Cadee

1453 Words
Chapter 15 : Cadee Udara dingin di pagi hari memang membuat sebagian orang malas untuk bangun, mereka akan memilih menarik kembali selimutnya dan berkelung hangat di dalamnya. Namun tidak untuk Chris juga Cherry, mereka harus berjuang demi sesuap nasi. Agar perutnya tetap bisa terisi, agar tenaganya kembali terpenuhi. Burung camar, hinggap di pohon Cemara yang ada di sekitar distrik tersebut. Sesekali mereka terbang jika ada yang berjalan di bawah mereka, atau ada suara yang mengejutkan mereka. Namun di menit berikutnya mereka kembali lagi, seakan pohon itu adalah tempat paling nyaman untuk mereka. Cherry, membuka matanya, dia bangkit dan membuka jendela dengan lebar, dia bisa melihat halaman yang luar di depan kamarnya. Dia bisa melihat siapa saja orang yang beraktivitas di depan rumahnya. Gadis itu menghirup udara pagi dengan dalam, merasakan segarnya angin itu, mengisi rongga parunya dengan udara yang masih bersih dan tidak terkontaminasi. Cherry melihat seorang wanita tua, tetapi lebih muda dari Abel, sedang membersihkan halaman depan. Cherry yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, segera berlari menuju ruang tamu dan membuka pintu. Chris yang ada di dapur menoleh lalu bergeleng melihat Cherry. Sang Ayah tahu, bahwa pasti Cherry ingin mengetahui sesuatu saat ini. Chris melanjutkan memasak sayur yang telah dia dapat dari tetangga barunya. Mereka semua sangat baik, dan menerima Chris dan Cherry dengan antusias. Masakan sederhana yang pasti jauh lebih mengenyangkan di bandingkan dengan separuh roti. Kaki ini Chris akan membuat roti dengan irisan buah segar, seperti strawberry, bluberi lalu di siram dengan coklat panas, tidak lupa s**u untuk Cherry. Sementara gadis cilik itu, dia duduk di bibir paving, mengayunkan kakinya maju mundur bergantian, dengan pelan agar tidak membentur dinding yang ada di bagian belakang kakinya. "Hai, Nyonya," sapa Cherry, dengan senyum yang mengembang ceria. Wajah bantalnya sungguh sangat lucu, membuat semua orang ingin mencubit hidungnya yang memerah akibat dinginnya cuaca pagi ini. Benar, musim dingin akan segera tiba, karena itu udaranya sudah menunjukkan tanda-tanda ekstrim. Cherry tidak bisa terlalu kedinginan, dia memiliki rhinitis. Dia akan bersin-bersin jika tubuhnya terlalu berada di udara yang dingin seperti saat ini. Tanpa menjawab, wanita tua itu berjalan mendekati Cherry, sesaat Cherry heran karena sapaannya tidak terbalaskan. Cadee, nama wanita tersebut. Dia memegang pipi Cherry, ketika kulit keduanya bersentuhan Cherry merasa tangan Cadee sangat dingin. Ia meraih tangan yang berkerut tersebut. Menggenggamnya agar dia merasa lebih hangat. "Haciw." Cherry kembali bersin, hidungnya seketika meler. Cadee tersenyum, tanda dia tahu ala yang di alami oleh Cherry. Cadee menggerakkan tangannya, seakan membentuk huruf yang tidak di mengerti oleh Cherry. Namun gadis itu terus mengamati Cadee. Dia ingin tahu apa yang sedang di lakukan oleh wanita tua itu. "Apa maksudnya Nyonya?" Cherry menggaruk kepalanya yang tidak gatal dia tidak tahu apa yang tertulis dengan jari-jari yang bergerak dengan cepat. Cadee celingukan nampak mencari alternatif untuk menulis, tetapi dia tidak mendapatkan apapun. Dari dalam, Chris berteriak memanggil Cherry, karena tidak kunjung datang Chris menyusul gadis itu. Sang ayah melihat Cherry yang berkomunikasi dengan Cadee, tetapi gadis itu tidak tahu sama sekali dengan maksud Cadee. "Apa kamu memiliki alergi cuaca dingin manis?" Suara Chris mengangetkan mereka berdua. Cadee pun berdiri dan memberi salam pada Chris, membungkukkan setengah badannya. Chris membalasnya, pria itu bergabung dengan keduanya. "Nyonya itu, bertanya padamu sayang. Apa kamu memiliki alergi?" Chris kini menerjemahkan bahasa isyarat yang dilakukan oleh Cadee. Cherry menatap ke arah Cadee, wanita itu pun membalas tatapan Cherry, yang masih bertanya-tanya. Kenapa tidak mengeluarkan suaranya? Apa dia seorang Chaplin? Itulah yang ada di pikiran Cherry saat ini. Cadee kembali seperti tahu apa yang ada di pikiran Cherry. Dua kembali menggerakkan jarinya, membentuk huruf-huruf yang masih sangat asing bagi Cherry. "Kata Nyonya, namanya adalah Cadee, dia bukan asli dari negara ini, Cherry. Dia tidak bisa berbicara sejak dilahirkan." Chris kembali menjadi penerjemah bagi keduanya. Setelah mendengar penjelasan dari sang Ayah, Cherry berlari turun dari paving yang sediri tinggi itu dan memeluk Cadee. Cherry ikut sedih dengan apa yang di alami oleh wanita tua itu. Selama hidupnya dia tidak pernah bisa berbicara. "Maafkan aku Nyonya Cadee, aku tidak tahu. Kau pasti sangat sedih." Cherry mendongak menatap wajah Cadee. Wanita itu mengelus rambut Cherry, dan bergeleng. Kemudian dia kembali memberikan bahasa isyarat, dan Chris kembali menerjemahkan. "Kata Nyonya Cadee, ini adalah takdir Cherry. Semua orang memiliki takdir sendiri-sendiri. Seperti takdir kita yang– kau tahu bukan? Tidak ada yang perlu di sesali, kita hanya harus bangkit dan tidak boleh malas," ucap Chris, dan mendapatkan anggukan kepala dari Cadee. "Dulu kakek Papu juga bilang begitu, apa takdir itu penting?" tanya Cherry dengan polos. "Bukan masalah penting atau tidak penting, tapi ini tentang pelajaran yang akan kita lalui dan kita dapatkan, Cherry." Chris mencium kening Cherry, kemudian mengajak serta Cadee masuk ke dalam rumah. Mereka menikmati segelas s**u, dengan tawa yang gembira. Hari ini Cherry mendapatkan kembali pelajaran, meski dia tidak pergi ke sekolah. Chris meninggalkan Cherry di rumah, Sementara dia pergi ke Paddys Market. Kini dia tidak lagi khawatir pada kesempatan anaknya tersebut. Karena banyak orang-orang baik yang ada di distrik tersebut. "Cherry, jangan membuat onar, jangan menyulitkan orang lain oke." Chris mengelus rambut panjang Cherry, dan keluar dari rumah, dia berjalan menyusuri jalanan. Besar harapannya untuk hari ini. Dia berdoa agar hari ini penghasilannya meningkat dari hari biasanya. Sementara Cherry di rumah, tengah belajar bahasa isyarat dengan Cadee. Abel pun datang dengan satu keranjang buah segar untuk Cherry. "Wah! Nyonya Abel, terima kasih untuk buahnya. Apa aku dan ayah tidak merepotkanmu?" tanya Cherry dengan polos, Abel dan Cadee seakan di buat takjub dengan Cherry, dia mengerti cara menghargai. "Ini adalah hadiah untuk tetangga baru, Cherry. Kami biasa melakukannya jika ada tetangga baru. Jadi, jangan berpikir kalau itu merepotkan." Abel duduk di samping Cadee, usianya yang tua tidak lagi bisa berdiri terlalu lama. "Sekali lagi terima kasih Nyonya Abel." Pemilik distrik itu tersenyum. Kemudian mereka kembali belajar bahasa dengan jari seperti Cadee, lebih tepatnya yang belajar adalah Cherry. Sesekali dia memukul dahinya pelan karena salah mengartikan maksud dari Cadee, tetapi di menit berikutnya dia tertawa dengan terbahak-bahak. Abel merasa hidupnya kini lebih berwarna. Tidak salah jika dia menerima Chris untuk tinggal di tempat ini. Lain dengan Abel yang senang dengan kehadiran Cherry. Kini Chris was-was karena nanti malam dia harus memperpanjang uang sewa rumah itu bukan? ---- Tepat jelang makan siang, Paul batu saja membuka matanya. Sinar matahari sudah mulai meninggi, lelaki itu selalu bangun sangat siang, dia bangun dan akan pergi bekerja menyebar brosur di tempatnya kemarin. Pemuda selalu bebas, terlebih jika itu lelaki. Itulah yang kini di alami oleh Paul. Sebelum berangkat dia sempatkan menengok Cherry, dia tampak bosan sendirian, hanya duduk di sofa berwarna hijau tersebut. Jendela yang terbuka membuat Paul bisa melihat aktivitas bocah itu dari luar. Paul mengetuk pintu, dengan cepat pintu itu terbuka, wajah ceria Cherry sudah menyambut kedatangan Paul. "Kakak? Silahkan masuk," ajak Cherry, dia mendaratkan bokongnya di sofa empuk itu. Paul pun menyusul. "Ayah tidak ada di rumah ya?" tanya Paul, yang mendapat anggukan kepala dari Cherry. "Aku bosan kak, aku boleh ikut kakak? Kakak mau kemana?" seru Cherry ingin tahu. "Kakak mau kerja Cherry, bukankah kakak ada janji sama kamu, mau membelikan hadiah juga baju untukmu?" Paul mengacak-acak rambut Cherry. Rambut berwarna pirang yang panjang. "Aku ikut ya? Boleh ya kak?" Cherry menggoyangkan tangan Paul, pria itu tidak bisa menolak permintaan gadis cilik itu. Wajahnya sangat imut jika memaksa. "Baiklah, ayo. Tapi kita harus ijin dulu dengan Nyonya Abel." Mereka beranjak, Cherry menutup pintunya dengan rapat, dan memberikan kuncinya pada Paul agar dia menyimpannya. Usai berpamitan dengan Abel, Cherry menggandeng tangan Paul, sudah menjadi kebiasaan dia mengayunkan tangannya ke depan dan belakang sembari menyenandungkan lagu yang gembira. Paul sangat menikmati perjalannya kali ini. Hingga tiba di kedai lunch big-nya. Dia mengenakan kostum khusus brand dari kedai tersebut, Cherry memperhatikan Paul. Gadis itu pun membantu menyebarkan brosur itu. Banyak pelanggan yang berdatangan, karena wajah Cherry nampaknya adalah hoki untuk restoran itu. "Kau pandai menarik pelanggan girl," puji Paul. Dia kembali mengacak-acak rambut Cherry. Mungkin ini adalah hobi baru bagi Paul. "Aku pernah melakukannya, kakak. Aku berpengalaman." Paul tersenyum mendengar jawaban dari gadis berusia sepuluh tahun tersebut. Dia hanya mengangguk demi membuat senyum Cherry agar selalu terukir di wajahnya. Tepat pukul satu siang, Cherry harus mengantar makanan juga untuk sang Ayah. Bukankah dia mendapatkan beberapa makanan dari para tetangga yang baik hati tadi. "Kakak, aku harus pulang. Aku harus mengantarkan makanan untuk Ayah," pamit Cherry. Sebenarnya Paul tidak tega, tetapi gadis itu sepertinya sangat pemberani, dan tidak ingin menyusahkan orang lain tentunya. "Baiklah hati-hati, kita bertemu sore nanti girl.m, dan kita akan bersenang-senang." Paul mengangkat telapak tangannya, dan Cherry membalasnya hingga mengeluarkan bunyi 'plak' ketika telapak tangan mereka bertemu. "Bye kakak, semangat ya." Cherry melambaikan tangan, dia kembali ke rumah terlebih dahulu. ---- "Dari mana kau dapatkan banyak uang?" " ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD