Chapter 5: Anak yang Baik Hati

1016 Words
Cherry telah tiba di distrik Westfield, dia membawa dua botol dan di letakkan di depan pintu. Mengetuk pintu dan pergi. Biasanya pelanggan itu akan membayar langsung pada pemilik s**u itu. Jadi pengantar hanya bertugas seperti itu, tidak ikut campur dalam hal p********n. Bunyi bel, satu persatu pintu itu berbunyi. Cherry melambaikan tangannya pada setiap orang yang mengambil susunya. Cherry mengambil botol-botol kosong yang ada di tiap pintu. "Terima kasih, baby. Kau manis sekali," puji salah satu penghuni distrik tersebut. Ia menyentuh dagu Cherry. "Thank you, bibi. Saya permisi, nikmati s**u anda." Cherry kembali mengetuk pintu selanjutnya sampai enam belas s**u itu habis dan berada di depan pintu orang-orang itu. Cherry kembali mengendarai sepeda kayuhnya dan kembali ke kios s**u segar itu. Selain s**u sapi, Sydney juga banyak memasok s**u unta. Saat negara itu kekurangan s**u bayi, mereka menggunakan s**u unta untuk memenuhi kebutuhan s**u para bayi yang ada. Banyak manfaat dan khasiat s**u unta, mudah di cerna dan harganya jauh lebih terjangkau, tentu investasi yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak, pembeli dan pengepul. "Aunty, aku kembali," teriak Cherry begitu melihat Debora dari kejauhan. Cherry sampai lupa menekan rem tangannya. "Aa– awas aunty," sungut Cherry. Ia hampir saja menabrak Debora. Wanita berambut separuh putih itu, menahan laju sepeda Cherry yang tidak terlalu cepat. Namun sangat membahayakan jika Cherry sampai terjatuh. "Hati-hati baby, bagaimana jika kau terjatuh? Bagaimana jika botol-botol ini pecah? Kau akan kehilangan $60mu," tukas Debora. "Maafkan saya, aunty. Apa aku akan mengantarkan s**u lagi? Kemana kali ini?" tanya Cherry masih dengan semangatnya yang membara. "Hari ini cukup baby, ini uangmu, dan kembalilah besok. Hari ini kau harus bersekolah." Debora memberikan uang pada Cherry seperti kesepakan sebelumnya. "Terima kasih aunty, saya akan kembali lagi besok." Cherry menerima uang itu dan melambaikan tangan pada Debora, wanita tua itu pun membalasnya dengan tidak lupa senyum yang manis dan hangat untuk Cherry. Cherry duduk di kursi ya g tersedia di sisi jalan khusus pejalan kaki. Ia membuka bekal makan siang yang telah di sediakan oleh sang ayah untuknya. Tidak ada yang berubah dengan isinya. Sepotong kue, telur rebus dengan lembaran keju, dan apel potong. Sesuap demi sesuap santapan itu masuk ke mulut mungil bocah itu. Tanpa terasa air matanya menetes. Rindu! Ya, dia merindukan sosok itu. Wanita yang memberikan berbagai macam bekal makanan dan berbeda setiap harinya. Ibu, Cherry sangat merindukannya. Mama, kau lihat. Ayah sangat baik padaku, tidak pernah lupa menyiapkan bekal untukku. Tapi, aku tidak ingin ke sekolah lagi. Kita sekolah butuh uang banyak, dan kita pun hidup membutuhkan uang yang banyak bukan? Jadi lebih baik aku bekerja agar mendapatkan uang untuk biaya hidup, batin Cherry. Bagaimana bisa seorang bocah sepuluh tahun berpikir demikian? Sekolah untuk mendapatkan pekerjaan, dan bekerja untuk mendapatkan uang, sementara bersekolah membutuhkan uang juga. Sungguh kerumitan yang nyata. Cherry kembali mengemas bekal makanan yang telah habis di makannya, ia kembali berjalan menyusuri sudut kota Sydney, dengan terik matahari di musim panas. Sesekali Cherry meminum bekal airnya. Dan dia menjumpai sebuah restoran yang masih sepi di jam makan siang seperti ini. Cherry menghampiri restoran