Bulan madu yang penuh tragedi. Setidaknya seperti itulah yang dirasakan oleh Ara. Sekarang hanya tersisa lima hari lagi sebelum dia pindah ke rumah keluarga Triyatno. Sebenarnya Ara merasa tidak sabar, namun di sisi lain dia juga sedikit takut. Sejatinya dia masih belum merasa nyaman dengan kedua orang tua Rahid. Ara juga tidak terlalu mengenal kedua kakak lelaki Rahid. Satu-satunya yang dia kenal dan membuatnya nyaman hanyalah Siska, istri dari kakak Rahid yang bernama Adji.
“Araaaaa.... gimana? apa bulan madunya berjalan lancar?” suara Siska terdengar sangat antusias di balik telepon.
Ara hanya meringis pelan. “Ya... begitulah.”
“Hmm... suara kamu terdengar letih sekali. Apa Rahid tidak membiarkan kamu beristirahat?”
Ara meneguk ludah. Dia justru merasa letih karena tidak melakukan apa-apa sama sekali. “ Kak Siska bisa aja,” sergah Ara kemudian.
“Kamu pake kan, pakaian dalam yang aku beliin itu?” tanya Siska lagi.
Ara meneguk ludah. Dia bahkan belum membuka kado pemberian Siska itu. Sebelumnya Siska memang mengatakan bahwa itu kado spesial yang harus Ara kenakan di malam pertama mereka. Ara bahkan tidak mengetahui kalau kado itu berisi pakaian dalam. Mirisnya lagi, kado itu sekarang tertinggal di kamar hotel dan sepertinya Ara tidak akan menjemputnya ke sana lagi.
“A-aku pake kok, Kak,” jawab Ara kemudian.
“Ya..... Terus gimana? apa Rahid suka?” Siska kembali memekik histeris.
Ara tertawa pelan. “Iya. Rahid menyukainya.”
Obrolan itu terus berlanjut. Siska sepertinya sangat penasaran dengan malam pertama Ara. Perempuan berusia 26 tahun itu menanyakan banyak hal. Awalnya Ara merasa nyaman-nyaman saja, tapi lama kelamaan dia juga mulai merasa jengah. Menurut Ara, Siska terlalu mengulik masalah privasinya. Gilanya lagi, Siska bahkan bertanya tentangg durasi, ukuran dan berbagai hal lainnya yang menurut Ara itu menggelikan dan sama sekali tidak pantas.
“Memang ya... keturunan Triyatno memang mantap. Adji juga begitu kok. Aku benar-benar kewalahan hingga detik ini. Walaupun sudah mempunyai anak, tapi untuk masalah ranjang... Adji tetap sama seperti saat kami baru menjadi pasangan suami istri.”
Siska masih bercerita panjang lebar, sementara Ara sudah merasa bosan. Telinganya bahkan kini terasa panas karena sudah terlalu lama menelepon. Ara pun berpikir sejenak untuk mengakhiri panggilan itu.
“Kak Siska... O anu....” Ara mulai menyela pembicaraan.
“Iya, Ra... Ada apa?”
“Rahid tiba-tiba datang, Kak... dan dia sepertinya masih ingin....”
Siska langsung tertawa. “Ah iya... iya... aku mengerti! Selamat bersenang-senang. Aku tidak sabar menunggu kamu di rumah. Ingat ya! berikan service terbaik....”
Ara tertawa canggung. “Iya, Kak... aku tutup dulu ya.”
“Okey, bye.....”
Tuuut... tut...
Ara langsung menghela napas lega saat dia selesai memutus panggilan itu. Dia menatap durasi waktu Siska menelepon. Ara pun menggeleng pelan, itu adalah 45 menit paling membosankan dalam hidupnya. Ara pun menggeleng pelan. Sebenarnya Siska adalah sosok yang menyenangkan. Sepertinya Ara tidak akan kesepian nantinya setelah pindah ke rumah keluarga besar Triyatno.
Senyum ara pun perlahan surut. Tiba-tiba dia teringat pada Resty, istri dari kakak Rahid—Reza yang se usia dengan Ara. Sosok Resty terkesan seperti tokoh antagonis yang menakutkan bagi Ara. Dia jarang tersenyum, apalagi tertawa. Sejak mengenalnya ketika prosesi lamaran, Ara belum pernah mendengar suara Resty. Di pesta resepsi pernikahan pun Resty hanya menjabat tangan Ara tanpa sepatah kata pun.
Apa mungkin Resty tidak menyukai Ara?
_
Sementara itu di kediaman Triyatno semua pekerja rumah tampak sibuk membersihkan sebuah kamar yang akan ditempati oleh Rahid dan Ara. Suasana di rumah itu begitu terlihat mewah dan megah. Rumah itu memiliki desain seperti bangunan jaman Yunani kuno. Ada banyak pilar-pilar yang tinggi menjulang. Di tengah-tengah ruangan itu ada tangga yang membelah ke bagian kanan dan kiri lantai atas. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh potret keluarga Triyatno yang sangat terpandang. Ada banyak guci-guji berharga fantastis dan juga hiasan rumah mahal lainnya seperti lampu gantung berukuran besar yang menjuntai di tengah ruangan itu.
Mama Rahid pun terlihat memantau para pekerja yang masih sibuk mengecat dan mendekorasi ulang kamar yang berada di lantai dua. Sosok sosialita itu tidak sendirian. Dia ditemani oleh dua menantunya Siska dan Resty yang saat ini berdiri di belakang sang mertua.
“Apa kalian tidak merasa kamar ini terlalu kecil untuk mereka?” tanya sang mertua.
Siska dan Resty saling pandang, lalu kompak menelan ludah. Resty kemudian hanya menatap gusar, sedangkan Siska langsung mendekati sang mertua.
“Sebenarnya menurut aku ini memang kekecilan sih, Ma... ini memang kurang layak untuk mereka tempati,” ucap Siska.
Resty mendesah pelan. “Apa ini sebuah kode agar aku bertukar kamar?”
Siska langsung tertawa pelan. “S-siapa bilang? aku hanya mau bilang, kalau aku mau bertukar kamar.”
Siska beralih menatap sang mertua. “Biar aku aja yang pindah ke kamar ini, Ma... jadi Ara dan Rahid bisa menempati kamar aku yang lebih luas.”
“Kamu yakin tidak apa-apa?” tanya sang mertua.
Siska tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok, Ma...”
Mama Rahid mengangguk pelan. Ya, sepertinya itu adalah keputusan yang terbaik. Dia pun beralih menatap Resty, lalu menggeleng pelan. Menantunya yang satu itu benar-benar membuat dia sakit kepala. Selain keras kepala dan angkuh, Resty juga suka membangkang pada siapa saja. Padahal perempuan itu masih berusia sangat muda, dia juga berasal dari keluarga yang bermartabat. Namun kelakuan Resty selama ini benar-benar membuat sang mertua jengah. Namun mau bagaimana lagi, Reza sang putra kesayangan sangat mencintai perempuan itu.
“Resty... kamu sudah minum jamu yang Mama berikan kemarin?”
Resty meneguk ludah, lalu menunduk pelan.
“Kamu harusnya meminum jamu itu lebih rajin lagi. Sebenarnya nih, ya... kamu harus melakukan usaha lebih jika memang ingin mempunyai momongan,” timpal Siska.
“Iya Resty... kamu dengerin deh nasihat Siska. Terkadang anak itu memang diberikan kalau kedua orang tuanya sudah siap dan menginginkan hal itu. Kadang saat melihat kamu... Mama jadi berpikir kalau kamu memang tidak menginginkan seorang anak,” tambah sang mertua lagi.
Resty mendesah pelan, lalu melayangkan pandangannya ke arah yang lain. Dia sudah merasa stress karena kasus korupsi yang kini menyeret nama ayahnya. Suaminya Reza akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan hobi barunya mendaki gunung dan saat di rumah, Resty harus menghadapi sang mertua dan juga Siska yang selalu nyinyir saat sudah membahas tentang keturunan.
“Aku akan meminumnya secara rutin,” ucap Resty kemudian.
Sang mertua pun tersenyum. “Bagus... kamu tidak perlu terlalu larut memikirkan tentang permasalahan yang menimpa orang tua kamu. Sebagai bagian dari keluarga Triyatno, tidak akan ada seorang pun yang akan berani mengusik kamu. Semua akan segera baik-baik saja.”
“Terima kasih, Ma,” ucap Resty singkat.
“Sebaiknya kamu beristirahat.” Siska tersenyum lembut.
Resty pun memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan kemudian beranjak pergi dari sana. Sang mertua dan Siska pun kompak menggeleng pelan saat Resty sudah agak jauh di depan sana. Istri Reza itu memang banyak perangai. Dia tipikal anak yang manja dan tidak peduli pada orang lain.
“Lihatlah pakaiannya itu... apa dia harus memakai baju sexy seperti itu saat di rumah?” tanya Siska dengan tatapan prihatin.
Sang mertua mendesah pelan. “Bukannya fokus pada usaha untuk mempunyai keturunan, dia malah selalu menghambur-hamburkan uang. Shopping setiap hari, berbelanja hal-hal yang tidak perlu... Mama sudah lelah menasehati dia.”
Siska pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sang mertua. Selama ini Resty memang suka berlaku semena-mena di rumah itu. Dia jarang ikut makan bersama keluarga. Dia juga jarang mengobrol dengan anggota keluarga yang lain. Sekilas perempuan itu terlihat seperti tidak mempunyai sopam santun sama sekali. Banyak orang yang sebenarnya tidak menyukai Resty, namun semua tidak dapat berbuat apa-apa karena Resty adalah istri dari Reza. Sosok anak kesayangan yang saat ini juga menjabar sebagai CEO di perusahaan induk milik keluarga. Semua tidak dapat berbuat apa-apa karena Reza selalu melindungi Resty dan Sepertinya Resty juga sadar akan keuntungan itu.
“Ma... aku khawatir kalau nanti Resty....” Siska tidak meneruskan kalimatnya. Saat ini dia tertunduk dengan wajah khawatir.
Sang mertua pun langsung mengelus pundaknya pelan. “Karena itulah kamu harus menjaganya nanti.”
Siska tersenyum lemah. “Iya... Ara itu anak yang sangat manis. Aku tidak mau dia mengalami kejadian mengerikan seperti yang aku alami.”
“Semua itu sudah berlalu... kamu tidak perlu lagi memikirkan hal itu,” pesan sang mertua.
Tanpa sadar, Air mata Siska pun mengalir pelan di pipinya. Dia pun cepat-cepat menyeka air matanya itu. Sang mertua pun menatap prihatin. Dia mengelus rambur Siska perlahan, kemudian tersenyum lembut.
“Semua itu sudah berakhir... kamu harus melupakan semuanya itu.
“Iya, Ma... dulu semuanya baik-baik saja saat aku masih menjadi menantu satu-satunya di rumah ini, tapi sejak kedatangan dia....” air mata Siska kembali berderai.
“Sudah... sekarang kan, ada Ara yang bisa menjadi teman kamu. Kalian berdua harus saling melindungi nantinya, kamu mengerti?”
Siska mengangguk cepat. “Iya, Ma... aku mengerti.”
_
Setiba di dalam kamarnya, Resty pun duduk di depan meja riasnya yang dipenuhi oleh deretan kosmetik paling mahal. Suasana dalam kamarnya itu pun sungguh dipenuhi oleh kemewahan layaknya kamar seorang ratu. Kamar itu bernuansa ungu yang dipadukan dengan warna emas di semua furniture-nya. Terdapat ranjang berukuran sangat luas dengan kelambu ungu yang memiliki corak ke emasan. Di sisi sebelah kanan terdapat sofa lengkap dengan meja dan juga televisi LED yang menempel di dinding. Isi kamar itu terlihat sangat lengkap. Bahkan hingga kulkas pun ada di sana. Semua kebutuhan Resty sudah ada dalam kamar itu, jadi dia tidak perlu lagi keluar kamar dan berbaur dengan para anggota keluarga yang lainnya.
Resty pun menatap ke sekitar kamarnya itu perlahan. “Apa aku harus memberikan kamar ini untuk Rahid dan istrinya?”
Resty tertawa pelan, hingga kemudian dia membuka handphone-nya. Dia melihat postingan Siska di akun i********: yang menampilkan wajah Ara dalam balutan gaun pernikahannya. Resty pun menatap foto itu lekat-lekat. Dia bahkan menyentuh wajah Ara di foto itu dengan jari telunjuknya seraya menyeringai pelan. setelah itu dia beranjak membaca komentar-komentar yang menyanjung dan memuji Ara bertubi-tubi.
“Ara....” dia menyebut nama Ara dengan suara lirih.
Sedetik kemudian satu sudut bibir Resty kembali terangkat, seiring dengan dia mendongakkan wajah menatap tajam ke arah cermin. “Ara... banyak yang memuji kamu seperti malaikat, namun kamu tidak sadar bahwa... kamu akan segera hidup dalam neraka.”
_
Bersambung...