Episode 4 : Putus Sekolah

1086 Words
Bab 4 Putus sekolah Chapter 3 : Putus sekolah Cherry mendekat pada sang ayah, dan memeluk pria yang kini menjadi satu-satunya orang tua bagi Cherry. "Don't worry, ayah," lirih Cherry. Chris membalas pelukan anaknya dengan tidak kalah erat. "I'm sorry, Cherry. Ayah selama ini tidak tahu kalau biaya sekolah kamu begitu besar," tutur Chris. "Ayah tahu, aku bosan sekolah. Di sana kita hanya di ajarkan pelajaran itu-itu saja," ucap Cherry. Chris semakin mendekap Cherry. Ia tahu betul bahwa sang anak hanya membual, demi menenangkan hatinya. Meskipun Chris tidak sedekat Glory dengan Cherry, tapi dia tahu bahwa Cherry selalu semangat saat pergi ke sekolah. Dia selalu ingin segera berangkat, bertemu dengan teman-temannya. Sudah pasti itu adalah hal yang dinantikan oleh para anak seusia Cherry. "Ayah, akan usahakan dalam satu Minggu kedepan Cherry, tapi ayah tidak yakin kita bisa menutup semua dalam waktu sesingkat itu. Cherry tahu 'kan ayah harus membayar biaya sewa kios, dan juga membayar hutang pemakaman mama," lirih Cherry. Salah, ya, Chris salah mengatakan hal itu pada Cherry. Apa yang bisa di mengerti gadis berusia sepuluh tahun. Namun tidak, Cherry mengerti dan memahami semuanya. "Mama, selalu bilang, kalau kita akan baik-baik saja, selama kita berusaha ayah. Ayah tahu bukan, aku anak yang pintar, dan anak pintar tidak harus di sekolah saat belajar. Ayah juga bisa menjadi guru Cherry. Bahkan ayah akan menjadi guru yang hebat, dan terhebat untuk Cherry," seru Cherry dengan semangatnya. Matanya berbinar menandakan dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Tidak hanya Chris, sudah pasti siapapun yang mendengar anak ucapan anak itu, trenyuh di buatnya. Deting jam sudah mulai berbunyi, dan Paddys Market, mulai kehilangan pengunjung, dan waktunya kios-kios di dalamnya tutup. Chris dan Cherry mulai berkemas. Sejenak melupakan tentang masalah yang melanda, sejenak melupakan tentang biaya hidup yang kian melonjak. Sejenak menepis mimpi dan impian yang mengitari dunia bocah ceria itu. Bergandengan tangan, bersenandung riang, menyusuri street demi street menuju ke rumah huniannya, yang jauh dari kata mewah. Membersihkan diri masing-masing dan siap untuk menikmati makan malam. Namun ini adalah hari yang berbeda, tidak akan sama dengan hari sebelumnya. Di mana orang yang selalu menyiapkan makan malam telah pergi jauh dan tidak akan pernah terlihat kembali. "Kita memasak bersama?" ucap Cherry dengan wajah yang selalu ceria, senyum yang terukir, seakan wajah itu memang tidak ditakdirkan untuk menangis. Chris mengangguk dan memasangkan pelindung pada d**a Cherry, agar pakaian yang bersih itu tidak kotor. Mereka akan membuat menu makan malam yang sederhana dan simpel. Mempersingkat waktu, karena perut mereka sudah merasa sangat kelaparan. Memakan sepotong roti untuk seharian beraktivitas. Mereka membuat salad dengan dressing balsamic serta tumisan kacang merah, zucchini, dan labu kuning. Proteinnya ada chicken curry, atau ada pula vegetarian curry. Sementara itu, karbohidratnya ada potato salad dan nasi putih. Ya! Nasi putih! Tekstur zucchini yang garing dengan labu kuning yang empuk membuat siapapun yang memakannya akan bersemangat. Rasanya begitu memanjakan lidah dan sudah pasti bisa kenyang, dan tertidur dengan pulas. Chris menyiapkan segalanya di atas meja, dia mengambil sebotol air di dalam kulkas sebelum bergabung dengan Cherry di meja makan. Lagi-lagi Chris harus menelan pil pahit kehidupan. Persediaan bahan pangannya mulai menipis, ia tidak yakin dengan beberapa buah, serta sayur mayur yang ada di sana bisa membuat mereka kenyang dalam satu Minggu kedepan. Ya! Satu Minggu, dan selama itu pula Chris akan sangat pusing di buatnya. Dia hanya berharap penjualan sovenir-sovenirnya melonjak naik dari sebelumnya. "Ayah! Ayo, aku sudah lapar," teriak Cherry yang dari tadi tengah melihat sang ayah berdiri di depan kulkas. "Ayah, datang." Chris menutup kulkasnya dan berjalan kearah Cherry yang telah menunggunya. Acara makan malam pertama, tidak ada kesan menarik untuk di ingat. Namun Cherry tetap bersyukur memiliki seorang ayah yang luar bisa, sabar, penyayang dan tangguh. Selama ini Glory membantu bekerja dengan mengantarkan s**u ke pelanggan, terkadang harus mencuci baju dari rumah ke rumah. Mengurus taman orang, dan bahkan menyebar brosur demi memenuhi segala kebutuhan rumah. Itulah sebabnya, Glory tidak pernah kekurangan uang, sekalipun Chris hanya memberinya sedikit uang, yang hanya cukup untuk biaya satu hari. Kini Chris tahu, betapa tidak bergunanya dia untuk keluarganya. Ia ingin merubah kehidupannya, menjadi lebih layak, menjadi lebih baik. Entah itu kapan akan terjadi. Selesai makan malam, selepas Cherry tertidur, Chris hanya duduk di balkon rumahnya. Satu-satunya tempat tinggal yang di miliki. Hadiah pernikahan dari kedua orang tua Chris. Glory, aku tidak tahu kalau selama ini usahamu yang jauh lebih besar dari apa yang aku lakukan. Maafkan aku Glory, batin Chris. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Menikmati hisapan nikotin perlahan bisa membunuhnya. ---- Keseharian mereka masih datar, masih biasanya saja. Ke sekolah, ke kios, memasak bersama, makan malam berdua. Cherry tidak pergi ke sekolah kali ini. Dia mengganti pakaiannya di sebuah toilet toko, dan mulai pencarian. Cherry menjadi detektif? Tidak, dia mencari pekerjaan yang ringan dan menghasilkan uang. Mendatangi toko s**u, mendatangi restoran-restoran untuk menebar brosur seperti yang di lakukan oleh Glory. "Hai, aunty, apa aku bisa membantu mengantarkan s**u-s**u itu?" Cherry menunjuk ke arah di mana botol-botol kaca tertata rapi di atas meja. s**u yang masih segar, dan pasti rasanya lezat. "Hai, baby. Kau tidak bersekolah?" tanya Debora. Dia adalah pemilik kedai s**u di sudut Kota Sydney. "Berikan aku uang atau pekerjaan maka, aku akan bisa sekolah aunty. Sekolahku sangat mahal, dan mama bilang kalau aku anak yang pintar, jadi aku tida perlu ke sekolah untuk belajar. Mencari pekerjaan dan mendapatkan banyak uang adalah pelajaran yang baik untukku aunty," ujar Cherry. Ia menatap bola mata Debora dengan intens. Seakan memperlihatkan keberanian seorang bocah, keteguhan hati serta tekat kuat anak berusia sepuluh tahun. "Kau bersekolah di mana?" tanya Debora sembari memasukkan botol-botol s**u kedalam box dan siap di antar ke para pelanggan. "ACT, aunty tahu bukan biaya di sana berapa perharinya? Ayahku bukan orang kaya, aunty. Dia penyewa kios d Paddys Market. Hust! Tapi, jangan katakan padanya," bisik Cherry. "Hahaha, baiklah. Kau antar s**u ini ke distrik Westfield. Semua orang di sana menyukainya baby, jangan terlambat dan kau akan mendapatkan $60 jika berhasil mengantarnya dengan selamat," tutur Debora. Tanpa menjawab, Cherry dengan senyum merekahnya, mengendarai sepeda kayuh itu menuju distrik yang telah di sebutkan oleh Debora. Tidak jauh dari kios s**u saat ini. Debora tersenyum melihat semangat gadis kecil itu. Hatinya terasa teriris saat mendengar cerita dari Cherry. Benarkah hidup di Sydney sesulit itu? Batin Debora. Ia kembali ke dalam kiosnya dan melanjutkan aktifitasnya, mengemas s**u-s**u steril ke dalam botol kaca. Karena menggunakan botol kaca jauh lebih kuat, dan tidak rawan bocor, juga lebih higienis. Namun selalu ada kelemahan di balik kelebihan, yaitu dia mudah pecah. Maka, harus berhati-hati saat membawanya. TBC....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD