energi kemasan gelas seharga seribuan.
"Emank siapa yang musuhan, sih? gak ada tuh," jawab Cahyo ketus.
"Bukannya tiap ketemu kalian berantem mulu? iya gak Bro?" ucap teman Cahyo yang lain. Yang merupakan keponakan kepala sekolah.
"Dia aja yang cari ribut. Gua mah gak gubris. Ogah ribut sama perempuan."
"Ciyeee, ogah ribut nih ye. Hati-hati lu bro. Berantem-berantem nanti jodoh," sambung temannya lagi.
"Jodoh? gua sama si Bebek? hahaha, gak bakal mau gua njir. Orang sok kecakepan gitu, mau jadi istri gua. Gak lah ya."
"Tapi dia bukan sok kecakepan Bro, dia emank cakep. Ya gak, Din?" keponakan kepala sekolah menyenggol teman jangkungnya yang bernama, Safarudin tersebut.
"Yoi, Bro. Bekti cantik alami. Kalau bisa mah, gua aja yang jadi pacarnya."
"Terserah dah, yang penting gua gak suka ama tuh cewe,"
"Ho, jadi lu gak suka ama gua?" entah sejak kapan, tiba-tiba Bekti sudah berdiri di depan Cahyo dan teman-temannya.
"Heh, lu ngapain dimari? bolos juga, lu?" tanya Cahyo sedikit kaget.
"Gua? bolos? hahaha, sorry lah yaw. Gua bukan anak-anak bandel kayak kalian. Pak ini mereka Pak, benar kan kata saya mereka ada disini!" Bekti memanggil seseorang.
Ternyata yang Bekti panggil adalah guru BP. Cahyo dan teman-temannya panik, namun mereka tak bisa lagi kabur karena sudah tertangkap basah.
"Bekti! awas aja lu! gua bales lu, Bek. Gua bales!"
2021
"Woy, kalian ngapain!" sebuah suara menghentikan mereka. Tampak Cahyo datang sambil melotot dengan mata bulatnya menatap Bekti dan Lastri.
"Aaa ... Mas ... akuh di keroyok sama dua manusia yang tak seberapa inih, hiks ..." ucap Maya sambil masang muka manja yang sangat menggelikan menurut Bekti dan Lastri.
"Idih, sok kecakepan banget nih manusia satu. Lepasin gua, Nces. Biar gua geplak palanya, lepasin!" ucap Lastri, padahal dia sudah gak dipegangi sama Bekti.
"Kalian ini preman jalanan ya. Kalian apain pacar gua! Kamprett banget," Cahyo mendekat ke arah Maya, lalu mengusap-usap wajah Maya dengan mimik muka yang hampir membuat Bekti mual, "Cayang ... kamu gak papa, kan. Cup ... cup ... cup ...."
"Idih, ngalay banget njir. Dah cem anak SMA pacaran," celetuk Bekti, dia memasang wajah jutek yang paling jutek yang pernha dia pasang selama ini.
"Heh, kan udah gua bilang. Jauh-jauh dari hidup gua! dasar Kocheng Cerewet!"
Plak! sebuah pukulan melayang ke kepala Cahyo, "Apa lu bilang? Kocheng Cerewet? dasar Buaya Caplang. Bosan idup, lu! sini lu bangsul," Plak! plak! plak! Bekti memukul punggung Cahyo berkali-kali, "Cari masalah banget lu sama gua. Cewe lu tuh yang bikin masalah duluan, bangkee!"
"Hohoho, mampus lu. Emak-emak mau dilawan," Lastri ketawa jahat di atas penderitaan Cahyo, "Waduh, Nces ... kenapa tiba-tiba ngamuk? jangan ngamuk, tahan ... tahan ... ntar kecyantikan elu luntur. Geplak aja sekali sampe geger otak, abis itu tarik nafas panjang," ucap Lastri, sambil menepuk-nepuk pundak Bekti.
"Mas, kamu gak papa?" Maya memeriksa kepala Cahyo dan menggosok-gosok punggung Cahyo.
Punggung Cahyo terasa panas, dan kepalanya pusing tak karuan. Jika diperiksa dengan seksama, sudah pasti akan ditemukan konslet yaang terdeteksi di kepalanya.
Cahyo menarik nafas panjang, dia mengepalkan tangannya. Emosinya makin naik dan naik hingga dia tak tahan lagi, "Woyyy ... Kocheng Betina!"
"Aku dengar dari jauh ada keributan. Kalian lagi ribut apa?" Tiba-tiba Danar menghampiri sumber keributan tersebut. Melihat Danar, Cahyo auto mingkem, dia menatap Danar dari ujung rambut hingga kaki dengan ekspresi tidak senang.
"Bekti, kamu gak papa?" tanya Danar lagi.
"Haha, kesempatan gua nih. Lu liat Lang, gimana gua beraksi," Bekti memonyongkan bibir, lalu menatap Danar dengan sedikit manja, "Danar ... Bekti gak papa, kock. Tapi, baju Bekti bacah, hiks ...."
"Kok bisa basah?"
"Iya, tadi ada makhluk asing yang nyiramin Bekti. Ugh, ugh, kesyel."
"Oh, Danar ada baju ganti. Yuk ganti dulu bajunya, abis itu kita langsung sarapan, oke?"
"Idih-idih. Sok imut banget si Kocheng. Imut juga kagak. Amit-amit iya," batin Cahyo, "Sayangnya Mas. Yuk pergi. Mending kita sarapan. Belum sarapan kan, Cayang ...." ucap Cahyo sambil mengusap wajah Maya, lalu diam-diam melirik Bekti.
Melihat itu, Bekti melangkah mendekati Danar, lalu menggembungkan pipinya, "Danar, ayuk ah. Bekti mau ganti baju. Udah laper juga nih, perut Bekti udah nyanyi koplo di dalem," Bekti tersenyum, lalu menggandeng tangan Danar, "Yuk, Mak Syantik," Bekti mengulurkan tangannya ke arah Lastri. Lastri kemudian menyambut tangan Bekti, "Yuk Cyin ... gua juga capek nih, ngeliat ke atas mulu," Lastri melirik Cahyo. "Nih gizinya over kali yak, atau dia makanin tiang tiap hari? hah, sungguh tinggi yang tidak elegan, cus, Nces, cus,"
Bekti nenoleh ke arah Cahyo sejenak, dengat sudut matanya "Hih!" dia membuang muka, lalu melengos pergi, "Danar ... kan Mak Syantik punya mantan. Ada tukang galon, tukang tenda, tukang laundry ...." bla, blas, bla, Bekti bergosip ria sambil jalan menggandeng Danar di kanan, dan Lastri di kirinya.
Cahyo melihat mereka dari jauh, lalu menyeringai sambil cemberut, "Hih! siapa sih tu cowo? sok kegantengan banget. Si Kocheng juga sok imut banget. Heleh, gantengan gua lagi kemana-mana dari tuh cowo. Ya kan Cayang ...." ucap Cahyo sambil mengunyel-unyel pipi Maya.
"Iyalah, pacad akoh emank ganteng, peyuk dulu."
"Peyuk ...."
***
Malam ini diadakan pesta penyambutan Mahasiswa Baru. Bekti sudah bersiap dari pukul lima sore. Dia membongkar semua lemari untuk mencari pakaian yang pas, namun sudah berkali-kali gonta ganti tetap terlihat belum pas juga.
"Ya ampon. Gua gak punya baju," keluh Bekti, padahal dia menyerakkan banyak pakaian di atas tempat tidurnya, "Pas mau acara penting gini malah gak ada baju yang cantik. Hiks, mau beli, duet tinggal lima puluh rebu. Gua kan harus hemat," Bekti bertolak pinggang lalu menatap semua pakaian yang ada di depannya.
"Pakai ini aja kali, ya?" gumamnya kemudian. Dia mengambil gaun berwarna merah muda, lalu menatap dirinya di cermin, "Eh buset. Gua emank cantek. Tapi bajunya gak cantek. Anjirr, ngapain sih gua beli baju merah jambu air begini? buset," Bekti melempar gaun tersebut kembali ke atas kasur, dia naik ke kasur dan mulai membongkar lagi.
"Mana, mana, gua harus pake yang mana," ucapnya sambil bersenandung dengan nada tak jelas. Yang jelas nada tersebut baru saja dia ciptakan.
Tiga jam kemudian. Lastri sudah berdandan cantik. Dia sudah berada di kampus untuk mengikuti pesta penyambutan Mahasiswa Baru.
"Hai, Lastri!" seru para mahasiswa laki-laki begitu Lastri berjalan di depan mereka.
"Hay, cowo .... hidup yang bener ya, jangan jadi beban keluarga," Lastri memberikan kiss bye kepada para mahasiswa laki-laki yang kini terdeteksi menjadi fansnya tersebut.
"Waw, Danar!" Lastri terhenti tatkala melihat Danar. Menyadari keberadaan Lastri, Danar tersenyum lalu melambaikan tangannya.
"Danar, udah lama nyampe?" tanya Lastri begitu mendekat. Mereka masih berada di pintu masuk aula.
"Gak juga. Oh, iya Bekti mana? kalian gak bareng?"
"Tadi kan, gua tuh mau jemput Bekti. Eh tapi dia bilangnya gak usah, mau pergi sendiri katanya,"
"Oh, ya udah. Kalau gitu tunggu dia aja baru kita masuk, ya."
"Ho oh. Eh Danar Kuning, lu suka ama, Nces Bekti , ya?" pertanyaan tiba-tiba Lastri membuat Danar tersenyum. Senyum lembut yang membuat siapa saja klepek-klepek.
"Bekti ... kalau dibilang suka ... ya suka sih, dia imut soalnya."
"Yah, jujur amat Danar ini. Padahal kan, Lastri itu syuka cama Danar, gimana, donk?" Lastri pura-pura cemberut.
"Gimana ya? hmm ... kalau Bekti gak suka sama Danar, Lastri mau gak jadi pacar Danar?"
"Hihihi, ya maulah ... awkwkwkk," percakapan absurd mereka terus berlanjut hingga Lastri melihat Cahyo dari kejauhan.
"Danar, masuk yuk," ajak Lastri kepada Danar.
"Lah, katanya mau nungguin Bekti."
"Kita masuk aja dulu, liat noh mahasiswa udah banyak yang datang. Kit harus sisain kursi buat Bekti."
"Oh benar juga, ayo dah kalau gitu."
Begitu masuk ke aula, Lastri langsung memilih posisi duduk yang nyaman. Dia lalu menaruh tas ke tempat duduk kosong di sampingnya, untuk menandai wilayah Bekti. Namun, tanpa di duga. Cahyo dan pacarnya malah duduk di depan Lastri.
"Aduh, Nces mana sih? gak datang-datang. Risih akuh tuh ngeliat Tiang ama Cotton bud duduk berdua. Malah duduk di depan gua, ngalang-ngalangin pemandangan aja. siapa sih dia? pasti musuhnya Nces de," celetuk Lastri. Dia sebenarnya ingin menyindir tapi sindirannya tidak begitu harus, hingga membuat Cahyo membelalakkan mata bulatnya.
"Eh, lu ngomongin gua?!" tanya Cahyo, menatap Lastri dengan kesal.
"Hihihi, ngerasa, ya? ngapain sih lu duduk deket-deket sini? risih deh, ih ...." ucap Lastri sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang hari ini berwarna coklat, padahal hari sebelumnya rambuimasih berwarna merah.
"Idih, gua duduk disini juga karena terpaksa. Lu liat noh, tempat udah oada penuh. Gak ada tempat lain lagi. Hih, cocok bener nih manusia temenan ama si Kocheng. Sama-sama nyebelin."
"Ewww, kita cocok karena kita sama-sama syantik, keles." Lastri menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu membuang muka dari Cahyo, "Eh ... itu si Nces. Say .... sini, sini," Lastri melambaikan tangannya tak terlalu tinggi ke arah Bekti. Panggil-panggil cantik menurut istilah yang dia karang.
"Ugh, sorry Mak. Bekti telat. Jalan macet, tukang ojek tadi kepleset trus pingsan. Ngeliat Bekti terlalu syakep katanya," Bekti mengibas-ngibaskan rambut hitamnya. Panjang rambut Bekti sebahu, dan memperlihatkan lehernya yang agak sedikit jenjang.
Tanpa sadar Cahyo tiba-tiba tersenyum. Dia menatap Bekti lekat, dan tiba-tiba menjadi tuli pada sekitarnya.
"Mas, Mas!" Maya mencubit pinggang Cahyo.
"Akh! maap, maap, sayang. Kenapa?" Cahyo meringis sambil menggosok-gosok pinggangnya, bekas cubitan Maya.
"Ngapain sih ngeliat tuh cewe sampe sgitunya!" bisik Maya dengan kesal.
"Ah, gak kok, Yank. Siapa yang ngeliatin dia? Mas lagi mikirin kamu, loh."
"Aaa, Nces Sayntik. Duduk sini Say. Udah gua tandain tempat elu," Lastri menepuk-nepuk kursi di sampingnya.
"Sialann. Kenapa duduknya di depan Caplang, sih?" Bekti melirik sekilas ke arah Cahyo, lalu duduk dan tersenyum ke arah Lastri dan Danar.
"Danar ama Mak Syantik udah lama?"
"Gak kok, Bek. Baru aja nyampe kitanya," Danar menjawab pertanyaan Bekti dengan suara rendahnya yang Masya Allah.
"Aduh, Bekti haus," Bekti menggosok lehernya, bersikap manja.
"Danar ambilin minum, ya. Es Kopi gimana? enak kan, dingin dingin gitu."
"Heh, Dodol. Bekti gak suka Kopi. Gimana sih lu?" tiba-tiba Cahyo nyeletuk.
Hal itu membuat Danar berpikir, namun Danar hanya diam. Setelah beberapa detik, Cahyo tersadar, lalu menutup mulutnya dengan panik.
"Kamprett, ngomong apaan gua barusan!"
"Gak sehat nih, si Caplang. Kesambet apaan, coba?"
To be continue