Dosa Terindah – 01
Sebenarnya apa yang menjadi ukuran sebuah kebahagiaan? Apakah uang dan harta yang melimpah? Apakah saat kita berasal dari keluarga yang terpandang? Pekerjaan yang bagus? Wajah yang rupawan? Banyak orang-orang yang berpikir bahwa ketika mereka mempunyai banyak uang mereka akan bahagia. Banyak juga orang yang berpikir jika berasal dari keluarga yang terpandang tentu jalan hidup mereka akan menjadi lebih mudah. Ada juga yang berpikir mempunyai pekerjaan yang bagus akan menjamin datangnya bahagia. Tak sedikit pula yang yang menjadikan fisik mereka sebagai patokan sebuah kebahagiaan.
Namun kenyataannya tidak seperti itu...
Perempuan cantik itu melangkah gontai sambil menyeret sebuah buket bunga yang dibiarkan terjulai menyentuh jalanan. Namanya Tiara Dwi Sinatra, atau biasa dipanggil Ara. Tahun ini Ara genap berusia 23 tahun dan baru saja menyelesaikan studinya di Sydney Australia. Ara merupakan anak kedua dari pasangan Aditia Sinatra dan Jane Sinatra. Ayahnya merupakan seorang pengusaha andal. Aditia Sinatra adalah salah satu pengusaha yang masuk ke dalam daftar 10 orang terkaya di Asean. Sementara ibunya—Jane saat ini menjabat sebagai walikota Bandung—kota kelahiran Ara.
Terlahir dari keluarga berada dan terpandang, membuat Ara tidak pernah mengalami kesulitan di bidang finansial. Dia selalu bisa mendapatkan apa yang dia mau. Membeli baju-baju mahal, tas, sepatu serba branded, merupakan hal yang biasa bagi Ara. Kebutuhannya selalu tercukupi. Dia tidak perlu memikirkan uang saku yang menipis karena yang ayah memberikannya kartu kredit yang unlimited.
Sekilas dunia Ara terlihat begiut sempurna. Apalagi dia juga dikaruniai paras yang menawan. Ara memiliki hidung yang mancung dan bibir yang tipis. Bola mata Ara berwarna cokelat pirang seperti ibunya yang merupakan keturunan Inggris. Rambutnya tebal dan panjang mencapai punggung. Tinggi badan Ara yang mencapai 170 cm juga membuatnya percaya diri untuk menunjukkan kaki jenjangnya.
Kehidupan Ara begitu sempurna. Setidaknya seperti itulah anggapan semua orang yang mengenalnya. Banyak yang iri pada kehidupan gadis pecinta kopi itu. Keluarga yang mapan, paras yang cantik, Latar belakang keluarga yang terpandang, Ara benar-benar memiliki semuanya itu kecuali satu hal.
Yaitu kebebasannya...
“Araaaaa... wah selamat ya, akhirnya kamu lulus juga. Aku bener-bener bangga sama kamu. Proud of you baby.” Seorang perempuan dengan rambut keriting dan memakai kacamata langsung merangkul Ara.
Ara hanya tersenyum tipis. “Bolehkah aku masuk dulu ke dalam? Di luar dingin sekali.”
“Ah iya... tentu saja.” Perempuan itu cepat-cepat menarik Ara ke dalam apartemen mereka.
Perempuan berambut keriting itu bernama Tessa. Dia merupakan housemate atau teman serumah Ara selama dia melanjutkan study-nya di Australia. Mereka berdua sama-sama menempuh pendidikan di The University of Sydney. Tessa mengambil jurusan Art atau seni, sedangkan Ara sendiri mengambil jurusan business sesuai keinginan ayahnya.
“Eh, Ra... tapi by the way kamu nggak langsung balik sama keluarga kamu ke Indonesia? Bukannya hari ini juga kamu bisa langsung kembali?” tanya Tessa.
Ara menghela napas pendek sambil melepas toga yang masih melekat di kepalanya. “Sebenarnya mereka maunya aku juga pulang hari ini.”
“Terus kenapa? bukannya kemarin kamu juga sudah selesai mem-packing semua barang-barang kamu?” Tessa beralih menatap 4 buah koper besar yang tersusun rapi di dekar ranjang Ara.
“Aku berubah pikiran,” jawab Ara dengan tatapan yang berubah sendu.
Tessa menelan ludah. Sebagai seorang teman yang sudah tinggal seatap bersama Ara selama lebih dari empat tahun. Tessa sedikit banyaknya mengetahui lika-liku perjalanan hidup Ara. Latar belakang keluarga mereka berdua sebenarnya hampir Sama. Tessa juga berasal dari keluarga terpandang dan orang tuanya juga merupakan orang yang berpengaruh di Indonesia.
“Ada apa lagi, Ra?” tanya Tessa dengan nada pelan.
“Kamu tahu kan... awalnya aku tidak ingin kuliah di sini. Aku juga tidak ingin mengambil jurusan ini... tapi aku berusaha keras untuk menerima keputusan Papa sama Mama. Aku tidak ingin mengecewakan mereka semua. Aku sudah belajar dengan sangat keras. Aku sudah berjuang mati-matian untuk lulus dengan nilai sempurna. Tapi....” Ara menghentikan kalimatnya.
“Tapi apa, Ra?”
Ara menatap Tessa dengan mata sayu. “T-tapi ternyata semua tidak ada gunanya.”
Tessa mengernyit bingung. “Kenapa kamu berbicara seperti itu?”
“Kamu tahu sendiri kan, aku memiliki rencana untuk menyambung study-ku di Inggris. Aku bahkan sudah sering bertanya-tanya pada saudara Mama yang ada di sana. Tadi aku mengatakan keinginan aku itu pada Papa dan Mama....”
“Mereka menentangnya?” tebak Tessa.
Ara tertawa lemah. Dia mengempaskan kepalanya ke atas kasur yang empuk, lalu menatap langit-langit kamarnya itu dengan hati yang gelisah. Padahal dia sudah berjuang melawan keinginannya sendiri. Dia sudah menempuh pendidikan yang sejatinya tidak dia minati sama sekali. Helaan napasnya kian terdengar sesak saat Ara mengingat bagaimana perjuangannya selama ini.
“Bukankah harusnya aku bisa memilih jalan hidupku sendiri?” tanya Ara dengan suara lirih.
Tessa pun ikut berbaring di sebelah Ara dan menutup matanya sejenak. “Banyak yang mengatakan bahwa kehidupan orang-orang seperti kita itu sangat luar biasa. Mereka hanya tidak tahu bahwa kita hanya hidup seperti burung dalam sangkat emas.”
“Ya... dan itu melelahkan sekali. Kemana pun kaki melangkah ada beban yang harus selalu dipikul. Seperti nama baik keluarga, tradisi, dan berbagai hal yang menjemukan lainnya,” sahut Ara.
“Apa sebaiknya kita melarikan diri saja?” Tessa menoleh menatap Ara.
Ara terkikik pelan. “Aku sudah melihat bagaimana Kak Gibran melakukannya dan itu jauh lebih mengerikan daripada hidup seperti ini.”
“Bagaimana kabar Kak Gibran sekarang? apakah keberadaannya sudah diketahui?” tanya Tessa,
Ara menggeleng pelan. Hingga detik ini dia tidak lagi mendengar kabar dari kakak satu-satunya itu. Gibran adalah anak tertua di keluarga Sinatra. Sebelumnya Gibran juga dipaksa sang ayah untuk kuliah di jurusan bisnis. Tak sampai di situ kehidupan Gibran juga dikontrol 100 persen termasuk dengan siapa dia akan berkencan. Intervensi orang tua dalam kehidupannya, lama-lama membuat Gibran merasa jengah. Dia pun akhirnya memutuskan untuk lari dari rumah, namun ternyata itu bukanlah sebuah akhir.
Diam-diam Aditia Sinatra—sang ayah terus saja diam-diam memantau pergerakan anak sulungnya itu. Dia selalu menghalangi jalan Gibran agar anaknya itu pulang ke rumah. Seperti yang terjadi terakhir kali. Saat itu gibran sudah berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan, namun tiba-tiba saja penerimaannya itu dibatalkan tepat di hari pertama Gibran bekerja. Setelah diselidiki ternyata semua itu karena campur tangan sang ayah.
“Lalu apa alasan kamu menolak pulang bersama mereka?” tanya Tessa lagi.
“Aku katakan kepada mereka kalau aku masih harus mengurus beberapa hal di kampus.” Ara menyeringai pelan.
Ara bangun dari tidurnya dan beralih menatap koper-koper yang sebelumnya sudah ditata dengan sangat bersemangat. Harusnya dia berbahagia hari ini. Harusnya dia bisa tersenyum lepas. Harusnya dia mendapatkan pujian atas kerja kerasnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Papa dan Mama Ara tidak bisa berlama-lama di Australia karena kesibukan mereka berdua. Saat ceremony kelulusan pun mereka berdua masih terlihat sibuk dengan handphone masing-masing. Setelah ceremony kelulusan selesai, mereka bertiga pun beranjak ke sebuah restoran untuk makan siang. Di sanalah Ara menyampaikan keinginannya yang langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya itu.
Sejatinya jalan hidup Ara memang sudah diatur bahkan sejak dia masih di dalam kandungan. Sejak kecil Ara memang sudah dididik untuk melanjutkan tradisi dan juga meneruskan bisnis keluarga. Ara masih teringat jelas bagaimana sang papa dan mama selalu menekankan bahwa dia harus patuh mengikuti semua keputusan orang tuanya itu. Ara mengerti jika semua keputusannya orang tuanya itu memanglah baik untuknya. Ara sangat mengerti akan hal itu, namun...
Salahkah jika dia menginginkan sebuah jalan yang berbeda?
“Andai aku terlahir di keluarga lain... tentu aku tidak akan mengalami ini semua bukan?” tanya Ara.
Hening.
Tidak ada jawaban sama sekali. Ara pun mengernyit heran. Tidak lama kemudian dia pun mulai mendengar suara dengkuran keras.
“Aku malah ditinggal tidur.” Ara menepuk jidatnya saat melihat Tessa sudah terkapar tak sadarkan diri.
Handphone Ara yang terletak di atas meja pun bergetar pelan. Dia segera menjangkau handphone itu dan ternyata ada sebuah pesan yang masuk.
Besok kamu sudah harus pulang ke Indonesia, jadi selesaikan urusan kamu secepat mungkin
Ara mendesah pelan membaca pesa dari mamanya itu. Ara pun beralih membuka akun sosial medianya. Ternyata kedua orang tuanya kompak mengungah foto mereka bertiga yang diambil tadi saat upacara kelulusan itu. Papa dan mama Ara pun juga menuliskan caption yang sangat manis.
Selamat atas kelulusannya putriku tersayang. Mama sangat bangga kepada kamu. Jalan hidup kamu yang sesungguhnya akan segera dimulai. Tetaplah menjadi kebanggaan Mama dan semoga kamu menjadi teladan bagi masyarakat nantinya.
Ara hanya mencibir membaca caption sang mama. “Apa jangan-jangan Mama juga ingin menyeret aku ke panggung politik?”
“Tidak... aku tidak mau!” Ara menggeleng cepat sambil membayangkan jika kemungkinan yang super buruk itu benar-benar terjadi.
Ara pun beralih membaca caption yang diunggah sang papa.
Congratulations My Lovely...
Rasanya baru kemarin kamu merengek-rengek minta gendong di punggung Papa, tapi hari ini kamu benar-benar sudah dewasa seiring dengan pencapaian kamu. Semoga kamu terus bertumbuh menjadi mutiara kebanggaan Papa, ya sayang. Ini semua baru sebuah permulaan. Kedepannya ada banyak hal lagi yang harus kamu takhlukkan.
Ara meneguk ludah. Tatapannya beralih pada banyaknya komentar yang mengelu-elukan keluarga mereka. Hampir semua orang melontarkan pujiannya. Hampir semua orang berkomentar takjub. Banyak nama-nama pesohor, pejabat-pejabat, serta orang-orang penting yang muncul di kolom komentar, tapi Ara malah merasakan sesak yang semakin menghimpit dadanya.
Wajar saja. Kedua orang tuanya bahkan tidak banyak berbicara ketika mereka bertemu secara langsung, namun malah mengunggah foto dan mengucapkan untaian kalimat manis di sosial media. Ara benar-benar sudah merasa jengah. Hati kecilnya selalu berteriak mendambakan sebuah kebebasan. Dia tidak ingin menjalani hidup yang seperti ini. dia juga ingin tersenyum lepas tanpa paksaan. Dia ingin hidup sesuai keinginannya sendiri. Ucapan yang tadi sempat dilontarkan oleh Tessa pun kini terngiang-ngiang di telinganya.
“Apa memang sebaiknya aku melarikan diri saja...?”
_
Bersambung...