Kalang Kabut - 2

1266 Words
20 Juni 2015. Sekolah dimulai. Walau belum berada ditahap belajar. Murid baru melakukan Masa Orientasi Siswa (MOS). Pengenalan lingkungan sekolah, dengan cara yang sangat aneh. Entah mengapa pengenalan seperti ini selalu sama tiap tahunnya. Bukannya mempelajari lingkungan, siswa baru malah diajari untuk menjadi orang aneh dengan menggantung papan nama di leher mereka. Siswa laki-laki mengenakan batok kelapa sebagai topi, sedangkan siswa wanita wajib mengepang rambutnya menjadi dua bagian dan memakai topi kerucut. Masing-masing mereka mengenakan ikat pinggang berupa tali rafia yang berjuntai-juntai, dan wajah mereka dicoret menggunakan arang. Pengenalan sekolah yang sangat tidak masuk akal. Para kakak kelas berlagak seperti gangster jalanan. Membentak sana-sini. Mereka sangat ahli mengintimidasi para siswa baru yang ketakutan. Entah ini orientasi siswa atau pelajaran membully orang lain. Saat ini Cahyo dihukum oleh kakak kelas, karena lupa membawa papan namanya. Ada satu orang lagi yang juga tidak mengenakan papan nama. Dia adalah Bekti. Cahyo protes. Bekti hanya mendapatkan hukuman ringan, dia hanya harus bernyanyi lagu Indonesia Raya, dan disuruh kembali ke barisan setelahnya. Sementara Cahyo, dia harus push up dua puluh kali, lari keliling lapangan lima kali, dan mendapatkan coretan wajah berkali-kali. Hingga dia berubah menjadi manusia arang. "Kakak kelas itu ada masalah apa sih ama gua? gak adil banget. Masa tuh cewe, siapa namanya? Bekti Aruna?" "Aruna Bekti," sambung teman Cahyo. "Iye, itulah dia. Masa dia cuman disuruh nyanyi doank. Nah, gua disuruh push up, lari, sampe dicoret-coret kek gini. Apaan dah, pilih kasih!" Cahyo mengomel karena merasa hukuman tersebut sangat tidak adil. "Ya kan dia cewe. Masa disuruh push up," ucap temannya kemudian. "Lah, kalau gak bisa push up kan dia bisa lari keliling lapangan. Tiga kali kek biar adilan dikit. Dasar, pas nyanyi juga suaranya gak keluar. Apaan dah, kek tikus kejepit." Cahyo menanggalkan topi batok kelapa dari kepalanya "Ini lagi, masa kita disuruh pakek batok kelapa, tuh cewe-cewe pake topi kerucut!" teriaknya makin kesal. Beberapa detik kemudian, Bekti entah dari mana datangnya, tiba-tiba mendekati Cahyo. Dia menatap wajah Cahyo lekat, hingga Cahyo terdiam, tak bisa berkata apa-apa. "Lu ... ngerasa gak adil? mau protes? makanya jadi cantik kalau mau diistimewakan," ucap Bekti, setelah itu langsung berlalu meninggalkan Cahyo. "D-Dia bilang apa barusan? sombong bener, anjirun, ngapain Lu nyusuh gua jadi cantik? dasar gila!" "Jangan treak, orangnya dah jaoh noh, tadi aja pas dia disini, Lu kicep gak berani ngomong," teman Cahyo menggelengkan kepalanya, lalu berdiri meninggalkan Cahyo. "Siapa yang gak berani? oy, tungguin gua. Aih, sialan bener." 2021 Setelah berteriak di dalam kelas dengan panik, Bekti akhirnya diseret keluar. Laki-laki itu mencengkram tangannya erat, dan menariknya sekuat tenaga, tubuh Bekti yang ringan serasa melayang karena tarikan kencang tersebut. "Woy! lepasin, sakit tau!" Bekti menarik tangannya dari laki-laki tersebut. "Akh! gua hampir gegar otak. Tangan Lu ringan banget ya, gak berubah dari dulu!" Laki-laki itu melotot menatap Bekti. Telinganya berdenging karena Bekti memukul kepalanya dengan keras, "Sîalãn!" dia mengumpat dengan baik. Tentu saja, dia ahli mengumpat, laki-laki ini tak lain adalah Cahyo Purnomo. Status hubungan, duda. Hobi, melempar barang dan mengumpat. Motto hidupnya dahulu, "Menikah adalah kebahagiaan". Moto hidupnya yang sekarang, "Jangan menikah, maka hidupmu akan bahagia". Laki-laki berusia dua puluh empat tahun ini ternyata juga mendaftar kuliah, dan siallnya, dia berada di kampus yang sama dengan Bekti, yang tak lain adalah mantan istrinya. Cahyo masih tak percaya dengan hidupnya. Kenapa Bekti selalu mengikuti kemanapun dia berada?. "k*****t, ngapain Lu disini!?" tanya Cahyo dengan nada melengking. "Lah, emank orang kesini mau ngapain? ya mau kuliahlah!" "Aih, Lu ngikutin gua, kan? udah gua bilang, kita jangan pernah ketemu lagi!" "Eh Caplang, siapa juga yang ngikutin Elu! gua disini mau kuliah, tau. Ih *GR banget, uweek ...." Bekti mengusap perutnya. Ke GR-an Cahyo membuatnya ingin muntah. "Begitu banyak kampus di Jakarta, napa Lu kuliahnya dimari?" "Ye, suka-suka gua dong, mau kuliah dimana. Ngatur amat," "Pindah gak Lu, gua bilang