Kalang Kabut - 1
05 Juni 2015
Saat itu semuanya sangat sibuk. Para orang tua berkerumun di depan ruang guru, menunggu giliran anak mereka dipanggil. Hari ini adalah pendaftaran siswa baru. Semua siswa mandaftar untuk mengikuti tes lanjutan yang diadakan seminggu kemudian di sekolah. Murid dan orang tuanya dipanggil bergantian, mereka mengisi data yang diperlukan, wawancara singkat, lalu mendapat nomer tempat duduk untuk tes.
Diantara orang tua dan anak-anak mereka yang berkerumun, tampak seorang remaja laki-laki menaruh map di depan meja antrian. Map yang berisi ijazah dan semua nilainya di SMP. Begitu menaruh map tersebut, dia kembali duduk diluar menunggu namanya dipanggil.
"Aruna Bekti," panggil guru di dalam sana setelah sepuluh menit.
Remaja laki-laki itu tercengang lalu menggelengkan kepalanya, "Ck, ck, sistem sudah punah. Jelas-jelas gua liat itu nama gilirannya setelah gua. Bisa-bisanya dia dipanggil duluan," ucapnya sambil mendengus. Remaja laki-laki itu, menunggu sekitar tujuh menit lagi.
"Cahyo Purnomo," akhirnya nama yang dia nantikan disebut juga. Remaja itu, Cahyo Purnomo berusia lima belas tahun. Dia dengan percaya diri menaikkan kerah seragamnya. Menarik celana pendek biru dongkernya yang sudah terlihat ketat dibagian paha. Cahyo Purnomo berjalan ke ruang wawancara. Begitu memasuki pintu, dia berselisih dengan seorang remaja wanita. Gadis itu menatapnya dengan ekspresi datar. Mata mereka bertemu, Cahyo berhenti sejenak, lalu berbalik menatap gadis tersebut, "Jadi ... dia Aruna Bekti?"
2021
Seorang wanita berusia dua puluh empat tahun berjalan sambil tersenyum sumringah menatap sekeliling kampus. Namanya Aruna Bekti, usia seperti yang disebutkan dua puluh empat tahun. Status hubungan, sekarang dia adalah seorang janda. Hobi, mengomel dan geplak kepala, motto hidupnya, dulu "Cinta adalah segalanya". Sekarang, "Jangan menyangkutkan cinta dalam segala hal". Aruna Bekti adalah mahasiswa baru. Dia mendaftar kuliah setelah menganggur begitu lama. Tepatnya, tiga tahun dia menjadi istri orang, satu tahun selanjutnya dia menjadi janda malang. Tak ada peraturan kampus yang melarang bahwa orang yang sudah menikah tak boleh kuliah. Makanya Bekti disini, untuk meraih mimpinya yang dulu telah dikubur mati.
"Yes, akhirnya gua masuk kuliah, seneng banget ih, berasa jadi ABG again. By the way ruang kelas Gua dimana yak?" Bekti clangak clinguk mencari ruang kelasnya.
"Ha to the lo, halo Cyin ... mahasiswa baru?" tampak seorang wanita dengan wajah cantik dan ceria mendekati Bekti. Dia adalah Lastri, lebih dikenal dengan panggilan Emak Roje. Status hubungan, tak ada yang tahu. Hobi, mantengin serbuk berlian, ganteng bahasa umumnya. Moto hidup, "Red is mawar, mawar is rose, so rose is sekuntum mawar merah". Entah bagaimana moto tersebut bisa berguna dihidupnya.
Lastri sangat terkenal dikalangan kampus. Diusianya yang ke dua puluh tiga tahun, dia baru masuk kuliah, dia cuti tiga tahun setelah tamat sekolah menengah, demi mengasah kemampuan untuk ikut ajang pencarian bakat di Korea. Tapi, tentu saja dia tidak lolos.
Bekti terpana sejenak menatap Lastri, "Buset, glowing bener tuh muka kek p****t panci di supermarket," batin Bekti.
"Cyin, kok mangap gitu?"
"Eh iya. Halo juga syantik, iya nih gua mahasiswa baru."
"Pantes clangak clinguk, lagi nyari kelas ye?"
"Ho oh, jurusan matematika,"
"Lah, sama donk. Yok ikut gua, gua juga mau ke kelas itu, kelasnya Pak Wil, kan?"
"Beneran? asik ada temenya, yok ah jalan,"
Bekti dan Lastri masih mengobrol sambil jalan menuju kelas. Mereka menjadi akrab secara alami. Pertemanan yang begitu cepat terjalin.
"Nama Lu siapa? belum kenalan kita nih," tanya Bekti kemudian.
"Lastri, Lu siape?"
"Bekti, Aruna Bekti. Nama Lu Lastri doank?"
"Ho oh, emak bapak gua pelit ngasih nama. Tapi panggil aja gua Emak Roje. Semua orang di kampus manggil gitu kok,"
"Wah, nama beken yak?"
"Yah ... gitu deh,"
"By the way Mak, Lu pake bedak apaan? kinclong bener,"
"Ramuan rahasia turun temurun nih Cyin, cakep kan gua?"
"Ho oh, cakep. Jadi pake apaan, Mak?"
"Bedak beras kunyit ame kencur, Say. Pokoknya ramuan ajaib,"
Ada banyak cara bisa membuat para wanita akrab. Salah satunya adalah bicara tentang kosmetik. Salah duanya bicara tentang idola, salah tiganya menggosipkan tetangga. Bekti dan Lastri melakukan semua itu pada pertemuan pertama mereka, bayangkan betapa mudahnya mereka bersatu.
"Wadoh!" Bekti tersentak. Mereka asik bergosip hingga tak memperhatikan jalan. Bekti menabrak seseorang dan terhuyung, orang itu menangkap Bekti, menyelamatkan Bekti agar tak terjatuh. Dia menarik Bekti begitu dekat, hampir saja bibir Bekti mengenai bibir orang tersebut.
"Wadoh Cyin. Lu gak kenapa-napa, kan?" Lastri ikut terkejut.
"Wadoh, hampir aja gua nyosor. Minta diyasinin nih bibir," Bekti menggelengkan kepalanya, lalu segera berdiri dengan benar, "Hehe, gak papa, Mak. Maaf ye Bang ... eh Mas ... eh ...." Bekti menggaruk-garuk kepalanya.
"Danar," ucap laki-laki tersebut sambil tersenyum. Dia adalah Danar Pradana. Laki-laki tampan yang menjadi bagian serbuk berlian kampus. Status hubungan, single berkelas. Hobi, jatuh cinta. Motto hidup, "Life for love". Laki-laki berusia dua puluh tiga tahun itu adalah senior di kampus. Namun, dia sering mengulang mata kuliah, karena selalu mendapat nilai buruk.
"Maaf Mas Danar, gak sengaja," Bekti mengulangi permintaan maafnya.
"Imut juga nih cewe," Batin Danar, menatap Bekti sambil tersenyum, "Lain kali hati-hati, ya," ucap Danar dengan lembut.
Lastri mendekat lalu menyenggol-nyenggol Bekti, "Cakep tuh, gebet gih ..." bisiknya tiba-tiba.
"Yang bener aje, Mak. Gua masih mentah tau," bisik Bekti sambil cengengesan menatap Danar. Entah apa yang dimaksud dengan mentah. Hanya dia dan Yang Maha Kuasa saja yang tahu.
"Hehehe, mahasiswa baru juga M-Mas ..." Bekti bingung mau memanggil dengan sebutan apa. Berdasarkan pengalaman hidupnya, sudah pasti dia lahir kedunia duluan dibanding mahasiswa baru yang ada di kampus ini.
"Panggil Danar aja. Gua senior smester empat. Tapi, ini lagi ngulang kelas Pak Wil,"
"Wih sama donk. Kita juga lagi mau ke kelas Pak Wil. Biasanya kalau samaan gini artinya jodoh, iya gak Cyin?" Lastri menoel-noel Bekti.
"Hehehe, apaan sih, Mak." Bekti balas menoel Lastri, dan akhirnya mereka main toel-toelan.
"Ya udah, kalau gitu ayo pergi sama-sama," ajak Danar. Mereka akhirnya pergi ke kelas bersama. Lastri sangat excited bergabung bersama Bekti dan Danar. Bukan karena pertama masuk kuliah, tapi karena ada bahan gosip yang bisa dia asah.
Bekti kagum melihat ruang kelas. Begitu banyak mahasiswa yang sudah duduk. Pemandangan yang sangat dia impikan, pemandangan yang dengan bodohnya dia lewatkan. Andai dulu dia tak mengambil keputusan sembarangan, dia pasti sudah ada dismester akhir bersama para mahasiswa handal sekarang.
"Cyin, cepetan cari tempat duduk," Lastri menarik tangan Bekti. Mereka memilih duduk di barisan belakang, sementara Danar di depan.
"Cyin, seger (geser) dikit, sempit akuh tuh," Lastri grasah-grusuh di tempat duduknya. Bekti bergeser sedikit.
"Kalau disana sempit, Bekti duduk di depan aja, sama Danar," ucap Danar sambil melihat ke belakang.
"Gak papa, Nar. Bekti disini aja. Gak sempit-sempit amat kok," Bekti tersenyum, "Bagos, jual mahal dikit. Walaupun jendes,"
"Seger lagi, Nces. Again, again. Masih sempit," Lastri menggeser duduknya.
"Iyes, Iyes," Bekti ikut menggeser kursinya. krit, krit, Bekti terus bergeser. Suara kursi lipat, berbahan besi dilengkapi meja untuk menulis itu begitu memekakkan telinga.
"Sorry Mbak. Agak tenang dikit bisa tidak?" seorang laki-laki yang duduk di sebelah Bekti agak terganggu.
"Iya, maaf Mas ..." Bekti menatap laki-laki tersebut. Seketika Bekti terbelalak, matanya hampir melompat keluar, "Elu!"
"Astagfirullah!" laki-laki yang mengenakan topi pet itu ikut terkejut.
Mereka berdua saling berpandangan. Tampak keduanya sangat kaget. Beberapa detik kemudian, "Aaaa!" keduanya berteriak. Lalu, pletak! sebuah pukulan melayang di kepala laki-laki tersebut.
To be continue