tersebut, sudah pasti ada peluang untuknya mendapatkan uang tambahan. "Permisi," lirih gadis cilik itu. Ia masuk dan berdiri di depan papan menu yang ada di sebelah kasir. "Selamat siang, manis. Apa kau mau memesan makanan?" tanya seorang wanita yang bertugas di balik laci berisi uang. "Maaf aunty. Aku tidak ingin membeli makan. Aku telah memakan bekalku tadi. Aku hanya ingin bekerja menyebar brosur di kedai aunty ini, boleh?" seru Cherry, dengan mata yang berbinar berharap kesempatan itu datang. "Oh– itu bagus sekali, manis. Terima kasih ya, nanti jika satu saja orang yang datang maka kami akan mendapatkan $2 dari aunty, setuju?" ucap Marly, si penjaga dan pemilik kedai tersebut. "Sure, aunty. Bersiaplah melayani mereka." Cherry dengan optimis mulai keluar dengan membawa secarik kertas yang berisi menu makan, sekaligus dengan harga yang bisa di bilang murah untuk mereka yang memiliki uang. Namun tidak bagi Chris dan Cherry. Makanan itu sangat mahal dinilainya. "Silahkan mampir aunty, makanya sangat enak dan lezat." Secarik demi secarik kertas telah berganti tangan. Mereka tersenyum dengan keramahan yang diberikan oleh Cherry. Beberapa orang telah masuk kedalam restoran itu. Namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Setidaknya, Cherry berhasil membawa pelanggan untuk masuk ke restoran itu. Cherry kembali meminum air yang ada di botol yang selalu terkalung di lehernya. Masih dengan tas ransel yang ia bawa untuk berangkat ke sekolah seharusnya. Lihatlah, Mama. Princess, Mama saat ini sudah pandai membantu orang. Ah– tidak, tapi, pandai bekerja. Aku akan mendapatkan banyak uang untuk ayah, batin Cherry, ia tersenyum saat melihat uang yang telah berhasil ia kantongi. Pukul tiga sore, Cherry menghentikan aksinya, dan kembali memasuki kedai milik Marly. "Aunty, aku harus kembali. Ini sudah waktunya aku pulang," pamit Cherry. "Baiklah, terima kasih untuk hari ini, manis. Siapa namamu?" tanya Marly. Sembari tersenyum indah. Rambutnya yang panjang melambai-lambai karena AC yang berada di dinding tepat di atas kepalanya. "Aunty bisa memanggilku Cherry," jawab anak itu. "Baiklah, Cherry. Ini hakmu. Kau boleh kembali kapanpun kau mau. Terima kasih ya," tutur Marly dengan lembut. Kedua sudut bibir itu masih melengkung indah. "Bye, aunty." Cherry keluar dari restoran itu, selalu melambaikan tangan sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. Ia berjalan, street demi street, untuk mencapai Paddys Market. Lumayan jauh jika dari restoran milik Marly, harus melewati beberapa kelokan dan juga pertokoan. Di depan toko yang tengah tertutup, dan berdebu. Sepertinya toko itu telah tutup sangat lama, di sana ada seorang kakek tua, dengan menggunakan kaca mata, yang tengah menjamu para pejalan kaki dengan kemampuannya bermain biola. Dengan tas biola itu yang berada di bahwa kakinya untuk orang yang ingin memberikan tip akan permainannya yang indah. Cherry mendekatinya, dan dia tidak melihat ada uang di sana. Bahkan satu dollar pun tidak terlihat oleh Cherry. "Hai, kakek," sapa Cherry. Kakek itu menghentikan dawai biolanya. Ia menurunkan tangannya yang memang sudah terasa pegal. "Hai, nak. Kau dari mana?" tanya kakek itu. Tanpa menoleh ke arah Cherry dia justru menoleh kearah berlawanan di mana Cherry berada. Cherry bertanya-tanya kenapa kakek itu tidak ingin menatap ke arahnya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakek tua itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD