Bekti dicecar banyak pertanyaan dan dikerubungi oleh mahasiswa pasca insiden terkuaknya ia sebagai mantan istri Cahyo. Berpuluh-puluh mahasiswa mengikutinya. Bekti terpaksa lari lalu berusaha untuk sembunyi dari para mahasiswa tersebut.
"Anjirr, kenapa sih mereka pada ngikutin gua?" ucap Bekti yang saat ini sedang mencari tempat bersembunyi, "Mak Lastri juga ikut-ikutan nanya yang aneh-aneh lagi," Bekti berjalan mundur sambil mengawasi orang-orang yang sedang kebingungan mencarinya. Dia menemukan tempat persembunyian yang lumayan aman.
"Astaghfirullah!" Bekti kaget tatkala dia tersandung sesuatu. Dia berbalik, dan ternyata dia tersandung kaki panjang Cahyo. Laki-laki itu di antara meja-meja dan bangku kuliah yang rusak dan menjulurkan kakinya, "Lu bener-bener ... ngagetin gua aja, lu. Ngapain lu dimari!" ucap Bekti sambil mengelus d
"Sembunyi. Lu sendiri ngapain?" Cahyo balas bertanya dengan tampangnya yang cuek.
"Sama. Ini semua gara-gara elu, tau gak,"
"Lah kenapa jadi gua?"
"Masih nanya. Gua diikutin trus digodipin seantero kampus. Gara-gara pengakuan lu yang kek orang stress."
"Halah gua juga diikutin sama digosipin. Makanya gua sembunyi disini."
"Huh, Caplang. Lu sendiri yang suruh gua nyimpan rahasia. Elu sendiri juga yang bongkara. Nyusahin gua aja lu,"
"Ya udah sih. Udah kejadian juga, jangan ngomel-ngoimel."
"Lu asli nyebelin banget ye. Bikin naek tensi gua aja lu."
"Lu kira lu gak nyebelin? nah itu ngapain lu berdiri. Duduk weh, ntar ketahuan lagi sama anak-anak tempat persembunyian gua."
"Ogah, gua mau pulang."
"Aih duduk sini," Cahyo menarik tangan Bekti, hingga Bekti terduduk di sampingnya, "Lagian juga lu gak bakal bisa pulang. Anak-anak pasti masih nyariin elu."
"Trus, lu napa masih megangin gua? demen ye?" ucap Bekti, karena melihat Cahyo yang tak juga melepaskan tangannya.
Mendengar perkataan mantan istrinya itu, Cahyo auto sadar dan langsung melepaskan tangan Bekti, "Lu jadi orang jangan ke GR an bisa gak sih? dasar."
"Siapa yang ke GR an? emanknya elu ...."
"Sejak kapan gua ke GR an?"
"Sejak kapan, sejak kapan, sering tau gak,"
"Budu!"
Krik ... Krik .. krik .... Setelah saling mengatai satu sama lain, kini suasana sunyi. Tak ada yang bicara satupun. Bahkan suara tarikan nafas saja terdengar keras saking sunyinya.
"Pffft," tiba-tiba Cahyo terkekeh, "Hahahah, adeh ... hahaha," entah apa sebabnya. Dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Woy! kesambet apaan lu tiba-tiba ketawa gitu? Wah, otak lu sakit nih, kayaknya." bekti menatap Cahyo sambil menggelengkan kepalanya.
"Inget gak sih? dulu kita pernah ngumpet gini juga," Cahyo menatap langit di atasnya. Pikirannya menerawang. Terbang ke beberapa tahun lalu saat dia dan Bekti masih memakai seragam putih abu-abu.
Bekti bersandar, dan ikut menengadahkan kepalanya ke langit. Dia juga tersenyum sambil menutup matanya tak percaya, "Hmm, iya juga. Hahaha, pas itu kita dikejer-kejer. Trus jadinya kita kabur seharian dari sekolah."
"Ho oh. Itu hari pertama kita jadian. Anak-anak pada ngerumunin. Pada patah hati. Gua kan paling populer do sekolah,"
"Idih ... gua tau yang paling populer, guru fisika aja sampe naksir ama gua."
"Masih inget juga sama tuh guru? idih, jangan inget lagi. Tuh guru emank gatel. Makanya gua tonjok mukanya. Deket-deketin lu mulu, sih."
"Hahaha, lu dulu galak ye. Tapi pas gua pura-pura nolak lamaran lu, Elu mewek sampe guling-guling."
"Kapan gua mewek? ngarang lu,"
"Mmm, pake gak ngaku. Ngaku gak, ayo ngaku," Bekti menggelitiki pinggang Cahyo.
"Woy, geli," Cahyo berusaha menghindari gelitikan Bekti.
"Ngaku, elu dulu nangis ampe guling-guling, kan? hahaha ngaku gak, gua gelitikin terus nih,"
"Aaaa, hahaha ... iya, iya, gua ngaku. udah ah ... geli tau," Cahyo tanpa sadar mengelus kepala Bekti.
Waktu tiba-tiba terasa berhenti mendadak. Cahyo dan Bekti saling tatap. Mata mereka saling bertemu. Seolah mencari-cari alasan logis untuk apa yang sedang terjadi. Rasa aneh bercampur sedikit sedikit sesak menyeruak di hati masing-masing mereka. Roman kerinduan terpancar dari dua manusia yang tampaknya masih memendam rasa memabukkan yang disebut cinta.
"Uhuk ... uhuk ...." Cahyo terbatuk. Dia segera menurunkan tangan dari kepala Bekti, lalu mengalihkan pandangannya. Bekti ikut memalingkan wajah, merasa canggung namun dia meredamnya dengan kediaman yang bertahan hingga dua menit.
Cahyo kembali bersandar, lalu menatap langit. Dia menghela nafas, dan tersenyum tipis sejenak, "Cing ...." ucap Cahyo, setelah beberapa menit keheningan mereka.
"Hmmm ...." balas Bekti tak tanpa melihat ke arah Cahyo.
"Kenapa ya, kita bisa pisah?" pertanyaan Cahyo membuat Bekti tersenyum. Dia menerawang ke tiga tahun lalu dimana mereka masih menjadi suami istri.
"Kenapa ya? tau ... kayaknya karna lu tiap hari ngancurin perabotan rumah."
"Hahaha, masa iya. Gua dulu sering emosi, ya? elu juga tiap hari ngomel sambil geplakin kepala gua. Untuk otak gua sehat dan kuat,"
"Waktu itu kita masih labil. Kita pengen cepet-cepet nikah aja. Gak pernah mikir kalau ternyata nikah itu gak mudah."
"Iya juga. Kita masih sama-sama egois. Makanya sering ribut dan akhirnya cere."
Keduanya terdiam. Masing-masing memutar ulang memori yang telah lama tersimpan di otak mereka. Saat mereka masih tak terlalu dewasa dan memutuskan untuk bersama. Saat mereka tak bisa berdamai dengan keadaan yang kusut dan akhirnya selalu ribut. Saat mereka yang sulit mengendalikan keegoisan namun akhirnya tetap kalah dan berpisah. Waktu-waktu yang telah berlalu membuat mereka sadar bahwa cinta saja tak cukup untuk membuat seseorang dewasa, dan cinta saja tak bisa membuat hubungan bertahan selamanya.
"Mmm, Cing ...." panggil Cahyo setelah beberapa menit.
"Apaan lagi,"
Cahyo menarik nafas dalam, lalu menatap Bekti lekat, "Lu ... nyesek gak pernah nikah ama gua?"
Bekti terdiam. Dia tak bisa mengatakan apapun. Di sisi lain, "Deg!" jantung Bekti mulai menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya. Jantungnya berdetak kalang kabut tak keruan.
To be continue