Ara tersenyum senang sambil menikmati aliran air hangat yang kini menyirami tubuhnya. Sekarang masih siang hari, namun Ara baru saja selesai bersenang-senang bersama Rahid yang datang tadi pagi. Setelah sempat tertunda karena berbagai macam hal, akhirnya hari ini kedua pasangan suami istri itu bisa menikmati surga dunia mereka. Ara menggigit bibirnya saat teringat bagaimana kenikmatan yang tadi dia rasakan. Awalnya Ara merasa cemas. Dia juga sempat merasa kesakitan. Namun Rahid ternyata pandai memainkan ritmenya hingga Ara merasa nyaman dan kenikmatan itu pun membuatnya merasa terbang ke langit ke tujuh.
“Dia benar-benar luar biasa,” bisik Ara sambil membasuh tubuhnya.
Setelah selesai mandi, Ara pun kembali masuk ke dalam kamar. Dia tertawa saat melihat Rahid sudah terkapar di atas ranjang karena kelelahan. Ara pun duduk perlahan di samping suaminya itu. Ditatapnya setiap inci wajah Rahid lekat-lekat. Sejak kapan dia terlihat begitu tampan? sejak kapan dia menjadi lelaki perkasa seperti ini? Semua ini benar-benar terasa bagai mimpi bagi Ara. Namun jika seandainya semua memang hanya sebuah mimpi... maka ini adalah mimpi terindah dalam hidupnya.
Cup.
Ara mengecup kening Rahid perlahan. Pria itu pun membuka matanya, lalu tersenyum. “Lho kamu sudah mandi?” tanya Rahid saat melihat rambut Ara yang basah.
Ara hanya terseyum tipis, Rahid pun menarik Ara hingga wanita itu menindih tubuhnya.
“Kenapa?” tanya Ara.
“Kenapa kamu sudah mandi aja? aku belum selesai,” ucap Rahid sambil tersenyum nakal.
Ara pun tersipu malu. “Apa kamu tidak merasa lelah?”
“Aku masih menginginkannya lagi,” jawab Rahid.
Ara menelan ludah. Sejujurnya dia sudah merasa lelah dan penat. “T-tapi aku....”
Rahid menatap bingung. “Tapi apa?”
“Aku merasa sedikit lelah,” jawab Ara.
Deg.
Rahid tiba-tiba langsung menarik baju handuk Ara hingga d**a perempuan itu menyembul keluar, bersamaan dengan itu Rahid langsung membenamkan wajahnya di antara dua buah kenikmatan itu . Ara pun hanya bisa menghela napas pasrah saat Rahid kembali menjamahnya.
Kali ini tidak ada kelembutan lagi. Rahid seperti berbeda 180 derajat. Dia melakukannya dengan sedikit kasar dan keras. Rahid bahkan tidak peduli pada Ara yang meringis dan memintanya untuk memperlambat gerakannya.
“P-pelan-pelan,” pinta Ara lirih.
Tak.
Rahid malah mendorong lebih kuat lagi hingga Ara terbelalak kaget.
“Nikmati saja sayang... nanti kamu juga akan terbiasa. Aaaah... uuuuh... bukankah ini sangat nikmat?” bisik rahid di telinga Ara.
Ara tidak menjawab. Dia bahkan tidak menikmatinya sama sekali. Baginya ini terasa terlalu mengerikan. Rahid semakin liar dengan permainannya. Dia sibuk mendorong, menarik, dan mengubah posisi Ara setiap saat. Sepertinya tidak ada kata lelah bagi pria itu. Cucuran peluh kembali membasahi tubuh mereka berdua. Rahid terlihat sangat b*******h. Dia terus mendesah, melenguh dan mengekspresikan kenikmatan itu dengan senyumannya. Akan tetapi Ara...
Dia kini berharap semua cepat berakhir. Dia hanya menunggu Rahid selesai sambil menggigit bibir untuk mengurangi perih yang menderanya.
“Aaaaaah... aaaahhh... aaah...”
Rahid akhirnya mencapai puncak. Tubuhnya menggelinjang hebat. Bersamaan dengan itu Ara merasakan aliran hangat memasuki organ kewanitaannya. Rahid pun mengatur napasnya yang memburu. Hana sendiri memejamkan matanya dengan napas yang juga sesak. Akhirnya semua selesai.
“Bagaimana? Kamu puas kan?” tanya Rahid sambil memeluk Ara lebih erat.
Ara pun menelan ludah, kemudian memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Sejujurnya dia merasa kesakitan. Sesungguhnya dia merasa Rahid terlalu dominan dan tidak mempedulikan kenyamanannya. Ara sebetulnya ingin mengatakan bahwa dia tidak menyukai permainan yang sepeti itu, namun kalimat yang terlontar dari bibirnya hanyalah.
“Iya... aku sangat menikmatinya.”
Rahid pun tersenyum puas, lalu pergi beranjak ke kamar mandi. Suara pancuran air terdengar nyaring diiringi suara siul Rahid. Sementara itu Ara pun hanya menatap langit-langit kamar itu dengan lemas. Dia bahkan merasa sedeikit kesal karena harus mengulang mandi sekali lagi. Ara pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia mulai memejamkan matanya, tapi tiba-tiba Rahid yang sedang mandi menjulurkan kepalanya keluar.
“Ara...!” panggil Rahid.
Ara terkejut dan langsung duduk dari tidurnya. “I-iya ada apa?”
Rahid menatap nakal, lalu menjulurkan lidahnya. “Ayo sini!”
Deg.
Ara meneguk ludah.
“Ayo kita lakukan di kamar mandi... atmosfirnya akan terasa sangat berbeda. Kamu pasti menyukainya,” ucao Rahid.
Ara tersenyum canggung. Sementara Rahid masih menatapnya sambil menjulurkan tangan. Terlalu lama menunggu, Rahid pun akhirnya keluar dari sana dan menarik Ara secara paksa masuk ke dalam kamar mandi itu.
“Ayolah sayang... ini adalah waktu kita untuk bersenang-senang,” ucap Rahid sambil menjilati bagian belakang telinga Ara.
Ara pun hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Rahid. Sang suaminya itu pun tampak begitu girang. Mereka kembali melakukannya dibawah aliran air yang membasahi tubuh mereka berdua. Rahid benar-benar menikmatinya. Dia bahkan menampar b****g Ara berulang-ulang. Lenguhan suara Rahid terdengar menggema di dalam kamar mandi itu. Erangan penuh kenikmatan pria itu terdengar jelas, namun Ara...
Dia hanya diam tanpa suara dan sesekali menutup rapat kelopak matanya.
_
Sore ini Ara merasa sangat letih, tapi dia harus pulang ke rumahnya karena papa dan mamanya meminta Ara untuk bertemu. Ara pun memaksakan diri untuk pulang ke rumahnya, sedangkan Rahid juga pergi keluar untuk urusan pekerjaan. Setiba di rumah, ternyata kedua orang tua Ara malah tidak ada di rumah. Rumah besar itu benar-benar terasa lengang dan hampa.
Ara pun mendesah pelan saat melirik sebuah potret yang menampilkan dia dan kakaknya Gibran yang hingga detik ini masih juga belum pulang ke rumah. Ara tersenyum lemah. Andai Gibran masih ada di dekatnya, tentu Ara akan mempunyai tenpat untuk berkeluh kesah seperti dulu.
Sosok Gibran memang sangat menyayangi Ara. Sewaktu mereka kecil, Gibran selalu melindungi Ara. Ketika adiknya itu berbuat kesalahan, maka Gibran akan langsung mengaku kalau dia yang menjadi pelakunya. Gibran selalu dihukum atas kesalahan yang Ara perbuat, tapi Gibran tidak pernah merasa keberatan akan hal itu. Bagi Ara, Gibran adalah sosok pahlawan yang akan selalu melindunginya, tapi sekarang... Ara bahkan tidak mengetahui di mana keberadaan saudara kandung satu-satunya itu.
“Kamu tidak perlu lagi memikirkan dia!”
Deg.
Ara terkejut karena mendengar suara sergahan dari papanya itu.
“P-papa?”
“Kamu tidak perlu lagi memikirkan anak durhaka itu,” sergah sang papa lagi.
Ara pun menatap lesu. Dia sudah jengah dengan keegoisan orang tuanya, tapi Ara juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ara pun beranjak duduk di sofa mengikuti sang papa. Ara menoleh ke arah pintu, tapi dia tidak melihat sang mama di sana.”
“Mama mana, Pa?” tanya Ara.
“Mama kamu ada urusan penting, jadi dia tidak bisa pulang ke rumah.”
Ara mengangguk mengerti. “Apa Papa benar-benar tidak tahu di mana keberadaan Kak Gibrab?”
Deg.
Pupil mata sang papa terlihat bergetar dari balik kacamatanya. Ara pun menangkap raut wajah sang papa yang berubah gelisah. Dia menjangkau sebuah koran yang terletak di atas meja, lalu membukanya tanpa menggubris pertanyaan Ara.
Ara menatap bingung. “Pa... kenapa papa nggak ja—”
“Dia itu sudah mati!” sang papa langsung memotong pembicaraan.
“M-maksud Papa?”
“Bagi papa dia itu sudah mati dan tidak ada lagi di dunia ini.”
Ara menggeleng pelan. Dia tidak mengira bahwa sang papa bisa berpikir seperti itu. Bukankah bagaimana pun juga Gibran tetap darah dagingnya? Sebenarnya dosa apakah yang sudah dilakukan Gibran hingga dia dibenci seperti itu? Semua sungguh keterlaluan. Gibran hanya ingin kebebasan dalam menjalani hidupnya sendiri. Ara pun jadi bertanya-tanya dalam hatinya.
“Jika aku menentang keinginan mereka... apa mereka juga akan membenci dan menyingkirkan aku seperti itu?”
Ara pun terdiam dalam lamunannya, sampai kemudian sang papa meletakkan korannya kembali, lalu menatap Ara perlahan.
“Bagaimana? Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?” tanya sang Papa.
Ara memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Ara bahagia kok, Pa.”
“Jadi kapan kamu akan pindah ke kediaman keluarga Triyatno?”
“Mungkin sekitar tiga hari lagi, Pa.”
“Kamu harus pandai-pandai dengan mertua kamu nantinya. Kamu harus mengambil hati mertua kamu itu. Kamu ingat tidak, dulu papa mempunyai sebuah hotel bintang lima di Sulawesi?”
Ara mengingat-ingat sebentar. “Ara ingat, Pa... memangnya kenapa?”
“Ehemm... hotel itu sebenarnya sudah lama diakuisisi oleh papanya Rahid. Jadi Papa berharap... kamu bisa membujuk mereka. Kamu harus bisa mendapatkan hotel itu kembali Ara... Papa yang sudah merintis hotel itu dari awal dan mereka hanya tinggal menikmati hasilnya saja. Pokoknya kamu harus bisa membujuk keluarga triyatno. Mungkin untuk permulaan kamu bisa membujuk Rahid terlebih dahulu. Dia pasti akan mendengarkan kamu karena kamu adalah istrinya.
Ara menatap nanar. “Papa menjual hotel itu pada mereka, tapi sekarang Papa meminta aku untuk mengambil kembali hotel itu kepada mereka?”
Sang papa tersenyum. “Benar sekali sayang... karena kita sudah menjadi keluarga, tentu mereka akan mau saja. Aset seperti itu masih sebuah hal yang kecil bagi mereka.”
Ara tersenyum pelan. “Aku tidak menyangka Papa ternyata berpikiran sempit dan picik seperti ini.”
Deg.
Sang papa melotot tajam. “Apa maksud kamu berbicara seperti itu ha? semua ini untuk kamu Ara!”
“Untuk aku?” Ara tertawa pelan, lalu bangun dari duduknya. “Semua yang Papa lakukan hanya demi kepentingan bisnis dan keuntungan saja, Pa... termasuk pernikahan aku!”
“Kamu sudah berani melawan, ya? apa karena kamu sudah punya suami sekarang, ha?” bentak sang papa yang juga bangun dari duduknya.
Ara menatap nanar. Pangkal gerahamnya kini beradu kuat. Dia menutup bibirnya rapat-rapat agar tidak bersuara melontarkan kekesalannya. Karena jika tidak bisa menahan diri, Ara pasti sudah melontarkan kata-kata kasar lebih banyak lagi.
“Sudahlah, Pa... Ara capek... Ara mau kembali ke Villa saja,” ucap Ara kemudian.
Sang papa terlihat semakin emosi karena Ara melangkah pergi begitu saja.
“Apa kamu juga ingin meniru kakak kamu yang kurang ajar itu, ha!” hardik sang papa lagi.
Langkah Ara pun terhenti. Dia menghela napas sejenak, lalu menoleh ke belakang menatap ayahnya itu.
“Tidakkah Papa bisa belajar...? Papa sudah kehilangan seorang anak karena keegoisan Papa. Apa Papa mau kehilangan aku juga?” tanya Ara.
Sang Papa terhenyak dan tidak bisa berkata-kata. “K-kamu....”
“Jadi berhentilah, Pa... sebelum Papa benar-benar kehilangan semuanya.” Ara menekankan ujung kalimatnya, kemudian segera bergegas pergi dari sana.
_
Bersambung...