Chapter 13 : Hunian Baru
Sore itu, kaki Chris sudah terasa kram, karena berjalan ke sana kemari, untuk mencari tempat tinggal yang baru, yang bisa melindungi Cherry dari panasnya terik matahari serta dinginnya udara malam, atau guyuran hujan yang bisa datang setiap waktu.
Setelah pertemuannya dengan pria muda di kedai tadi, membuat senyum dan semangat Chris kembali terisi dengan penuh. Wajahnya yang lesu, kini berangsur membaik, dia menarik kedua sudut bibirnya di sepanjang jalan perjalanan menuju Paddys Market.
Dia tidak sabar untuk mengabarkan kabar gembira ini pada Cherry. Hatinya berbunga-bunga, dan sudah pasti Cherry akan sangat senang seperti sang Ayah saat ini.
Chris mempercepat langkanya begitu tiba di Paddys Market. Bahkan ia sedikit berlari agar segera tiba di kios miliknya.
"Cherry– Cherry ...." Chris memeluk Cherry dengan tiba-tiba, menggendongnya dan membawanya berputar-putar.
"Akh– ha– Ayah, ha ... ha ...." Tawa Cherry seakan menggema di seluruh Paddys Market. Kebahagiaan itu seakan melupakan kesulitan di hari esok. Ya, bukankah kita memang tidak seharusnya ketakutan dengan hari esok, tugas kita hanya berusaha bukan?
"Ayah! Cherry takut!" teriak Cherry, meski takut tetapi gadis cilik itu tertawa dengan lepas. Chris pun ikut senang melihat tawa Cherry yang sudah beberapa hari tidak selepas saat ini.
Chris menghentikan putarannya dan menurunkan Cherry, memangku gadis itu. Napasnya memburu, dan terengah-engah.
Namun senyum mereka tidak pudar.
"Ayah, sudah menemukan tempat Cherry. Tempat untuk kita istirahat nanti malam," tutur Chris.
"Benarkah? Di mana itu?" Napas Cherry pun menggebu, karena lelah, bercampur bahagia, tawanya membuat napasnya tersengal-sengal. Ia memegangi dadanya yang seakan penuh, serta perutnya yang kaku.
"Duduklah, sayang. Tempat itu cukup jauh dari sini." Chris memangku Cherry, dan menyelipkan anak rambut Cherry yang berantakan ke belakang telinga.
"Apa Ayah mendapatkan sewa murah?" tanya Cherry antusias. Sungguh gadis yang pengertian bukan? Tidak ada anak seusianya yang memikirkan biaya sewa. Anak seusianya hanya akan memikirkan mainan, dan juga makan enak. Namun tidak dengan Cherry gadis itu, seperti dewasa sebelum waktunya. Gadis itu mengerti semua hal. Jika saja dia juga mengetahui dari mana roti yang di bawakan oleh sang Ayah beberapa hari lalu dari mana di dapat. Sudah pasti Cherry tidak akan mau memakannya.
"Tentu, sayang. Ada teman Ayah yang memberikan kabar itu pada Ayah. Cherry senang?" Cherry mengangguk senang, ini adalah kabar gembira yang luar biasa.
Mereka mulai menutup kiosnya dan keluar dari Paddys Market. Berjalan bergandengan tangan, bersenandung riang. Chris selalu senang saat pulang dari kios, pasalnya dengan dendang lagu yang keluar dari mulut Cherry adalah kebahagiaan, dan obat tersendiri untuk Chris. Rasanya lelahnya seakan menghilang tertiup angin sore itu.
Chris membawa sisa makanannya, di tangan kanannya, dan tangan kirinya di pegang erat oleh anaknya, Cherry. Suara imut Cherry mengiringi kepergian senja sore itu. Warna keemasan yang di ciptakan olehnya membuat suasana sore semakin indah. Hembusan angin menerpa wajah serta rambut Cherry, melambai-lambai, berterbangan dan menjadi berantakan.
"Hai, paman," sapa Paul, pria muda itu melambaikan tangan dan berseru saat melihat Chris dari kejauhan. Paul menyambut keduanya dengan senyuman.
"Hai, boy. Kenalkan ini anak saya, Cherry." Paul mengulurkan tangannya pada gadis muda yang menggenggam erat jati jemari Chris. Gadis itu melepaskan cengkraman tangannya dan menjabat tangan Paul.
"Hai, Paman. Aku Cherry," balas Cherry, dengan suara yang lucu. Paul mengacak-acak rambut Cherry, dan membalas senyum gadis cilik itu.
