Hari yang dinanti-nanti itu pun tiba...
Ara dan Rahid akhirnya melangsungkan pernikahan mereka. Semua prosesnya berlangsung dengan sangat cepat. Acara lamaran, tunangan, hingga acara inti yang hari ini digelar di salah satu hotel bintang lima yang sangat ternama. Pesta pernikahan itu berlangsung sangat mewah dan juga meriah. Para tamu yang datang pun bukankah orang yang sembarangan. Jajaran orang-orang penting diRepublik ini terlihat hadir di sana. Para pejabat, pengusaha terkenal, influencer, serta selebritis Ibu kota juga tampak hadir dalam pesta resepsi pernikahan Ara dan Rahid.
Di kursi pelaminan, Rahid terlihat sangat bahagia dengan senyum yang selalu merekah. Dia terlihat tampan dalam balutan jas formal berwarna cokelat keemasan yang mengkilap. Wajahnya terlihat lebih berseri hari ini, Rona kebahagiaan benar-benar terpancar dari wajah pria berusia 23 tahun itu. Rahid benar-benar terlihat seperti seperti seorang pangeran dari negeri dongeng. Para tamu yang hadir tak henti-melontarkan pujian kepada kedua mempelai.
Ara sendiri terlihat sangat memukau dalam balutan gaun dengan rok mengembang seperti seorang princess. Gaun itu berwarna putih dengan aksen keemasan yang mewah. Selain itu ara juga mengenakan mahkota yang konon terbuat dari emas murni dan juga dipadukan dengan untaian berlian. Polesan make up di wajah Ara benar-benar membuat semua orang pangling. Sempuna. Itulah satu kata yang bisa menggambarka sosok Ara saat ini. Semua lelaki kini terpana menatap kecantikannya dan semua perempuan kini merasa iri dengan kehidupan Ara yang sangat sempurna.
Kilatan kamera tak henti-henti menerpa kedua mempelai. Keluar besar Rahid dan Ara pun tambil kompak dalam balutan kebaya yang dipadukan dengan batik. Warna yang mereka pilih adalah warna merah menyala yang membuat penampilan keluarga ningrat itu terlihat stunning. Semua orang berbahagia di pesta itu. Semua orang terlihat berbahagia, tapi Ara banyak malah banyak melamun dengan berbagai pemikiran yang kini mengganggu otaknya.
“Apakah semua ini benar-benar nyata?” tanya Ara dalam hatinya.
Bersamaan dengan itu, dua orang perempuan yang memakai baju kebaya berwarna senada dengan baju seragam keluarga menaiki panggung pelaminan. Mereka adalah Resty dan Siska. Keduanya merupakan istri dari kedua kakak lelaki Rahid, Adji dan Reza. Ara pun tersenyum senang menyambut istri dari kakak iparnya itu. Kelak tentu mereka akan semakin dekat karena Ara akan bergabung menjadi bagian dari keluarga Triyatno.
“Araaa... kamu terlihat cantik sekali sayang.” Siska langsung memeluk dan mengecup kedua pipi Ara,
Siska adalah istri dari kakak tertua Rahid yaitu Adji. Resty sendiri juga bukan orang sembarangan. Dia merupakan putri dari mantan menteri dalam negeri. Selain itu Siska juga merupakan seorang desainer ternama yang cukup diperhitungkan. Wanita berusia 26 tahun itu memang merupakan tipe perempuan yang ambisius. Semua itu bahkan terlihat jelas dari sorot matanya yang tajam. Resty itu berperawakan kurus dan tinggi. Sekilas dia terlihat seperti model luar negeri. Terlebih dengan kulitnya yang tanning. Sekilas dia terlihat seperti wanita Amerika Latin dengan kulit cokelat eksotis dan rambutnya yang dicat berwarna cokelat itu. Siska juga suka memakai riasan smokey eyes yang membuat penampilannya semakin mempesona. Istri dari Adji itu benar-benar dipenuhi oleh aura yang kuat. Sekilas dia seperti seseorang yang sulit untuk didekati. Ara pun awalnya berpikir demikian, namun ternyata Siska tidak seperti itu. Ara bahkan bisa cepat akrab dengan perempuan itu.
“Ini semua berkat pakaian dari Kak Siska... Makasih ya Kak,” ucap Ara malu-malu.
Siska menggeleng pelan. “No... memang dasar kamunya yang sudah cantik, jadi pakaian apapun juga pasti akan terlihat cocok untuk kamu, Ra... Wah. Pokoknya aku senang sekali. Nanti aku akan menjadikan kamu sebagai roles mode aku pokoknya.
Ara tertawa pelan. “Aku rasa itu akan sangat menyenangkan.”
Siska mengedipkan matanya. “Tentu saja.”
Setelah itu Siska pun beralih memberi selamat kepada Rahid. Bersamaan dengan itu Resty melemparkan sebuah senyum yang terkesan canggung kepada Ara. Sejak awal mengenal Resty, Ara memang merasa bahwa dia seseorang yang sangat tertutup. Berbeda dengan Siska, Resty yang seumuran dengan Ara terlihat lebih kalem dan tidak banyak bicara. Dia selalu memasang wajah datar dengan tatapan tajamnya. Awalnya Ara mengira dia akan lebih mudah akrab dengan sosok Resty karena mereka sebaya, namun kenyataannya malah sebaliknya. Ara lebih mudah akrab dengan Siska yang sebelumnya disangka sulit untuk didekati.
“Selamat, ya,” ucap Resty pelan.
Ara tersenyum tipis. “Iya terima kasih.”
Di saat Siska dan Resty turun dari panggung pelaminan, Ara pun langsung menarik lengan jas Rahid.
“Ada apa?” tanya Rahid.
“Sepertinya Resty tidak menyukai aku,” bisik Ara dengan tatapan yang masih tertuju pada Siska di bawah sana.
Rahid tersenyum pelan. “Resty itu sebenarnya orang yang baik. Hanya saja sekarang dia sedang menghadapi masalah yang cukup rumit.”
Ara menatap bingung. “Permasalahan apa?”
“Ayahnya sedang diselidiki oleh KPK terkait kasus korupsi,” bisik Rahid.
Ara pun tersentak kaget. Pantas saja Resty selalu terlihat lesu. Pada saat acara lamaran lalu bahkan dia mengenakan kacamata hitam walaupun sedang berada di dalam ruangan. Saat itu Ara berpikir kelakuan Resty itu sangat konyol, tapi setelah mendengarkan cerita dari Rahid, Ara pun kini mulai menduga. Apakah waktu itu dia memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang bengkak karena menangis?
“Sekarang nama besar keluarganya sudah tercoreng... benar-benar sebuah hal yang tragis. Kehidupannya jadi hancur dalam sekejap. Itulah kenapa kita harus menjaga nama besar keluarga kita dengan sangat baik,” ucap Rahid kemudian.
Deg.
Entah kenapa Ara merasa sedikit kurang nyaman mendengar kalimat itu. “T-tapi setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan.”
Rahid tersenyum sinis. “Hanya manusia bodoh yang berbuat kesalahan hingga merugikan dirinya sendiri.”
Ara menelan ludah. “Dia tidak tahu bahwa Rahid memiliki pandangan yang seperti itu.”
Tatapan Ara pun beralih pada para tamu yang tersebar di seluruh ruangan aula itu. Senyum orang-orang itu terlihat palsu. Sebagian dari mereka bahkan masih sibuk membahas bisnis, peluang, dan segala sesuatu yang hanya mengkaji tentang laba rugi. Ara meneguk ludah. Apakah ini memang akan menjadi sebuah kebebasan untuknya? Atau akan menjadi sebuah penjara baru yang akan mengikatnya lebih erat lagi?
Tiba-tiba Ara kembali merasa gamang. Keyakinan yang sebelumnya menguatkannya kini perlahan menguap. Alunan musik yang merdu masih mengalun pelan, tapi Ara tidak lagi mendengarnya. Lama kelamaan ruangan itu terasa berputar. Sejanak Ara merasa bagai terlempar ke dalam dimensi ruang dan waktu berbeda. Telinganya berdengung, hingga kemudian helaan napas Ara terdengar sesak dan Rahid pun segera menggenggam tangannya.
“A-Ara... kamu kenapa?” tanya Rahid.
Ara pun tersadar dan menatap nanar. “A-aku... a-aku hanya merasa sedikit pusing.”
“Kalau begitu sebaiknya kita duduk saja.” Rahid segera membantu Ara untuk duduk di kursi pelaminan itu.”
Ara memijit kepalanya yang kini terasa berdenyut. “A-apakah aku bisa beristirahat sebentar saja?” tanya ara.
Rahid menatap bingung. “Maksud kamu?”
“Aku ingin berbaring sebentar,” jawab Ara.
Rahid menelan ludah dan meremas jemari Ara perlahan. “Kamu duduk di sini aja. Tahan sebentar okey... kalau kamu pergi dari sini, nanti apa yang akan dikatakan oleh para tamu undangan? Mereka ke sini untuk melihat kita. Untuk memberikan selamat kepada kita. Bahkan pernikahan kita ini juga disiarkan secara langsung di televisi. Kamu harus bertahan oke? Kamu pasti bisa.”
Ara menelan ludah.
Apa ini?
Kenapa...?
Kenapa perasaannya menjadi semakin tidak enak?
Ara pun hanya mengangguk lemah. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba disergap oleh perasaan aneh seperti itu.
Kemeriahan pesta itu pun terus berlanjut. Ara sudah merasa penat memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia ingin semua ini cepat berakhir, namun tamu yang datang seakan tidak ada habisnya. Di tengah-tengah situasi itu, tiba-tiba Ara terkejut melihat satu wajah yang membuat dia mengernyit.
Sosok lelaki yang berdiri sambil memegang gelas minuman itu menatapnya sambil berdiri dengan menyilangkan salah satu kakinya. Ara pun mencoba mengingat-ingat. Penampilan lelaki itu terlihat kontras dengan para tamu yang lain. Dia hanya mengenakan pakaian kasual yang terlihat lusuh.
“Kenapa aku merasa familiar dengan wajah itu?” bisik Ara dalam hatinya.
Rahid ternyata juga menatap pada lelaki itu dengan tatapan heran. “Dia siapa ya? apa kamu yang mengundangnya?” tanya Rahid.
Ara menggeleng pelan. “Tidak. Aku bahkan tidak mengenalnya.”
Rahid menatap lelaki itu dengan tatapan merendahkan. “Sepertinya dia rakyat jelata yang mencari makanan gratis dengan datang ke pesta ini.”
Ara menatap tak percaya. “Apakah Rahid memang seperti ini?” batin Ara.
“Lihatlah luka di wajahnya itu benar-benar terlihat mengerikan,” ucap Rahid lagi.
Deg.
Ara tercekat dengan mata melotot. Dia baru menyadari hal itu bersamaaan dengan sebuah ingatan buruk yang sudah berusaha dilupakannya. Ara pun menatap lelaki itu dengan tatapan nanar, lelaki itu membalasnya dengan tersenyum dan mengangkat gelas di tangannya.
“D-dia....” Ara berucap lirih.
“Kenapa, Ra? apa kamu mengenalnya?”
Ara tidak menjawab. Dia masih menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Ara pun semakin terkejut lagi saat lelaki itu melangkah menaiki panggung pelaminan. Ketakutan itu terasa kembali menyerbu membawa Ara pada kejadian malam itu. Ya, itu adalah lelaki gila yang menyeretnya ke gang gelap waktu itu. Dia adalah manusia paling aneh yang pernah ditemui Ara. Lelaki itu pun melangkah semakin dekat. Ara bahkan bisa mendengar dengan jelas ketukan sepatu boot-nya yang terdengar berat.
Lelaki itu semakin dekat.
Dekat...
Dan sekarang berdiri tepat di depan Ara, lalu menyunggingkan senyumnya yang khas. Ara meneguk ludah dengan napas yang kini tertahan di tenggorokannya. Rahid pun juga menatap heran pada lelaki itu, namun lelaki itu sepertinya tidak menghiraukan Rahid sama sekali. Dia terus saja menatap Ara dengan senyum anehnya.
“Kamu siapa?” tanya Rahid.
Lelaki itu tidak menjawab. Dia mengabaikan pertanyaan Rahid dan masih saja menatap Ara.
Telunjuk Ara pun terangkat pelan. “K-kamu....”
Lelaki itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. “Selamat atas pernikahannya....”
Deg.
Ara meneguk ludah. Itu adalah sebuah kalimat uvapan selamat, tetapi kenapa kalimat itu terdengar mengerikan, bahkan terdengar seperti sebuah ancaman.
Ara pun semakin cemas. “Sebenarnya siapa dia? dan apa yang dia inginkan...?” tanya Ara dalam hatinya.
_
Bersambung...