pindah!" "Ye, ngapain juga gua mesti pindah. Elu aja sono yang pindah." "Elu ini bener-bener yak ..." "Napa, Lu takut ya, jatuh cinta lagi ama gua?" "Amit-amit deh Lu, jangan-jangan Elu lagi yang masih cinta ama gua," "Ih, bangsad banget sih ni anak," Bekti mengangkat tangannya bersiap untuk memukul kepala Cahyo. "Mas Cahyo, ngapain di luar sini, cepetan masuk ke dalam, kelas udah mulai." Bekti terdiam. Tampak seorang wanita dengan dandanan menor menatap Cahyo. Meskipun berdandan seperti itu, wanita itu masih terlihat cantik. Tubuhnya langsing dan tinggi. Bekti sempat tertegun sejenak. "Iya Sayang, bentar ya ..." ucap Cahyo sambil tersenyum kearah wanita itu. Bekti shock sekali lagi dia mengusap perutnya dan merasa mual, "Sayang? week geli bener gua dengernya," Cahyo melirik Bekti dengan wajah kesal, "Denger ya, anggap kita gak kenal. Jangan deket-deket ama gua, ngerti Lu!?" "Idih, siapa juga yang mau deket-deket ama Lu, amit-amit." "Hah!" Cahyo membuang, muka lalu melengos pergi bersama wanita yang telah menunggunya. Bekti membuat ekspresi jelek di wajahnya, "Mis Cihyi ngipiin diliir sini, cipitin misik, hih!" Bekti mengejek kalimat wanita yang memanggil Cahyo tadi, "Dasar Buaya Caplang. Baru cere satu tahunan dah kegatelan aja!" *** Di rumahnya. Bekti grasah-grusuh tak keruan. Dia tak habis pikir, kebetulan macam apa yang membuatnya bertemu lagi dengan Cahyo. Mereka bercerai dengan tujuan berpisah selamanya, tak saling bertemu lagi. Tapi sekarang malah berada di kampus yang sama. Bekti berguling di sofa, sambil menggigit permen jely. Ini permen yang ke sembilan. Ketika dia sedang stres, makan permen jely bisa meredakan stresnya. "Aih, kenapa harus satu kampus ama si Caplang, sih? malah tuh anak nyebelin. Punya pacar lagi dianya, argh!" Bekti mengacak-acak rambutnya, lalu membuka permen jely yang kesepuluh. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba gawai Bekti berbunyi. Sebuah pesan baru masuk ke gawainya, "Siapa ya?" Bekti berpikir sejenak. Karena pesan tersebut dari nomer baru yang tak dikenal. "Malam Bekti," isi pesan tersebut. Bekti mengunyah permen jelynya dengan cepat, dan segera memberi balasan. "Ini siapa, ya?" Cling! baru sekitar lima detik Bekti mengirin pesan, balasan baru sudah masuk. "Ini aku, Danar." Bekti langsung sumringah ketika tahu siapa yang mengirim pesan. Dia lalu memberikan balasan secepat kilat. "Oh, Danar. Malam juga hehe," "Lagi ngapain?" "Gak ... " Bekti menghentikan ketikannya, lalu berpikir sejenak. Setelah beberapa detik dia menghapus ketikan sebelumnya, dan mulai mengetik kata baru. "Menurut Danar lagi apa?" Bekti tersenyum, lalu menambah emotikon senyum diakhir pesannya. "Hmm, lagi mikirin aku ya?" balas Danar tak berapa lama. Bekti berlonjak, membaca balasan tersebut. "Wih lancar bener dia balasnya, gak pake tunggu-tunggu lagi," ucap Bekti sambil berpikir balasan yang akan dia ketikkan selanjutnya. "Hihihi, bisa aja Danar ih," "Besok kita sarapan baring, yuk," Membaca balasan Danar, Bekti langsung berpura-pura kaget, padahal dia tahu itu hanyalan kesalahan ketik. "Hah! baring?" Bekti menambahkan emotikon merona di ujung pesannya, untuk mendramatisir keadaan. "Eh, maaf. Typo, maksudnya besok sarapan bareng yok, di kampus." "Oh, bareng. Boleh, boleh. Eh btw dapet nomer aku dari mana?" "Ah, dari Roje." "Oh, dari emak cantik?" "Iya, ya udah sampai besok ya, mynpi indha," Kesalahan ketik lagi, dan Bekti masih pura-pura tak mengerti. "Ha, gimana, gimana?" "Mimpi indah, sayang ...." Bekti merona. Dia begitu senang, persis seperti gadis remaja yang baru saja puber. Bekti menarik nafas lalu mengetik balasan dengan gugup. "Iya, selamat malam juga sa ..." Bekti berhenti, lalu menghapus pesannya, dan mulai mengetik lagi, "Selamat malam, cin ..." Bekti berhenti, lalu menghapus lagi, "Selamat malam, Danar," Bekti menambahkan emotikon senyum diakhir lalu emotikon tidur. "Hihihi. Emanknya si Caplang aja yang bisa dapat gebetan. Gua juga bisa, gak tau dia jendes lebih menggoda," Bekti mengelus-ngelus gawainya sambil tersenyum, "Danar ganteng banget sih, pas banget gitu loh proporsi tubuhnya. Gak kayak si Caplang, tinggi kelebihan, kuping kelebaran. Huwahahaha!". ----- Note : *GR (Gede Rasa) sebuah istilah untuk orang yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi berlebihan. To Be Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD