Ara memasuki kamarnya dengan tatapan nanar. Kedua tungkai kakinya kini terasa lemah. Ara beranjak duduk di tepi ranjang masih dengan wajah yang terlihat bingung. Sedetik kemudian dia meraba bibirnya dan kembali teringat dengan apa yang tadi sudah dilakukan Rahid padanya. Ara menelan ludah. Itu adalah ciuman pertama bagi perempuan berusia 23 tahun itu. ara bahkan masih bisa mengingat bagaimana hangat deru napas Rahid saat dia berbisik usai melakukan aksi gilanya itu.
“Aku menunggu jawaban kamu....”
Ara menggeleng pelan, lalu mengempaskan wajahnya ke bantal yang empuk. Tidak lama kemudian kedua kakinya menggelinjang ke udara disertai suara pekikannya yang teredam oleh bantal itu.Ara pun mengangkat wajahnya yang sudah memerah dengan napas memburu.
“Gila... dia benar-benar gila,” desis Ara.
Tidak lama berselang Ara mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu berderit pelan dan ternyata itu adalah sang mama.
“Kamu belum tidur?”
Ara duduk bersila di ranjangnya dan menggeleng pelan.
Sang mama pun masuk ke dalam dan ikut duduk di pinggir ranjang itu. Dia menatap Ara lekat-lekat dengan sorot mata yang berubah sayu. Sang mama kemudian juga mengelus kepala Ara dengan deru napas yang terdengar sesak.
“A-ada apa, Ma?” tanya Ara menyadari gelagat yang tidak biasa itu.
Sang mama tersenyum tipis, lalu menundukkan wajahnya. Sepertinya dia cukup kesulitan untuk memulai pembicaraan. Dia berkali-kali mengangkat wajah dan menundukkannya kembali seakan tidak bisa memandang Ara terlalu lama.
“Ada apa, Ma... apa Mama berantem lagi sama Papa?” tanya Ara.
Sang mama tertawa pelan. “Bukan Ara... sebenarnya selama kamu kuliah di Australia ada banyak hal yang sudah terjadi.”
Kedua alis Ara bertaut. “A-apa, Ma.”
Sang mama menghela napas panjang, kemudian melayangkan pandangannya ke jendela kamar Ara. “Sebenarnya 80 persen saham perusahaan Papa kamu sudah diakuisisi oleh Om David.”
Deg.
“M-maksud Mama?”
“Iya... Akhir-akhir ini perusahaan mengalami masa-masa sulit bahkan nyaris bangkrut. Papa kamu sudah berusaha keras semampunya untuk menyelamatkan perusahaan, tetapi itu ternyata tidak cukup. Sampai akhirnya Om David bersedia berinvestasi, tapi dengan syarat sebagian besar saham itu menjadi miliknya.”
Ara menatap nanar. Kenyataan itu tentu saja membuat dia terguncang. Padahal seingatnya sang papa selalu menang dan jauh lebih berhasil dari om David di masa lalu.
“Setiap harinya Papa kamu merasa cemas karena posisinya yang sudah melemah di perusahaan. Kita nyaris tidak punya apa-apa lagi Ara... Mama dan Papa selama ini sengaja merahasiakannya dari kamu. Sebantar lagi masa jabatan Mama juga akan berakhir,” jelas sang mama.
“L-lalu sekarang bagaimana, Ma?”
Sang mama mendesah pelan. Selama ini kita bertahan dengan uang tabungan yan masih tersisa. Selain itu Mama juga sudah menjual beberapa aset kita seperti rumah, tanah dan villa. Yang menjadi masalah saat ini adalah... sebelumnya Om David mengutarakan niatnya untuk membeli keseluruhan saham itu. Dia ingin menguasai semua perusahaan Papa kamu yang sudah dirintisnya dengan penuh perjuangan.”
Ara menatap tak percaya. “Lalu apa yang bisa kita lakukan, Ma?”
Sang mama meneguk ludah. “Bagaimana menurut kamu tentang keinginan Rahid itu?”
Deg.
“M-maksud Mama tentang pernikahan itu?”
“Mama dan Papa tadi sempat berpikir... kalau seandainya kamu memang menerima Rahid dan menikah dengannya... Om David pasti akan mengurungkan niatnya itu.”
Kedua pupil mata Ara tersentak. Aliran napasnya bahkan tertahan di tenggorokan untuk sekian detik. Sang mama masih berujar panjang lebar menjelaskan berbagai alasan yang menurut Ara tidak masuk akal. Bagaimana bisa mereka menjadikan tumbal untuk menyelamatkan perusahaan? Bagaimana bisa mereka dengan mudah meminta Ara untuk menerima pinangan itu?
Ara bukannya tidak menyukai Rahid. Dia tidak menampik kenayataan bahwa dia tertarik dengan lelaki itu, tapi jika untuk ke jenjang pernikahan Ara merasa terlalu cepat. Pegal dan letih dibadannya karena penerbangan yang cukup lama bahkan belum menghilang, tapi sekarang dia sudah dihadapkan pada situasi yang sulit.
“T-tapi Ma—”
Sang mama langsung meremas tangan Ara perlahan, “Kamu mau kan? toh semua ini juga untuk kebaikan kamu juga... di samping menyelamatkan keluarga, kamu juga akan mendapatkan kehidupan yang layak sebagai istri Rahid.”
Lidah Ara terasa kelu. Ingin rasanya dia berteriak keras mengungkapkan kekesalannya. Ingin rasanya dia berlari dari kamar itu pergi menghilang dan tidak kembali lagi. Ingin dia meluapkan semua perasaannya yang selama ini dipendam, tapi yang keluar dari bibir Ara masih saja seperti biasanya.
“Baiklah, Ma... kalau memang itu keputusan Papa dan Mama.”
_
Malam sudah semakin larut, tetapi Ara masih tidak bisa memejamkan matanya. Batinnya kini sedang ebrperang. Sebagian dirinya menentang keras keinginan orang tuanya itu, tapi sebagiannya lagi mulai memikirkan alasan-alasan kenapa sebaiknya Ara memang menerima pinangan itu. Sebenarnya Ara bukan berpasrah diri dengan menjawab seperti itu. Hanya saja dia tahu betul bahwa menolak pun adalah sebuah hal yang sia-sia. Menolak keingin papa dan mamanya hanya akan menambah sekelumit masalah karena pada akhirnya Ara tetap saja harus menuruti keinginan mereka.
Ditengah lamunannya itu, tiba-tiba Ara dikejutkan oleh dering suara handphone-nya. Dia mengernyit saat menatap nomor yang tidak dikenalnya itu. Ara pun mengangkat panggilan itu dengan ragu-ragu.
“Halo....”
Suara sosok dibalik telepon itu mengejutkan Ara.
“R-Rahid...?”
“Iya ini aku.”
“B-bagaimana bisa kamu tahu nomor handphone aku?”
Rahid tertawa pelan. “Aku selalu tahu segala sesuatu tentang kamu, Ra...”
Deg. Ara tertegun diam.
“Maafkan aku karena sudah berbuat lancang seperti tadi... tapi kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak merasa menyesal sudah melakukannya. Bahkan hal itu membuat keinginan aku untuk memiliki kamu semakin menggebu.”
Ara meneguk ludah. “B-bukankah semua ini terlalu terburu-buru. A-aku masih belum bisa berpikir dengan jernih.”
“Aku akan menunggu... tapi aku tidak mau menunggu terlalu lama.”
“Aku bahkan masih bingung apakah kamu sedang bersungguh-sungguh atau hanya sekedar bercanda.”
Helaan napas Rahid terdengar lirih. “Dari dulu aku selalu serius mendekati kamu... tapi kamu yang selalu mengabaikan aku.”
Ara pun tersenyum pelan. Jika menilik kembali ke masa lalu, Ara menjadi menjadi merasa dahulu. Dahulu Rahid selalu diperlakukannya semena-mena. Mereka sering meributkan hal-hal yang tidak perlu. Namun satu hal yang menjadi perbedaan adalah Rahid akan selalu menjadi pihak yang meminta maaf walaupun Ara yang sudah berbuat kesalahan.
“Tapi aku takut....” ucap Ara kemudian.
“Takut kenapa?”
“Aku takut jika aku belum bisa melakoni peran itu,” jawab Ara.
“Kita akan sama-sama belajar... mungkin pada awalnya kita memang akan menemui kesulitan, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu kita akan bisa menyesuaikan diri.”
Jawaban Rahid membuat Ara mengernyit takjub. Sejak kapan dia menjadi bijak seperti itu? Rahid benar-benar sudah menjelma menjadi seorang lelaki dewasa. Ara pun kembali teringat bagaimana sorot mata Rahid ketika dia menyatakan keinginannya di depan para orang tua. Memang tidak terlihat ada sedikitpun keraguan. Tidak ada terlihat ketakutan sama sekali. Rahid benar-benar terlihat sangat yakin dan bersungguh-sungguh.”
“S-sebenarnya aku berkeinginan untuk melanjutkan study-ku kembali... itulah yang membuat aku harus berpikir sejenak,” ucap Ara kemudian.
“Study? Kamu akan tetap bisa melanjutkannya walaupun kita sudah menikah.”
Deg. Ara sedikit terkejut mendengar penuturan Rahid.
“K-kamu tidak keberatan?”
“Tentu saja... kamu bisa dengan bebas melanjutkan study kamu...,”
Ara meneguk ludah. Apakah dia akan bisa meneruskan cita-citanya jika menikah dengan Rahid? Apakah menikah dengan Rahid adalah tiket kebebasannya untuk menjalani hidup seperti yang dia inginkan. Ara tahu bahwa pemikiran seperti itu sedikit picik, tapi otaknya terus saja memikirkan hal itu. Setelah menjadi istri Rahid tentu saja dia akan terbebas dari intervensi kedua orang tuanya.
“K-kamu serius? Kamu yakin?” Ara bertanya sekali lagi bukan karena dia tidak percaya. Melainkan untuk meyakinkan dirinya sekali lagi bahwa Rahid bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu.
“Iya, Ra... aku adalah seorang lelaki yang selalu memegang kata-katanya.”
Ara tersenyum pelan.
Rahid memang tipikal lelaki seperti itu. Ara jadi teringat pada suatu peristiwa yang dialaminya saat masih duduk di kelas dua SMA. Saat itu dia mengikuti acara perkemahan yang diadakan oleh pihak sekolah. Mereka berkemah di pinggir danau dan bersenang-senang di sana.
Ara sangat menikmati moment menyenangkan itu sampai kemudian dia kehilangan gelang kesayangannya saat berenang di danau itu. Ara begitu panik dan mencoba mencari gelang itu, tetapi dia tidak berhasil menemukannya. Teman-temannya yang lain pun juga ikut membantu, namun juga tidak membuahkan hasil. Ara pun menjadi murung dan sedih. Dia kehilangan minat untuk bersenang-senang dan hanya berdiam diri di dalam tenda.
Tidak tahan melihat Ara seperti itu, Rahid pun mendatanginya dan mengatakan bahwa dia akan mencarikan gelang itu sampai ketemu. Ara tentu saja tidak merasa yakin sama sekali. Dia hanya menganggap perkataan Rahid itu seperti sebuah angin lalu. Waktu pun terus berjalan, Rahid tidak kunjung menemui Ara.
“Dasar pembual,” begitulah pikir Ara waktu itu.
Sampai kemudian di tengah malam Ara terbangun karena kebelet pipis. Dia pun pergi ke toilet umum dengan membawa sbuah senter kecil. Di perjalanan menuju toilet yang terletak di pinggir danau itu, Ara tiba-tiba dikejutkan oleh kemunculan sosok menakutkan dari dalam danau. Semula Ara mengira bahwa itu adalah hantu atau sejenis mahluk penunggu danau.
Tapi ketika sosok itu melangkah semakin dekat dan sorot cahaya senter membuat sosok itu terlihat jelas, Ara pun terkejut. Ternyata itu adalah Rahid dengan pakaian yang masih meneteskan air. Saat itu Rahid tersenyum dengan suara gemeretuk giginya yang terdengar jelas. Badannya sudah menggigil kedinginan. Kemudian dia membuka telapak tangannya yang sudah mengerut, Ara pun semakin terkejut saat melihat gelang miliknya berada di telapak tangan Rahid itu.
“Ya... aku percaya akan hal itu,” ucap Ara kemudian.
“Lalu bagaimana keputusan kamu, Ra...? apakah kamu mau menikah dengan aku? maaf karena aku terkesan mendesak kamu, tapi aku memang tidak ingin berlama-lama dalam mengambil sebuah keputusan yang sudah aku yakini sepenuhnya. Aku benar-benar ingin membina rumah tangga bersama kamu. Aku ingin kamu berada di sisi aku untuk selama-lamanya. Aku ingin kita menua bersama. Aku mencintai kamu, Ra... dulu, sekarang dan selamanya....”
Ara meneguk ludah. Saat ini logikanya bahkan tidak lagi bekerja. Setelah satu tarikan napas yang panjang, Ara memejamkan matanya, lalu berucap.
“Baiklah... aku mau menikah dengan kamu....”
_
Bersambung...