Kalang Kabut - 18

1384 Words
"Akh! sakit banget kaki gua," Bekti meringis. Dia baru saja tiba di rumah setelah dua puluh menit perjalanan dari rumah Pak Rektor. Dia terpincang-pincang lalu menghempaskan dirinya ke sofa. Bekti melepaskan sepatu san segera memeriksa kakinya. Tampak lutut Bekti memar karena terbentur keramik saat di kolam renang. Namun, Bekti tak begitu ambil pusing. Yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana keadaan Lulu. Bekti memukul kepalanya sendiri, karena telah bersikap bodoh hingga membuat Lulu terjatuh. Bekti terdiam sejenak. Setelah lebih kurang lima menit, Bekti lalu merogoh gawai dari tasnya. Dengan ragu-ragu dia mencari nomer Danar, lalu menekan tombol panggil di gawainya. Nada dering berbunyi beberapa kali. Setelah beberapa detik akhirnya Danar mengangkat telpn. "Hallo, Bekti?" terdengar suara Danar dari ujung telpn. "D-Danar ... Lulu gimana?" tanya Bekti dengan hati-hati. "Lulu gak kenapa-napa. Udah ditanganin dokter, kok." "Hah, syukurlah. Aku khawatir banget," "Lulu tidur di rumah sakit malam ini. Dia gak agak gak enak badan. Tapi kamu tenang aja, besok juga dia udah boleh pulang," "Mmm, Danar ... maaf ya. Aku benar-benar gak sengaja ngedorong Lulu, semua yang Maya sama gengnya bilang itu gak bener," "Iya Bek, gak papa. Aku tau kok gimana kamu. Trus aku udah hapal banget Maya and the geng gimana, kamu gak usah khawatir. Istirahat aja, udah malam juga ini," "Makasih banget ya Danar, maaf udah bikin masalah," "Udah, jangan ngomong gitu. Kamu gak salah apa-apa, kok. Ya udah kamu istirahat, aku tutup dulu," "Iya, mat malam, Danar," "Malam," Telepon ditutup. Bekti menghela nafas lega karena Danar tak menyalahkannya seperti orang-orang lain yang ada di pesta. Bekti kemudian menyentuh bahunya. Tiba-tiba dia terdiam. Ingatan tentang Cahyo yang menahannya untuk tak terjun ke kolam membuat Bekti tak mampu berkata-kata. Sentuhan Cahyo di lengannya, dan kenyataan bahwa Cahyo ingat jika Bekti tak bisa berenang membuat Bekti tanpa sadar memikirkan Cahyo. Otaknya seperti terhipnotis dengan sikap Cahyo hari ini. Di mulai dari saat Cahyo menangkapnya yang hampir terjatuh, dan mencegahnya untuk terjun ke kolam. Bekti menggelengkan kepalanya, lalu mendesah berat. "Cahyo, Cahyo, kalau brengsèk ya brengsèk aja. Kenapa sih tiba-tiba jadi good person gitu. Bikin gua jadi kepikiran," Bekti menengadahkan pandangannya ke langit-langit lalu menarik nafas dalam, "Bodo amat, kaki gua sakit njirr," *** "Lulu! kamu gak papa sayang? Papa baru denger desas desus katanya kamu di dorong temen kamu ke kolam renang ya?!" Rektor Raka berlari ketika melihat putrinya yang baru saja tiba dari rumah sakit. Begitu bangun tidur pagi itu, dia langsung mendapat kabar dari penjaga dan asisten rumah tangganya bahwa Lulu dibawa ke rumah sakit karena jatuh ke kolam. Begitu dia menyusul Lulu ke rumah sakit yang dimaksud, Lulu malah telah lebih dulu tiba di rumah, bersama supirnya. Danar tidak mengantar Lulu pulang dari rumah sakit. Setelah memastikan Lulu baik-baik saja, Danar segera bergegas pulang untuk mandi. Setelah semalaman hampir tidak tidur karena menjaga Lulu, Danar harus kembali pagi ini ke Kampus untuk masuk kuliah, dan dia meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan Lulu, bahkan Lulu tidak tahu bahwa Danar menjaganua semalaman karena dia tertidur, dan Danar meminta supir untuk merahasiakan hal tersebut dari Lulu. "Sayang, kamu gak papa? emanknya udah boleh pulang, kita ke rumah sakit lagi yuk, periksa bener-bener keadaan kamu," "Lulu baik-baik aja, Pa. Dokter udah bolehin pulang kok," "Beneran?" "Iya, bener. Udah Papa jangan khawatir, orang Lulu sehat begini," "Tapi siapa yang dorong kamu? kasih tau orangnya, biar Papa kasih hukuman dia. Pasti anak dari kampus kan?" "Lulu itu kepleset, Pa. Gak ada yang dorong." "Lah, tapi Papa denger kamu didorong. Bik Mar, Bibik tadi bilang Lulu didorong, kan?" tanya Pak Raka kepada asisten rumah tangganya yang sibuk membersihkan ruangan tersebut. "Iya. Tapi Bibik denger dari desaa desus angin ribut, Tuan." "Iya, tapi bener kan Lulu didorong?" "Ya ... iya mungkin, Tuan. Kan Bibik gak liat," "Lah kok gitu sih, Bik. Tadi meyakinkan banget kasih infonya," Pak Raka menggaruk-garuk kepalanya karena kebingungan. "Udah dibilang Lulu kepleset juga. Jangan dengerin kabar yg gak-gak ih Pa, ya udah Lulu istirahat dulu, masih ngantuk nih pengaruh dari rumah sakit," "Kamu beneran gak papa? udah periksa semua ke dokter? gak ada masalah?" "Iya Pa, Lulu gak kenapa-napa. Papa kerja aja. Lulu istirahat, oke?" "Oke deh, Papa mau urus perusahaan konveksi dulu." "Hmm, hati-hati." "Kalau ada apa-apa kasih tau Papa ya, jangan kayak tadi malam, masa Papa taunya pagi," "Iya, Pa. Ya udah berangkat. Udah jam sembilan ini loh," "Eh, iya. Papa pergi dulu, bye bye, Sayang," "Bye, Pa." *** Hari ini di kampus. Berpuluh-puluh mata menatap Bekti. Setiap dia melewati para mahasiswa lain, mereka berbisik-bisik membicarakannya. Kejadian di pesta Pak Rektor membuat nama Bekti berada di peringkat teratas pencarian. Bukan pencarian di internet, tapi pencarian para mahasiswa yang selalu membicarakannya. Bekti berusaha tak menanggapi orang-orang yang menggunjingnya tersebut. Dengan cepat dia berjalan menuju kelas. Di kelas suasana tak kalah beda. Mahasiswa yang lain melirik-lirik dan berbisik-bisik mengenai Bekti hingga Bekti jengah. "Nces!" Lastri baru saja tiba. Dia melambaikan tangan dan langsung duduk di sampinge Bekti dengan senyuman khasnya. "Mak baru nyampe?" tanya Bekti kemudian. "Ho oh, ya ampun. Heboh bener kampus hari ini, pada gosipin elu. Gak beres emank nih manusia-manusia." "Biarin aja, Mak. Kan yang mereka gosipin gak bener," "Iyes, tapi kuping vanas say, vanas," Bekti tersenyum. Mahasiswa lain masih terus melirik dan menggosipkan Bekti. Mereka mengatakan bahwa Bekti tak tahu diri karena telah mendorong Lulu, padahal Lulu sudah baik kepadanya. Mereka juga mengatakan bahwa Bekti kesal karena Danar masih menyukai Lulu, hingga dia tak punya kesempatan untuk merebut Danar. Ruang kelas heboh dengan gosip murahàn tersebut. "Ehemm," Lastri mengibas-ngibas rambutnya, lalu memasang wajah datar, "Nces, tau gak sih. Baru kejadian nih. Ada tetangga gua, dia gosipin orang. Padahal yang digosipin tuh gak bener. Ngarang bebas lah pokoknya. Mulutnya lemes banget Say. Trus tiba-tiba dapet karma. Bibirnya di caplok kepiting, bengkak deh tu segede gaban. Trus dia kesetrum juga. Sekarang lagi di rumah sakit. Gak ada yg peduliin karena orang males ngejenguk dia. Kang gosip gak berkualitas sih. Bukan kang gosip jatuhnya, Kang Fitnah," Lastri sengaja menguatkan volume suaranya agar di dengar orang-orang di dalam kelas. "Hah, serius Mak?" Bekti menanggapi dengan polosnya. "Iyes Say. Makanya kalau mau jadi Ratu Gosip itu kayak gua. Yang digosipin yang baek-baek. Plus langsung nanya ke sumbernya, biar gak fitnah." "Ck, ck, ck, luar biasa sekali, Emak." Bekti mengacungkan jempolnya. Para mahasiswa lain langsung mengalihkan pandangan mereka dan masing-masing mulai diam. "Eh, ini dia si Jendes gatel. Wah tebel banget tuh muka ye, masih kuat aja ke kampus setelah lakuin hal buruk ke teman sendiri." Maya tiba di dalam kelas bersama Cahyo di samping, dia sengaja melewati Bekti yang duduk di pinggir lalu menginjak kaki Bekti. "May, kaki kamu tuh, apaan sih. yuk duduk di atas. Bentar lagi dosen datang nih," ucap Cahyo lalu mendorong Maya. "Nces, lu gak papa? gila ya tuh cotton bud. Buta kali," ucap Lastri sambil memeriksa kaki Bekti. "Bekti gak papa, Mak. Biarin aja dah namanya orang linglung," ucap Bekti sambil membuang muka dari Cahyo dan Maya. "Hah, orang gak tau diri mana pernah sadar. Udah biasa bikin masalah sih, makanya gak pake malu," Maya lagi-lagi mengatai Bekti. "May, udah. Kamu mau kuliah gak?" Cahyo kembali menarik Maya untuk duduk di bangku atas. Maya menahan langkahnya, lalu menari tangannya dari Cahyo. "Mas, kamu kenapa sih? kamu belain si Janda ini?" Maya menunjuk Bekti dengan tatapannya yang tajam. Sementara Bekti hanya menghela nafas dan bersikap acuh. "May, kamu itu udah keterlaluan. Udah de jangan bicara yang aneh-aneh," "Aneh-aneh apa! bilang aja Mas belain dia. Udah dia kasih apa Mas ama dia?" "Maya!" "Kenapa sih belain Janda! dia itu janda, Mas. Janda! ngerti gak sih," "Trus kalau janda emanknya kenapa!" Cahyo meninggikan suaranya. Kali ini semua mata tertuju pada Cahyo dan Maya yang sedang beradu mulut. Bekti juga akhirnya menatap Cahyo keheranan. Kali ini Cahyo tampak seperti benar-benar membelanya. "Mas lebih belain janda dari pacar sendiri?" ucap Maya dengan penuh emosi. "Maya. Udah, cukup! sekarang kamu mau kuliah atau gak? kalau bikin keributan aku pulang aja," "Mas! kenapa jadi kasar gitu sih sama aku sekarang? pasti gara-gara janda getel ini," "Janda, janda, janda lagi. Iya, dia janda, dan gua mantan suaminya. Puas lu!" Semua orang terbelalak mendengar pernyataan Cahyo. Termasuk Lastri yang dari tadi hanya diam menonton, "Nces, ini si Cahyo beneran? wahhh, mantap surantap, gosip panas, gosip panas," "Hah, dia yang suruh jaga rahasia, malah dia yang bongkar. Dasar stress," To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD