Waktu pun terus berlalu. Beberapa hari belakangan ini Ara sering menghabiskan waktu bersama Rahid. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk menemui Ara setiap harinya. Selama itu juga Rahid terus berusaha keras meyakinkan Ara tentang pernikahan itu. Setelah menimbang-nimbang dan berpikir cukup lama, akhirnya Ara pun mengambil keputusannya. Dia bersedia menerima lamaran itu dan keputusan Ara itu juga disambut bahagia oleh kedua orang tuanya.
“Bagus sayang... ini memang keputusan yang terbaik,” ujar sang papa.
“Iya, Ara... kehidupan kamu akan terjamin jika menjadi istri dari Rahid. Keluarga kita pasti akan semakin dikenal karena berbesan dengan keluarga Triyatno,” sahut sang mama.
Ara hanya tersenyum simpul. Sebenarnya bukan respon seperti itulah yang diinginkannya. Bukankah seharusnya mereka menanyakan alasan Ara terlebih dahulu? Bukankah harusnya mereka menanyakan kesiapan Ara terlebih dahulu? Tidakkah sebaiknya mereka memberi nasehat dan wejangan masalah pernikahan?
Nyatanya papa dan mama Ara tidak seperti itu. Mereka malah sibuk membahas aset dan harta keluarga Rahid. Percakapan orang tuanya itu membuat ara merasa tidak nyaman. Dia merasa resah duduk berlama-lama di sana, padahal dia ingin orang tuanya sedikit lebih memerhatikannya. Karena meskipun sudah mengambil keputusan, sejatinya masih ada keraguan yang terselip di hati Ara. Dia masih merasa gamang. Ada perasaan takut yang selalu menghantui dan dia berharap kedua orang tuanya menyadari hal itu, namun harapan Ara hanyalah sekedar harapan saha.
“Mama yakin kalau Ara sudah menikah dengan Rahid... David tidak akan melengserkan posisi Papa di perusahaan.”
Sang papa tertawa pelan. “Tentu saja, Ma... wah... pernikahan ini benar-benar memberikan keuntungan untuk keluarga kita.”
Deg.
Ara meneguk ludah. Dia berharap obrolan menjijikan itu segera berakhir, namun kedua orang tuanya terlalu antusias menghitung keuntungan mereka berkat pernikahan itu nantinya.
Ara pun beralih menatap televisi yang menyala. Berita di televisi itu sedang menayangkan berita tentang pembunuhan seorang lelaki oleh anaknya sendiri. Pemuda itu mendapatkan hukuman 12 tahun penjara dan sekarang sudah menghirup udara bebas. Sosok pemuda itu kembali di sorot karena dia melakukan pembunuhan itu saat masih berusia 16 tahun. Saat kejadian itu terjadi, publik memang digemparkan oleh kasus mengerikan itu. Karena itulah sekarang media kembali meliput pemuda itu saat dia menghirup udara bebas.
“Benar-benar mengerikan sekali,” desis Ara.
“Kamu bicara apa?” tanya sang mama.
Ara menggeleng pelan. “Nggak, Ma... Ara lagi nonton berita di televisi.”
Sang papa dan mama Ara pun juga mengalihkan perhatiannya pada televisi itu. Mereka terlihat menyimak berita itu dengan seksama sambil sesekali menggeleng pelan.
“Ckckck... begitulah jadinya kalau seorang anak tidak dibina dengan baik,” ujar sang mama.
“Sepertinya dia juga berpendidikan rendah dan latar belakang kehidupannya juga tidak baik, makanya dia bisa brutal seperti itu hingga membunuh ayah kandungnya sendiri,” sela sang papa.
Ara hanya bisa menghela napas. Sejatinya dia merasa jengkel mendengar orang tuanya berkata seperti itu. Seakan mereka sudah menjadi sosok orang tua yang baik bagi Ara. Nyatanya selama inimereka hanya memaksakan kehendak mereka sendiri. Mereka sebenarnya tak pernah punya waktu untuk Ara. Bagi mereka memberikan akses keuangan tanpa batas adalah bentuk cinta dan kasih sayang yang sudah lebih dati cukup untuk Ara.
Ditengah situasi menjemukan itu, tiba-tiba Ara mendengar deru mobil berhenti di depan rumahnya. Ara pun segera bangun dan merapikan pakaiannya. Dia juga memeriksa bayang wajahnya di layar handphone, lalu segera berlari keluar sambil meminta izin pada orang tuanya.
“Rahid sudah sampai, Ma... Pa... Ara pergi dulu ya,” pamit Ara.
“Iya sayang....”
“Hati-hati di jalan!”
_
Mobil terus melaju di tengah jalanan yang basah setelah hujan. Sesekali Rahid melirik Ara yang bermenung menatap keluar jendela. Rahid pun mengernyit bingung. Dia mencoba mengingat-ingat apakah dia sudah melakukan sebuah kesalahan pada Ara hingga perempuan itu memasang wajah masam seperti ini.
“Kamu mau makan apa?” tanya Rahid memecah keheningan.
“Terserah,” jawab Ara datar,
Rahid meneguk ludah, kemudian menggaruk tengkuknya sendiri. Dia melirik Ara dengan sudut matanya. Gadis itu kini mengembuskan napas gusar sembari memijit pelipisnya.
“Ara....” panggil Rahid pelan.
Ara menoleh dengan wajah tidak bersemangat. “Apa?”
“Apa aku sudah berbuat sebuah kesalahan sama kamu?” tanya Rahid.
Ara menatap bingung. “Maksud kamu?”
“Ya... hanya saja hari ini kamu terlihat badmood, jadinya aku berpikir apakah aku sudah membuat kesalahan yang membuat kamu merasa bete.”
Ara tertawa lemah, dia lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Nggak kok... hari ini aku memang merasa capek aja.”
“Hmmm... kamu pasti memikirkan tentang pernikahan kita, ya? pokoknya kamu tenang saja. biar aku yang meng-handle semuanya. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Papa dan Mama aku juga sudah mencarikan Wedding Organizer kenamaan yang sangat bagus. Resepsi pernikahan kita bahkan nantinya mungkin akan disorot media asing karena kemegahannya,” ucap Rahid antusias.
Ara hanya tersenyum pelan. Sebenarnya dia sendiri tidak mendambakan pesta pernikahan yang terlalu mewah. Dia bahkan tipikal orang yang tidak begitu suka berada dalam keramaian. Ara juga tidak suka jika dirinya menjadi perhatian banyak orang. Sikap pemalunya itu memang sudah dimilikinya sedari kecil. Dia selalu mencari alasan saat kedua orang tuanya membawa Ara ke pesta ataupun ke pertemuan-pertemuan yang menurut Ara sangat membosankan.
“Kenapa Kamu diem aja, Ra? kamu nggak suka ya?”
Ara menghela napas. “No problem... aku nggak ada masalah dengan semua itu.”
“Tapi hari ini kamu benar-benar terlihat gelisah dan tidak tenang? Ada apa?” tanya Rahid.
Ara hanya tersenyum tipis.
“Aku ini calon suami kamu, lho Ra... kamu bisa menceritakan apa saja sama aku. Kita adalah dua orang yang akan hidup bersama. Aku adalah pundak yang akan selalu ada untuk kamu. Aku adalah telinga yang akan selalu mendengarkan kamu. Kita akan berada di jalan yang sama, selamanya hingga ajal menjemput nanti,” Rahid berucap serius.
Ara mengerjapkan matanya berkali-kali. Sejenak dia termangu mendengarkan petuah Rahid yang panjang itu. Hingga kemudian kedua sudut bibir Ara terangkat dan dia pun tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha... hahahaha.... sejak kapan kamu jadi bijak seperti ini? kamu itu beneran Rahid yang aku kenal nggak sih? sejak kapan kamu jadi jago berbicara seperti itu?” sergah Ara.
Rahid menatap kesal. Dia mendengkus pelan, lalu menatap jalanan di depannya dengan bibir manyun. Ara pun terkikik pelan melihat tingkah Rahid itu. Sejenak ada aliran hangat yang terasa memenuhi rongga dadanya. Ara menatap Rahid lekat-lekat. Dia merasa yakin bahwa lelaki itu akan membuatnya bahagia. Dia percaya bahwa Rahid akan memberikan sebuah kemerdekaan untuknya. Ara pun mengangguk pelan. Benar, ini adalah keputusan yang tepat untuk melepaskan diri dari kungkungan orang tuanya. Mungkin niatnya menerima Rahid sedikit salah, perasaan Ara kepada lelaki itu belumlah terlalu dalam, tapi Ara yakin dia akan mencintai Rahid seiring berjalannya waktu. Karena lelaki itu memang layak untuk dicintai.
“Kenapa kamu melihat aku seperti itu?” sergah Rahid.
Ara tergelinjang kaget dan langsung memalingkan wajahnya. “Nggak kenapa-napa kok.”
Rahid yang kini merajuk menghela napas panjang. “Kamu kamu masih meragukan aku?”
Ara tersenyum nakal. “Hmmm... sebenarnya aku memang sedikit meragukan perasaan kamu.” Ara sengaja menjahili Rahid.
Rahid menatap Ara dengan tatapan syok. Sedetik kemudian dia melonggarkan ikatan dasinya dan membuka kaca mobil agar angin bisa mendinginkan wajahnya yang terasa panas.
“Wah... aku benar-benar tidak menyangka kamu berpikir seperti itu,” ucap Rahid sambil mengelap lehernya yang mulai berkeringat.
“Ya... kadang aku merasa ragu saja.” Ara masih saja menggoda Rahid.
Mobil pun berhenti karena kemacetan di depan sana. Bersamaan dengan itu Rahid menatap Ara lekat-lekat.
“Aku cinta sama kamu, Ra....”
Lima kata itu sukses membuat tulang Ara terasa linu. Dia menelan ludah dan tidak berani menatap binar mata Rahid lebih lama lagi. Sejenak Ara menjadi salah tingkah, tapi kemudian dia bisa kembali mengusai dirinya.
“C-coba kalau memang kamu cinta sama aku... kamu teriak keluar sana dan bilang kamu cinta aku,” ucap Ara kemudian.
Rahid menatap tajam. Ara pun mencibir karena merasa senang menjahili Rahid. Dia tahu Rahid tidak akan mau melakukan hal konyol seperti itu. Ara tersenyum penuh kemenangan, tapi senyumnya perlahan surut saat dia melihat Rahid melepas sabuk pengamannya, lalu melongokkan separuh badannya melalui jendela.
“R-Rahid... kamu mau apa?” tanya Ara yang sekarang berwajah rusuh/
“AKU CINTA ARAAAAAAA...!!!”
“AKU SANGAT MENCINTAI DIAAAAAAA...!!!”
Deg.
Ara hanya bisa melongo mendengar teriakan itu. Rahid bahkan mengayun-ayunkan tangannya di udara dan terus mengucapkan kalimat yang sama. Para pengendara lain yanga da di sekitar mobil Rahid itu pun juga membuka kaca jendela mereka, ada yang ikut bersorak, ada yang tertawa, ada juga yang mengacungkan jempolnya.
“Lanjutkan Bro...!”
“Kalau sudah jatuh cinta tidak peduli orang lain, dunia terasa milik berdua,” sorak yang lainnya.
Ara pun meringis pelan, lalu cepat-cepat menarik Rahid agar kembali duduk di tempatnya.
“Kamu itu apa-apaan sih?” sergah Ara.
Rahid menatap bingung. “Lho ... itu kan keinginan kamu!”
Ara menepuk jidatnya sendiri. Di luar sana orang-orang masih meneriaki mereka sebagian malah memencet klaksonnya dengan ritme yang seperti ketukan musik.
“Masnya lagi nembak pacarnya ya...?”
Ara masih bisa mendengar suara seorang pria yang melongokkan wajahnya dari mobil berwarna biru di luar sana. Sedetik kemudian Ara pun emnatap Rahid dengan wajah kesal, lalu memukul pundak lelaki itu berulang-ulang.
“Ngeselin tau nggak! kamu itu bener-bener ngeselin!” ucap Ara.
Awalnya Rahid membiarkan Ara memukul pundaknya terus menerus, tapi kemudian dia menangkap tangan itu, lalu menggenggamnya dengan lembut.
“Kenapa kamu marah?” tanya Rahid.
“A-aku... aku tadi itu hanya bercanda,” teriak Ara.
Rahid menatap serius. Raut wajah itu pun langsung membuat Ara terdiam dan menelan ludah. Sekarang yang terdengar hanyalah helaan napas mereka semua. Hingga kemudian Rahid menggenggam tangan Ara lebih erat, lalu mulai berucap.
“Lain kali jangan bercanda seperti itu lagi... karena untuk kamu aku tidak akan pernah bercanda... bahkan jika saat ini kamu meminta hal gila sekalipun... akua akan melakukannya.” Ucap Rahid dengan suara lirih.
_
Bersambung...