BSW Bab 12

1198 Words
Mara terkejut ketika ponselnya berdering, lalu dia bisa melihat nama Raga yang sedang mencoba terhubung dengannya. “Siapa?” Mara tidak menjawab pertanyaan salah satu temannya. Wanita itu tersenyum, lalu beranjak sambil membawa ponselnya. “Aku terima ini dulu.” Mara mengangkat ponsel di tangan, kemudian memutar langkah. Kakinya terayun sementara jari wanita itu menekan tombol terima sebelum membawa ponsel melekat ke telinga kanan. “Halo.” Di tempatnya, Raga mengernyit saat mendengar suara berisik di belakang Mara. “Halo … Raga.” Mara menghentikan langkah setelah berada di luar kafe. Wanita itu mengedarkan pandangan mata. “Ada apa?” tanya Mara ketika masih belum mendengar suara Raga. “Kamu masih di luar?” Kening Mara berlipat. “Iya,” jujur wanita itu. Mara merasa tidak ada yang perlu disembunyikan dari Raga. Mara terdiam dengan dahi yang masih mengernyit ketika detik terlewat dan hening. Dia masih belum mendengar suara Raga setelah satu kalimat yang pria itu katakan. “Apa kamu masih ingin ke rumah sakit?” Tanpa sadar Mara menghembuskan napas lega begitu mendengar suara Raga kembali. “Iya. Um … mungkin satu jam lagi aku sampai. Belum mulai kan kemo yang kedua?” Mara merasa aneh ketika respon yang terdengar oleh telinganya adalah suara dengkusan. “Tidak perlu. Aku yang akan menunggu istriku. Lanjutkan saja kesenanganmu.” Mulut Mara menganga mendengar ucapan Raga yang terdengar ketus. Kepala wanita itu menggeleng saat mendengar nada sambung sudah diputus sepihak oleh seseorang yang menghubunginya. Menurunkan ponsel, Mara menatap layar yang masih menyala—yang beberapa detik kemudian berubah hitam. “Aneh,” ujar Mara sambil memutar langkah, lalu berjalan kembali masuk ke dalam kafe. Makanannya belum habis. Dia berencana pergi ke rumah sakit setelah menghabiskan pesanannya. *** “Gimana, Mas?” tanya Nadia yang baru saja keluar dari toilet. Wanita itu berjalan menghampiri sang suami yang duduk di tepi ranjang. Ibunya lebih dulu pulang setelah Raga tiba-tiba datang di jam yang seharusnya pria itu masih bekerja. “Aku sudah di sini. Tidak perlu orang lain. Aku yang akan menunggumu.” Nadia menatap bingung sang suami. Melihat Raga menepuk pelan sisi ranjang di sebelahnya—Nadia menghampiri, kemudian duduk. Nadia menarik pelan napasnya. Menyerongkan sedikit posisi duduknya, wanita itu menatap sang suami. “Mas kurangi sedikit juteknya sama Mara. Kasihan dia.” “Kamu yang kurangi perhatianmu buat orang lain. Perhatikan suamimu ini saja.” Sepasang bibir Nadia mengerucut. “Mas, ih.” Sepasang mata wanita itu mengedip ketika Raga mencuri kecupan di bibirnya dengan cepat. “Nanti ada yang lihat … malu,” kata Nadia sambil menahan d*da sang suami yang sudah kembali bergerak mendekat. “Kita hanya berdua di dalam ruangan ini. Tidak ada yang melihat.” “Bagaimana kalau nanti ada yang masuk. Dokter, atau suster gitu?” “Tidak ada. Belum waktunya, kan? Ayolah, Nad. Sebentar saja.” Raga mendekatkan wajahnya. Sepasang matanya menatap dalam manik mata sang istri. “Maaf, ya. Mas pasti kecewa karena aku tidak bisa melayani Mas dengan baik.” Gerakan Raga berhenti. “Kenapa berkata seperti itu? Aku hanya ingin menciummu. Tidak lebih.” Melihat Nadia menarik napas panjang, Raga akhirnya menjauhkan wajahnya. “Kalau hanya ciuman, Mas akan tersiksa.” Ujar Nadia sambil menatap nelangsa sang suami. Sudah berapa lama suaminya puasa menyentuhnya? Nadia sungguh merasa bersalah. Kondisi tubuhnya yang tidak sehat membuat dirinya tidak sanggup memberikan nafkah batin pada sang suami. “Aku benar-benar minta maaf.” Nadia menundukkan kepala. D*da wanita itu tertarik ke atas, lalu tertahan beberapa saat sebelum kemudian bergerak turun. Raga menggeleng sembari menghembus karbondioksida keluar dari lubang hidung. “Tidak perlu minta maaf. Kamu sedang sakit, dan aku tidak masalah.” Raga meneleng agar bisa melihat wajah sang istri yang tertunduk. Pria itu kemudian meraih dagu Nadia, lalu mengangkat--hingga tatapan mereka bisa bertemu. “Aku tidak masalah.” Raga mengulang. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri.” “Makanya Mas jangan jutek-jutek sama Mara.” Tatapan mata Nadia masih redup ketika wanita itu kembali membuka sepasang bibirnya. “Mas bisa mendapatkan apa yang tidak Mas dapatkan dariku … dari Mara.” Nadia sedikit menjeda dua kata terakhir. Napasnya tercekat dan dia bisa merasakan patahan di dalam d*danya, ketika mengatakan kalimat itu. Namun, dia sadar melakukan hal yang benar. Sekali lagi, dia tidak boleh egois hanya memikirkan dirinya sendiri. Raga yang semula menggenggam tangan sang istri, melepasnya. Pria itu mengalihkan tatapan mata. Sepasang bibirnya tertutup, namun ekspresi wajah pria itu mengatakan bagaimana perasaannya. Nadia mendesah. “Aku melakukannya tidak hanya untuk diriku sendiri. Bukan hanya karena aku merasa bersalah pada Mas. Aku melakukannya juga untuk keluarga kita.” “Kamu itu egois, Nad. Aku tidak pernah menginginkan lebih dari satu istri.” “Mas harus memiliki keturunan, dan aku tidak bisa memberikannya. Kalau aku egois, aku akan menahanmu, sekalipun aku akan mati besok.” “Jangan bicara soal mati. Kamu akan berumur panjang.” Raga masih tidak menatap sang istri. Pria itu membutuhkan waktu. Raga mengatur napas untuk menekan rasa kesal yang muncul setelah mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut istrinya. “Mati itu satu hal yang pasti di dunia ini. Semua hanya masalah waktu.” Nadia menyahut. Raga masih dengan wajah kesal—menoleh, lalu menatap sang istri. “Bisa berhenti membicarakan soal kematian?” Napas pria itu tertarik, lalu berhembus pelan. “Aku yakin kamu akan mendampingiku seumur hidupku.” “Tidak mudah membagi pria yang kucintai dengan perempuan lain.” Tatapan mata Nadia berubah sayu. “Tapi aku melakukannya, karena aku tidak ingin egois. Mas pria normal yang membutuhkan nafkah batin. Sedangkan aku tidak bisa memberikannya. Aku juga tidak tahu apakah pengobatan ini akan bisa menjaga nafasku. Untuk berapa lama? Satu bulan … dua bulan?” Nadia menggelengkan kepala ketika melihat sang suami sudah akan membuka mulut. Dia tahu, suaminya akan menyanggah. “Aku sudah ikhlas kapanpun Tuhan memanggilku, Mas. Tapi, aku tidak ikhlas jika pergi tanpa melihat Mas bahagia. Tanpa ada seorang wanita yang bisa menggantikan posisiku.” Lipatan menghias kening Nadia. Tatapan mata wanita itu semakin redup. “Terima Mara. Perlakukan dia seperti Mas memperlakukanku.” Nadia meraih sebelah telapak tangan Raga. “Nanti malam, kunjungi dia di kamarnya.” Nadia merasa perlu memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya, sebelum melanjutkan kalimat yang belum selesai. “Tuntaskan apa yang seharusnya sudah Mas dapatkan dari istri yang sehat.” Nadia bertahan menatap sang suami. Dia tidak ingin goyah sebelum menyelesaikan kalimatnya. “Aku berharap bisa mendapatkan seorang anak dari pernikahan kalian. Anak Mara akan menjadi anakku juga.” Raga langsung membuang muka. Napas pria itu tertarik berat. “Mas … janji sama aku. Nanti malam—” “Apa kamu bisa baik-baik saja mengetahui suamimu bersama wanita lain?” Raga sungguh tidak habis pikir Nadia terus mendesaknya untuk menghabiskan malam bersama Mara. “Aku akan lebih sakit jika Mas sampai mencari pelarian di luar. Mara bukan orang lain. Dia sudah sah menjadi istrimu, dan dia juga berhak mendapatkan nafkah batin dari Mas. Lakukan apa yang harus seorang suami lakukan pada istrinya. Setidaknya, dengan begitu rasa bersalahku bisa sedikit berkurang.” Nadia menarik tangan suaminya. “Janji padaku, Mas. Malam nanti—” “Baik. Kalau itu yang kamu mau, Nad. Aku akan melakukannya. Tapi, jangan sampai kamu menyesali keputusanmu hari ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD