Dosa Terindah - 08

1558 Words
Ara masih menatap nanar. Sementara lelaki itu masih menatapnya dengan seulas senyum anehnya. Situasi itu pun juga disadari oleh para tamu yang lain. Wajar saja, penampilan lelaki itu terlalu berbeda dan mencolok sehingga menarik perhatian. Kedua orang tua Ara kini menatap cemas karena lelaki itu terkesan seperti mengenal sosok Ara. “S-siapa dia, Pa?” tanya mama Ara. Sang papa menggeleng sambil menelan ludah. “Papa juga nggak tahu.” Rahid kini menatap lelaki itu dan ara secara bergantian. “Dia siapa, Ra?” tanya Rahid. Ara menatap Rahid, lalu menggeleng. “Aku tidak mengenalnya.” “Hahahaha.... hahahaha....” Deg. Tiba-tiba lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal. Suara tawanya terdengar sedikit menyeramkan. Setelah puas tertawa, dia pun kembali menatap Ara lekat-lekat dengan mata elangnya. “Apa kamu sudah melupakan aku begitu saja?” tanya lelaki itu. Deg. Pupil mata Ara bergetar seiring dengan ingatan akan yang terjadi di hari itu. Wajah Ara pun menjadi pucat pasi. Tatapannya beralih pada semua orang yang kini memerhatikannya. Ara takut jika lelaki itu mengatakan apa yang sudah terjadi antara mereka. “A-aku tidak mengenal kamu sama sekali,” ucap Ara terbata. Lelaki itu tersenyum sinis, lalu memajukan wajahnya ke telinga Ara. “Aku bahkan masih mengingat bagaimana lembutnya bibir kamu,” bisik lelaki itu. Deg. Wajah Ara seketika berubah pucat pasi. Bersamaan dengan itu petugas pengamanan naik ke atas panggung dan menyeret lelaki aneh itu pergi dari sana. Ketka di seret oleh petugas keamanan itu pun dia masih terkikik dan menyeringai menatap Ara yang kini terduduk lemas. Kejadian itu pun sukses menjadi buah bibir semua tamu undangan. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? siapakah lelaki itu? kenapa dia bisa ada di pesta ini? apakah lelaki itu mempunyai hubungan istimewa dengan Ara? Apa mungkin lelaki itu adalah mantan kekasih Ara? Berbagai spekulasi pun kini muncul ke permukaan. Senyum yang tadi merekah di wajah keluarga besar Triyatno dan Sinatra kini sirna sudah. Mereka merasa bahwa kejadian itu sudah mencoreng nama baik mereka. Pesta yang tadinya penuh dengan aura kebahagiaan kini terasa canggung. Bisik-bisik para tamu undangan masih memenuhi ruangan itu. Ara pun beralih menatap Rahid perlahan, namun lelaki itu langsung membuang mukanya. Deg. Ara terkesiap dan lekas meraih tangan Rahid perlahan. “A-aku....” Rahid langsung menepis tangan Ara dengan sedikit kasar. “Nanti saja! sekarang ayo kembali berdiri dan singkirkan ekspresi menjengkelkan itu dari wajahmu.” Ara menatap nanar. Dia pun beralih menatap papa dan mamanya yang berdiri di bawah sana. Sorot mata Ara seolah meminta sebuah perlindungan, namun Ara hanya bisa menelan ludah. Sang papa dan mama hanya menatap datar, kemudian melangkah pergi dari sana menghampiri para undangan yang baru saja datang. Helaan napas Ara sejenak tertahan di tenggorokannya. Ekspresi orang tuanya itu sudah menggambarkan semuanya. Ara sudah tahu jelas bahwa kedua orang tuanya itu sekarang juga marah padanya. Pesta resepsi pernikahan itu pun berubah menjadi mimpi buruk bagi Ara. Wajah keluarga besar Rahid pun juga terlihat tidak ramah. Rahid yang berdiri di sampingnya bahkan tidak mengajaknya untuk berbicara lagi. Detik itu pun juga Ara langsung mengerti. Bahwa keluarganya dan keluarga Rahid sama saja. Mereka hanya mementingkan nama baik dan martabat mereka. Ara pun menghela napas panjang saat menyadari takdirnya. “Sepertinya... aku hanya akan berpindah pada penjara yang berbeda.” _ Malam sudah sangat larut, tetapi Ara dan kedua orang tuanya masih mengobrol di lobi hotel, sedangkan Rahid menunggu Ara di kamar spesial yang sudah dipesan untuk malam pertama mereka. Sebelumnya Rahid memang sudah menggatakan kepada Ara bahwa dia ingin menunda agenda bulan madu mereka dikarenakan oleh kesibukan Rahid. Ara pun tidak mempermasalahkan hal itu. Dia juga tidak terlalu suka bepergian keluar negeri seperti yang Rahid rencanakan jauh-jauh hari. “Dia itu siapa, Ra?” sang mama terus saja mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Ara memejamkan matanya sejenak, lalu kembali memandang mamanya itu dengan mata sayu. “Ara harus bilang berapa kali, Ma... Ara tidak kenal sama lelaki itu!” “Lalu bagaimana dia bisa hadir di pesta pernikahan kamu?” tanya sang papa. “Ara nggak tahu, Pa. Mungkun dia itu orang gila atau siapa... Ara benar-benar tidak mengenal dia.” Sang mama menatap Ara dengan tatapan tidak percaya. “Tapi kenapa ekspresi kamu begitu ketakutan saat melihat dia?” Deg. Ara meneguk ludah. Dia mengalihkan pandangannya sembari memikirkan sebuah alasan. Ara pun kembali bergidik ngeri membayangkan apa yang tadi diucapkan oleh lelaki itu. Ara bahkan masih bisa mengingat suara yang lirih dan menakutkan itu. “Jawab yang jelas Ara! Apa kamu mengenal dia?” bentak sang papa. Ara tersentak kaget. Dia melihat wajah sang papa yang sudah memerah menahan emosi. “Aku tidak mengenal dia, Pa... kenapa ekspresi aku seperti itu? wajar saja karena aku merasa takut. Aku tidak tahu apakah dia seorang preman atau mungkin juga orang gila yang mempunyai senjata tajam!” pekik Ara. “Semua ini benar-benar memalukan,” ucap sang papa kemudian. “Benar sekali... padahal kita sudah mengeluarkan banyak uang dan juga sudah melakukan banyak hal untuk sebuah pesta yang sempurna, tapi semuanya menjadi kacau dan berantakan seperti ini. Apa yang akan dikatakan oleh orang-orang nanti. Pernikahan putri keluarga Sinatra didatangi oleh seorang lelaki udik yang membuat semua orang menjadi berprasangka yang tidak-tidak,” sahut sang mama. Ara menatap nanar. “Bukankah seharusnya Mama dan Papa mengkhawatirkan Ara terlebih dahulu? Bukankah seharusnya Mama dan Papa bertanya apa aku baik-baik saja setelah apa yang terjadi itu? sebenarnya apa yang Mama dan Papa pedulikan...!? tanya Ara diiringi air matanya yang mulai menetes. Kedua orang tuanya itu pun hanya menghela napas. Hingga kemudian sang mama bangkit dari duduknya diikuti oleh sang papa. “Sebaiknya kamu segera beristirahat,” ucap sang mama kemudian. Ara pun hanya bisa menatap kepergian orang tuanya itu dengan d**a yang terasa sesak. Gadis itu beranjak menaiki lift  untuk kembali ke kamarnya. Di dalam lift yang kosong Ara kembali menangis tersedu-sedu. Dia duduk berjongkok dan membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Ini adalah hari pernikahannya. Ini adalah hari bersejarah baginya, namun Ara tidak merasa bahagia, malah luka yang sekarang datang menyiksa. TING... Pintu lift­  itu kembali terbuka. Ara lekas-lekas menyeka sisa air matanya, lalu berjalan menuju kamar yang dia tempati bersama Rahid. Sebelum masuk ke dalam kamar itu, Ara mengatur napasnya kembali, kemudian barulah dia masuk ke sana. Ara masuk ke dalam sambil menundukkan wajah. Rahid yang baru saja selesai mandi pun langsung berbalik menatapnya. Tetesan air masih menitik dari rambut dan wajah Rahid yang saat ini hanya melilitkan sebuah handuk di pinggangnya. Rahid pun melangkah mendekati Ara, lalu mengangkat dagu gadis itu dengan jari telunjuknya. “Kamu menangis?” tanya Rahid. Ara menelan ludah. “Papa dan Mama tadi marahin aku. Mereka tidak percaya kalau aku memang tidak mengenal laki-laki aneh itu.” Rahid mengembuskan napas panjang. “Kamu yakin benar-benar tidak mengenal lelaki itu?” Deg. Ara langsung menatap Rahid dengan bola mata bergetar. “A-apa kamu juga tidak percaya sama aku?” Rahid berdecak pelan, lalu beralih mengambil sebuah baju kaos dan memasangnya. “Bukannya aku tidak percaya... tapi siapapun yang melihat kejadian tadi pasti akan berpikiran yang sama.” Ara menatap nanar. “Wajar sih... kalau orang tua kamu marah. Mereka tentu saja kecewa karena pesta pernikahan putrinya menjadi berantakan karena kedatangan teman kamu yang tidak jelas itu,” ucap Rahid lagi. “Aku sudah bilang kalau aku tidak mengenal lelaki itu!’ pekik Ara. Rahid tersenyum sinis, lalu melangkah pelan mendekati Ara. “Aku penasaran apa yang dibisikkan lelaki itu hingga kamu terlihat begitu syok dan menggigil ketakutan?” Deg. Ara menelan ludah. “D-dia....” “Lebih baik kamu mandi dulu sana,” ucap Rahid kemudian. Ara hanya bisa menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi dengan langkah gontai. Ara pun menyalakan pancuran kamar mandi itu dan berdiri di sana tanpa melepaskan pakaiannya. Seiring air yang mulai mengguyur tubuhnya, Ara pun kembali menangis. Dia sempat berharap Rahid akan membelanya. Dia sempat mengira Rahid akan menghiburnya. Dia sempat menyangka bahwa Rahid akan menenangkannya, namun yang terjadi malah semakin membuat Ara larut dalam nestapa. Apakah kejadian itu begitu fatal? Ara bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa semua terkesan berlebihan? Kenapa masalah itu terasa terlalu dibesar-besarkan? Apa semua keluarga konglomerat seperti itu? Ara pun terisak pelan. Di luar sana Rahid pun mendengar suara isak tangis Ara itu. Dia hanya menatap pintu kamar mandi itu sekilas, lalu berdecak pelan. Rahid beralih menatap layar handphone­-nya. Ternyata berita tentang kedatangan pria tak dikenal itu sudah banyak dimuat oleh media. Tak lama kemudian handphone Rahid itu pun bergetar pelan dan itu adalah panggilan telepon dari mamanya. “Halo, Ma...” sapa Rahid dengan nada ragu-ragu. “Kamu sudah menanyakan pada Ara tentang lelaki itu? semuanya benar-benar menjadi kacau Rahid... sekarang Papa kamu sedang berusaha susah payah untuk menyumpal semua media agar menarik pemberitaan itu.” suara mama Rahid terdengar gelisah. Rahid pun menarik napas panjang. “Aku sudah menanyakannya dan Ara bilang dia memang tidak mengenal lelaki itu.” “Bohong...  dia pasti berbohong,” tuding sang mama. Rahid pun tersentak mendengar ucapan sang mama. Ada sedikit amarah yang muncul di hatinya, tapi kemudian Rahid kembali tersenyum. “Pokoknya Mama nggak usah khawatir... aku juga sudah mengerahkan para ahli untuk meredam pemberitaan ini.” “Hah... Mama benar-benar tidak menyangka Rahid... Mama pikir dia benar-benar perempuan yang lugu dan polos, tapi ternyata.... di hari pernikahan saja dia sudah membuat kacau seperti ini, bagaimana nanti? Kamu benar-benar harus memastikan agar dia tidak mendatangkan masalah untuk keluarga kita... harusnya kehadiran dia itu menjadi sebuah keuntungan, kamu mengerti?” Rahid menelan ludah. “Iya, Ma... aku mengerti.” Setelah selesai mandi, Ara pun keluar dari kamar mandi dan mendapati kamar yang sepi. Ara menatap ke segala penjuru untuk mencari keberadaan Rahid, tapi sosok suaminya itu tidak lagi terlihat. “Rahid....!” “Rahid....!” Ara pun terus memanggil Rahid sampai kemudian dia melihat secarik kertas di atas kasur. Ara mengambil kertas itu dan itu adalah sebuah pesan yang ditulis oleh Rahid. Kamu istirahat saja... aku harus pergi untuk menyelesaikan semua kekacauan yang sudah terjadi. Ara pun terduduk lemas. Dia mengalihkan pandangan ke setiap sisi kamar itu dengan tatapan sendu. Harusnya ini manjadi malam yang bahagia. Harusnya ini menjadi malam pertama yang mendebarkan d**a, Namun yang terjadi benar-benar membuat Ara tidak habis pikir. Mungkin hanya dia satu-satunya pengantin yang ditinggal sendirian di saat malam pertama. _ Bersambung...          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD