Chapter 16: Hadiah dari Paul
Dengan langkah kakinya yang mungil, dia berjalan kembali pulang kerumah untuk mengambil bekal makanan sang Ayah. Cherry membawakan buah, Medeleine, serta nasi dengan ayam goreng. Gadis cilik itu membawa dua kotak makanan.
Kembali menyusuri jalan Kota Sydney, di bawah teriknya matahari, dan kesiur angin seakan membawa serta hawa panas itu pergi. Cherry berjalan dengan sedikit melompat riang, bersenandung adalah hal yang paling menyenangkan saat berjalan. Sesekali mengayunkan barang bawaannya. Beruntungnya dia memakai tas yang terbuat dari kain atau di sebut dengan spunbond bag.
Butuh lebih banyak waktu untuk bocah itu sampai di paddy's market, tempat dia tinggal kini sedikit jauh dari biasanya, jika Cherry biasanya berjalan kaki memakan durasi sepuluh menit, kini dia bisa sampai di Paddy's market, dalam waktu dua puluh menit.
Lelah? Tentu gadis itu lelah, akan tetapi semangatnya selalu menutupi apa yang dia rasakan. Sepanjang perjalanan dia selalu tersenyum ketika berpapasan dengan orang-orang, kemudian menyapanya dan melanjutkan irama ria yang dia nyanyikan. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin memegang pipi juga dagu Cherry yang begitu menggemaskan.
Rambutnya yang di kuncir kuda, bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan langkahnya. Gadis itu telah tiba di mana ayahnya bekerja. Cherry mempercepat lagi langkahnya hingga dia berlari.
"Ayah!" serunya, Cherry berlari dan berhamburan kedalam dekapan sang Ayah yang sudah merentangkan tangannya menyambut kedatangan Cherry.
"Anak Ayah, sudah datang. Tetapi sedikit terlambat," ucap Chris, dengan mengangkat dagu Cherry.
"Maafkan Cherry, Ayah. Tadi aku membantu Paul menyebar brosur. Itu sangat menyenangkan," tukas Cherry dengan ceria.
"Oh– ya? Kau selalu berbuat semaumu tanpa meminta izin dari Ayah." Chris memasang wajah cemberut. Dia ingin melihat reaksi dari anaknya.
"Bukan begitu Ayah, aku bosan di rumah sendiri," tutur Cherry. Dia menahan diri untuk mengatakan bahwa, "selama ini aku selalu di sekolah bukan jika ayah kerja?" Itulah yang ada dalam batin Cherry. Namun, sekuat hati dia menahan agar kata-katanya tidak terlontar keluar dari mulutnya. Dia tidak ingin menyakiti hati sang Ayah.
"Ehm– maafkan Ayah, Cherry. Baiklah, sekarang kita makan. Perut Ayah sudah kelaparan." Chris menurunkan tubuh kecil Cherry hingga menapak lantai. Mereka masuk dan menikmati santapan makan siang yang telah di bawa oleh Cherry, dengan sesekali saling menyuapi. Keceriaan selalu hadir saat mereka bersama.
Hingga mereka yang melewati kios milik Chris merasa ingin tahu apa yang membuat mereka sebahagia itu. Mereka mengintip aktivitas Ayah dan anak itu.
----
Senja telah menyingsing, itu artinya Paddys Market harus menghentikan aktivitasnya. Semua hari sama saja saat ini, tidak membuahkan hasil. Bahkan satu barang pun tidak terjual di kios Chris. Putus asa, sudah pasti. Untuk saat ini, dia memang tidak memikirkan makanan untuk Cherry dan perutnya. Namun, dia bingung harus membayar uang sewa dengan apa malam ini?
Chris berjalan gontai menuju kerumah, dengan Cherry yang memegang tangannya. Gadis cilik itu merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Chris.
"Kenapa Ayah? Ayah bersedih?" tanya Cherry. Lelaki itu hanya mengulas senyum, senyum yang di paksakan. Mereka pulang sedikit terlambat kali ini. Hingga jalanan mulai sepi, bahkan Temat kerja Paul, mereka tidak melihat pria itu di sana.
"Apa Cherry, membuat kesalahan?" imbuhnya.
"Tidak, sayang, hari ini Cherry sangat pintar. Mengantar bekal Ayah, membantu Paul. Itu hebat." Chris mengelus rambut anaknya.
"Ayah akan menggendongmu." Chris secepat kilat mengangkat tubuh Cherry. Gadis itu tertawa, kini tubuhnya sangat tinggi.
"Aa!!! Aku tinggi, hore." Cherry tertawa dengan lantang, dan berteriak.
"Kenapa ayah bersedih? Apa Ayah tidak mau bercerita denganku?" Cherry menatap wajah sang Ayah. Chris membalasnya sekilas kemudian kembali melihat jalanan yang ada di depannya.
"Ayah tidak bersedih sayang, jangan hiraukan Ayah. Jangan berpikir yang tidak-tidak." Chris mencubit hidung Cherry.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di rumah.
Semua lampu telah menyala di distrik tersebut, pintu sudah tertutup rapat, hanya segelintir orang yang keluar masuk, terkadang untuk membuang sampah, atau sekedar menikmati bintang-bintang yang mulai bermunculan.
Cherry dan Chris masuk kedalam rumah, mereka duduk di sofa secara bersamaan, menghela napas dengan kasar secara bersamaan pula. Hingga gelak tawa mereka kembali hadir.
"Kenapa Ayah mengikuti Cherry?" Chris menoleh dan kembali mencubit hidung Cherry.
"Kamu yang suka ngikutin Ayah," ucap Chris tidak mau kalah. Cherry merebahkan kepalanya di atas paha Chris. Dia menatap langit-langit ruangan tersebut.
"Apa ayah merindukan Mama?" Kata-kata Cherry, membuat Chris kembali mengingat betapa tidak berdayanya dia saat di tinggal oleh Glory saat ini.
"Ya, Ayah sangat merindukan Mama, Cherry. Namun, ketika melihat Cherry, rasa rindu Ayah hilang begitu saja. Cherry memiliki wajah Mama, dan Cherry pun sekuat Mama." Chris mengusap lembut rambut pirang Cherry.
"Lalu jika Cherry yang rindu, apa Cherry harus menatap cermin?" ujar Cherry.
Chris terhenyak dan menatap wajah gadis itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa dengan pertanyaan yang di ajukan oleh Cherry.
"Ya, Cherry bisa melakukannya." Akhirnya itulah yang terlontar dari mulut Chris.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu, membuyarkan obrolan antara anak dan Ayah. Cherry bangkit, Chris pun mengangkat bokongnya untuk membuka pintu.
"Tara!!" Suara Paul memenuhi ruangan. Dia telah membawa banyak barang di tangannya.
"Wah!! Wah!! Apa itu?!" Cherry mendekati Paul, dan menggoyangkan tangan pria itu.
"Cherry." Chris mengingatkan akan tingkah Cherry.
"Tidak apa Paman, tidak perlu memarahi Cherry, aku sudah berjanji padanya," tukas Paul membela Cherry.
Mereka kembali duduk di sofa, dan Paul mulai memberikan apa yang sudah di janjikan pada Cherry.
"Ini untuk Cherry, uh– bau bajumu sudah sangat tidak enak girl," ejek Paul dengan candanya, dia menutup hidungnya.
"Ha...ha... Sangat lucu kakak." Cherry mendengus kesal dengan candaan yang bisa saja membuat Chris sakit hati.
Cherry menoleh pada sang Ayah, melihat ekspresi dari ayahnya. Namun, Chris hanya mengangguk, dia mengijinkan Cherry untuk mengambil pemberian dari Paul.
"Terima kasih kakak, apa kau tidak memiliki hadiah untuk Ayah?" tanya Cherry.
"Cherry?" Lagi-lagi Chris memperingatkan Cherry.
"Ada, tentu ada dong. Kakak membelikan untuk Cherry dan Ayah." Paul memberikan beberapa paper bag untuk Chris.
"Waah!! Terima kasih kakak." Cherry benar-benar bahagia, ia membuka semua barang yang di berikan untuknya.
Menempelkan baju-baju itu pada tubuhnya, senyumnya kembali mengembang. Chris bahagia melihat Cherry tertawa dengan lepas.
"Terima kasih boy," ucap Chris. Paul mengangguk, dia pun tidak tega melihat Cherry dan Chris terlunta-lunta.
"Aku mau mandi dan mencoba baju ini, terima kasih kakak, terima kasih banyak." Berkali-kali Cherry mengucapkan terima kasih, seakan itu tidak cukup bagi dirinya.
"Iya Cherry, pergilah. Bersihkan dirimu, lalu belajar dan tidur oke." Cherry yang memeluk tubuh Paul kemudian melerai pelukan itu dan berlalu pergi.
"Terima kasih boy, kau sangat banyak membantu kami Paul," ucap Chris.
"Aku, menyukai Cherry yang ceria. Sudah sepatutnya dia tidak kehilangan senyum itu Paman," kata Paul.
"Aku benar-benar bukan Ayah yang baik untuknya Paul. Bahkan dia harus putus sekolah, meskipun dia anak yang pandai, tapi tidak sepatunya dia berhenti sekolah bukan?" Chris menatap lurus kedepan, air matanya hampir saja luruh, cepat-cepat dia mengusap wajahnya.
"Jangan bersedih Paman, sekarang kita lewati semua bersama saat ini, jika ada sesuatu paman bisa katakan padaku," ucap Paul simpati.
"Maafkan aku Paul, jika aku tidak tahu terima kasih, tetapi aku harus melakukan ini," ucap Chris, ia menatap lekat pada wajah Paul.
"Apa itu Paman?" Paul membalas tatapan mata Chris yang sayu dan jelas tersirat kesedihan di sana.
"Aku ingin meminjam uang padamu Paul, aku belum membayar sewa rumah ini untuk malam ini," lirih Chris, dia menundukkan pandangan.
"Jangan sedih Paman, aku akan berikan uang yang Paman butuhkan." Paul membuka tasnya, dan mengambil beberapa lembar uang dari tasnya.
"Ambillah Paman, jangan menganggap ini pinjaman. Anggap saja ini adalah hadiah perkenalan kita," ujar Paul. Ia mengulas senyum untuk Chris.
Chris menatap kertas yang ada di tangannya, matanya membelalak, dia tidak percaya dengan apa yang dia pegang saat ini. Bahkan selama ini dia tidak pernah mendapatkan uang sebanyak itu.
"Dari mana kau dapatkan banyak uang?" tanya Chris penasaran. Dalam hati Chris berpikir bukankah Paul hanya bekerja menyebar brosur? Apakah gaji dari pekerjaan itu banyak?
"Menyebar brosur Paman, percaya tidak percaya itulah pekerjaanku paman. Baiklah aku harus pergi Paman, aku harus kembali bekerja malam ini," pamit Paul.
Chris masih membatu. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Paul. Namun yang dilihatnya saat ini adalah nyata, ini uang yang jumlahnya sangat banyak. Bakan bisa menyewa rumah ini selama satu bulan penuh.
Chris tersenyum, dia terharu, senyumnya tersengal, dia menahan tangis bahagianya. Berkali-kali dia membolak-balikkan uang yang ada di tangannya.
Dia bangkit dan menuju kamarnya, sejenak dia melihat Cherry, ternyata gadis itu sudah tidur. Makam sudah larut dan sudah pasti Abel pun tidur, dia berencana akan memberikan uang sewa esok pagi.
Ketika Chris mengintip di luar jendela dia melihat Paul dengan pakaian gelap, berjalan membawa ransel yang melekat di tubuhnya.
"Pekerjaan apa di malam selarut ini?" gumam Chris.