"Hei, girl. Jangan memanggilku Paman. Aku belum setua itu. Kau bisa memanggilku kakak, kita akan menjadi saudara yang baik nantinya," ujar Paul, dan di balas anggukan oleh Cherry.
Mereka berjalan menyusuri trotoar, yang banyak di tanami pohon jeruk di pinggirannya serta tanaman bunga yang mini di sisi jalan lainnya.
Kota Sydney benar-benar indah, terlepas dari biaya hidup yang sangat mahal itu. Panorama yang tersaji dari siang hingga malam selalu memanjakan mata. Jika mereka memiliki uang lebih makam mereka bisa menghabiskan waktu di tempat yang jauh lebih indah dari hanya sekedar melihat tanaman yang berjejer di sepanjang jalan.
Mereka berjalan kaki sekitar sepuluh menit, dan sampai di sebuah distrik, yang terlihat lebih gelap dari yang lain. Lampu di tangganya berwarna kuning. Tangganya sendiri terbuat dari kayu, beruntungnya itu masih kokoh.
Paul, memimpin jalan mereka, untuk menemui pemilik hunian tersebut. Namanya Abel dan Jason, mereka adalah pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan hingga usia mereka tidak muda lagi.
Mata Chris membelalak ketika melihat bangunan yang ada di hadapannya. Jendela-jendela yang berjejer, dengan lampu yang remang, sangat wajar jika hunian ini menarik uang sewa yang murah.
Tok ... Tok ...
Paul mengetuk pintu dengan warna coklat. Menunggu untuk beberapa saat hingga penghuni yang ada di dalamnya membuka pintu.
"Paul? Ada apa?" sapa seseorang wanita berambut putih yang memegang tongkat di tangannya. Kerutan di wajahnya terlihat dengan jelas, di perkirakan usianya sekitar enam puluh tahunan. Dia adalah Abel.
"Selamat malam Nyonya Abel. Maafkan saya mengganggu istirahat Anda," ujar Paul dengan lembut.
"It's ok, Paul, katakan ada apa," seru Abel. Dia belum mengetahui bahwa ada dua orang yang berdiri di sisi kiri pintu tersebut.
"Ada yang ingin menyewa ruangan di sebelah saya, Nyonya. Mereka yang ingin menyewanya." Saat itu Chris dan Cherry berjalan menuju di depan pintu. Mata Abel menatap satu sosok kecil yang begitu imut dan lucu.
"Hallo Nyonya," sapa Cherry dengan lembut. Gadis cilik itu mengulurkan tangannya untuk menjabat Abel. Namun Abel tidak bisa meraih tangannya mungil itu. Dia akan terjatuh jika melepaskan tongkat yang ada di tangan kanannya.
"Hai, manis. Oh– kamu sangat lucu. Tapi maafkan aku. Aku tidak bisa menjabat tanganmu itu. Aku sudah tua, dan memerlukan pegangan," tutur Abel.
"Tidak, apa-apa Nyonya. Ini Ayahku." Cherry mengenalkan Chris pada Abel. Di situlah semua tersenyum, Abel jatuh cinta pada Cherry. Dia yang merindukan sosok malaikat kecil di dalam kehidupannya, seakan ini adalah jawaban dari semua ditanya. Meskipun dia buka anaknya, tetapi dia akan tinggal di tempatnya, itu artinya dia akan bisa bertemu setiap saat dengan gadis cilik itu.
"Oh– baiklah Tuan–" Abel bahkan belum tahu nama ayah dari Cherry, mereka belum sempat berkenalan.
"Saya, Chris, Nyonya. Senang berkenalan dengan Anda," ucap Chris. Dia pun merangkul pundak Cherry. Dia sangat gemas dengan tingkah anaknya itu.
"Ha– Chris. Kamu sangat beruntung memiliki anak semanis Cherry, lihatlah matanya begitu cantik dan bersinar." Abel membelai wajah Cherry mengunakan tangan kirinya.
"Sayang, tolong ambilkan kunci Jason' kemari," pinta Abel, ia berteriak pada sang suami. Kunci Jason' adalah kunci untuk kamar J' yang berada di sebelah kamar milik Paul.
Beberapa menit kemudian, seorang lelaki yang tua pun membuka pintu dengan lebih lebar, hingga dia bisa melihat para tamunya.
Abel, mengambil kunci J' dari tangan suaminya, dan memberikan kepada Chris. Lelaki itu mengambilnya dengan senang hati.
"Terima kasih Nyonya Abel," kata Chris. Ia menundukkan sedikit tubuhnya tanda memberikan hormat.
"Saya rasa kamu sudah tahu biaya sewa rumah ini, Chris. Saya yakin bahwa Paul sudah mengatakannya." Abel membelai lagi wajah Cherry, dan gadis itu hanya mengulas senyum manisnya.
"Iya, Nyonya. Ini uangnya." Chris memberikan beberapa yang lembar, untuk biaya semalam di sana. Bukankah tadi sisa uangnya gaya sekitar dua puluh enam dollar.
Ya, sewa permalam di distrik itu adalah sembilan belas dollar. Lumayan murah, apalagi cukup luas jika hanya di huni oleh Cherry dan Chris. Bangunan tiga lantai itu, benar-benar masih terawat, dan bersih. Banyak tanaman di sekelilingnya.
"Selamat beristirahat, Cherry, semoga kami betah tinggal di tempat ini. Sering-seringlah main ke pintu coklat ini Cherry," seru Abel.
"Baik Nyonya, saya punya banyak waktu untuk bermain," sahut Cherry.
Mereka pamit, Abel dan Jason menutup kembali pintunya. Sementara Cherry, Chris dan Paul masuk kedalam rumah baru Chris. Rumah yang dia sewa, malam ini. Berharap mereka bisa menyewanya untuk jangka yang panjang.
"Selamat istirahat, Cherry. Kamarku di sebelahmu dengan pintu idea'," ucap Paul.
"Oke, kakak. Apa kakak mau makan malam bersama kami? Ayah punya banyak makanan untuk malam ini, anggap saja ini adalah ucapan terima kasih Ayah padamu." Cherry menarik tangan Paul untuk masuk ke dalam rumah Chris. Mereka duduk di sofa yang tersedia. Chris mulai membuka bungkusan makanan itu. Meski sudah sangat dingin, tetapi ini masih layak untuk di makan.
Sejak kapan mereka membeli makanan ini? Sudah sangat dingin, apa ini masih enak untuk di makan? Batin Paul.
Pria itu tersenyum canggung, sementara Chris, wajahnya terlihat bersedih seakan tahu ala yang di pikirkan oleh Paul.
"Makanlah, boy. Ini masih enak untuk di makan, meskipun telah dingin." Chris memalingkan wajahnya dan mengusapnya dengan kasar. Ia benar-benar menyesal dan tidak berdaya, dengan keadaan saat ini. Cherry harus memakan makanan sisa.
"Jangan berkata seperti itu Ayah. Meskipun begini, ini adalah makanan terbaik. Ayo Kakak, ambil makananmu. Kita makan yang banyak malam ini, karena besok pasti tidak bisa kita makan lagi, karena telah basi." Cherry memakannya dengan lahap, hingga pipinya menggembung, senyumnya menyembunyikan matanya, karena mulutnya penuh.
Paul, terenyuh melihat pemandangan yang ada di hadapannya, kini dia menyesal telah membuang-buang makanan. Paul mengambil makananmu dan memakannya dengan tidak kalah lahap seperti Cherry.
Ketiganya bersendawa secara bersamaan, dan itu membuat tawa mereka pecah seketika. Chris senang melihat anaknya tertawa selepas saat ini.
"Aku harus pergi, Cherry. Aku harus berkerja kembali. Aku akan membelikan baju untukmu, dan makanan untukmu besok. Anggap saja, sebagai undangan dariku." Paul beranjak, ia mengacak-acak rambut Cherry yang sudah berantakan semakin berantakan.
"Aku akan menunggu undangan itu kakak. Benarkan Ayah?" Chris mengangguk, dan tersenyum.
Dalam hatinya bertanya-tanya apa pekerjaan Paul yang di lakukan di malam hari, pria itu begitu pekerja keras hingga dia bekerja siang dan malam. Namun kenapa tinggal di tempat seperti ini. Pikiran pikiran itu mengitari otak Chris.
"Selamat malam, Paman." Paul menghilang di balik pintu sebelum Chris menjawabnya.
Dia beralih pada sang anak, menyuruh Cherry untuk membasuh kaki serta tangannya lalu tidur.
"Selamat malam Ayah." Cherry menarik selimutnya hingga batas d**a.
"Tidurlah sayang, Ayah akan menjagamu." Chris mengecup kening Cherry, dan meninggalkan gadis itu sendirian di dalam kamar.
Apa pekerjaan Paul? Akankah Chris bergabung nantinya, untuk bisa membawa dan menghidupi Cherry dengan layak?