"Mmm, Cing. Lu nyesel gak pernah nikah sama gua?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Cahyo membuat Bekti terdiam sejenak. Bekti tak menyangka bahwa laki-laki tersebut mengeluarkan pertanyaan aneh itu. Bekti mengalihkan pandangannya, salah tingkah dan berusaha untuk tidak mempedulikan Cahyo.
"Apaan sih, udah ah. Gua mau cabut pulang," ucap Bekti kemudian berdiri.
Tiba-tiba Cahyo menangkap tangan Bekti, "Kalau mau pulang, jangab lewat belakang. Disana banyak anak-anak ngumpul. Lewat samping aja," ucap Cahyo dengan wajah datar. Dia melepaskan tangan Bekti, lalu menunduk memainkan gawainya.
"I-Iya ... gua cabut dulu," Bekti memeriksa sekitar, dan langsung bergegas untuk pulang seperti perkataannya.
Cahyo masih menunduk. Dia menatap layar gawai yang hitam. Karena gawainya ternyata mati karena kehabisan daya.
"Cahyo, lu mikirin apa, sih? jelas dia nyesellah. Gara-gara elu dia gak bisa capai cita-citanya. Padahal dia pengen jadi professor, malah lu paksa jadi ibu rumah tangga," gumam Cahyo lalu menghela nafas panjang.
***
Di rumahnya. Perkataan Cahyo masih bersarang di kepala Bekti.
"Lu nyesel gak, pernah nikah ama gua?" Bekti memijit kepalanya yang terasa pening. Beberapa menit kemudian, wanita itu beranjak keluar kamar. Dia menuju ke dapur. Lalu masuk ke sebuah ruangan kecil yang merupakan gudang.
Bekti berdiri sejenak selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia membongkar-bongkar kardus yang ada di gudang tersebut. Setelah membongkar kardus yang kedua, akhirnya Bekti menemukan apa yang dia cari. Album foto berwarna merah muda yang agak berdebu.
"Masih ada ternyata," gumam Bekti lalu membawa album tersebut keluar dan kembali ke kamarnya.
Bekti duduk di lantai, mengusap cover album perlahan dan mulai membuka halaman pertama dengan pelan. Dia tersenyum, sambil terus membuka halaman satu persatu.
"Foto gua sama si Caplang banyak ternyata, hah ... Sebenarnya gua nyesel gak, sih?"
To be Continue