Ratih terpaku; dia diam di tempatnya sambil menatap villa di depannya dengan penuh kekaguman. Di depan villa itu ada danau, ditambah sekelilingnya adalah pohon. Ini benar-benar terlihat seperti tidak nyata, dimana ada bangunan bagus di tengah hutan. Hutan? Ya, butuh waktu hampi satu jam dari kota untuk bisa berada di villa ini.
“Cepat masuk,” ucap Bima begitu melihat Ratih malah terpaku di sana.
“Maaf, Tuan.” Ratih segera bergegas.
Sebelum ke sini, mereka memang mampir ke sebuah restaurant dan membeli makanan untuk dimakan di sini. Maka dari itu, Ratih segera menghidangkan makanan itu, dia tidak ingin suaminya kembali marah padanya.
Dan Ratih benar-benar menyukai tempat ini, menyatu dengan alam. Dimana villa ini didominasi oleh kaca, membuat Ratih bisa melihat keluar sana.
“Makanannya sudah siap, Tuan.”
Mendengar itu, Bima segera duduk dan menyantap makan malamnya. Sementara Ratih focus pada danau di luar kaca; dengan mengabaikan sarapan miliknya.
“Apa yang kamu lakukan? Cepat makan, jangan buat dirimu sakit dan membuatku kerepotaan.”
“Baik, Tuan.” Ratih bergegas hendak membawa makanan miliknya untuk menyantapnya di tempat lain, dia takut suaminya tidak nyaman dengan keberadaannya. Namun, Bima mencekal tangannya.
“Makan di sini.”
Tanpa berkata-kata lagi, Ratih memakan makan malamnya tepat di samping Bima. Bahkan mereka duduk sangat dekat sekali, membuat Ratih tidak nyaman.
Ketika makan malam, mereka berdua dilanda keheningan. Napas Ratih tercekat saat dia merasakan sebuah usapan di punggungnya, dimana tangan Bima mulai naik ke punggungnya. Usapan itu terjadi sampai Bima selesai dengan makan malamnya.
Begitu makanannya habis, Bima mengambil bir dalam kulkas dan meminumnya di luar villa sambil menatap bulan yang berada di atas danau.
Ketika sang suami sedang berada di luar, Ratih bergegas untuk mencuci piring, dia tidak ingin membuat kekacauan di sini. Tapi dipikir-pikir, mereka akan berapa lama di sini? Ratih tidak membawa pakaian ganti, dia hanya membawa dirinya sendiri saja.
Sibuk dengan lamunannya, Ratih kaget ketika sebuah tangan tiba-tiba melingkar di pinggangnya.
“Tu⸻tuan,” ucap Ratih tidak nyaman.
Bima yang sudah dipenuhi nafsu itu segera mematikan kran air, membalikan tubuh Ratih dan langsung menggendongnya di depan.
Ratih yang kaget sontak memeluk leher suaminya. Belum juga dirinya mengatakan sesuatu, Bima lebih dulu menciumnya dan membawanya ke dalam sebuah kamar. Ketika tangan itu dengan lancang merobek baju istrinya, Ratih panic.
“T⸻tuan, saya tidak membawa pakaian ganti.”
“Tidak perlu berpakaian,” ucap Bima menidurkan Ratih di atas ranjang empuk kemudian menindihnya kembali. “Aku suamimu dan aku berhak atas itu.”
Ratih sedikit kesulitan menjawab kalimat Bima, pria itu mencium bibirnya.
“Hmmpphhh…”
Dan saat kecupannya turun ke leher, baru Ratih bisa mengatakan, “Tirainya, Tuan.”
“Tidak ada yang bisa mengintip kecuali hewan, tenang saja dan diam.”
Ratih bungkam, dia menggigit bibir bawahnya. Ketika Bima kembali mensejajarkan wajah mereka, pria itu memberikan gigitan pada pipi istrinya yang chubby.
“Aw, sakit.”
“Jangan bilang pada Kania kalau aku membawamu ke sini.”
“K⸻kenapa, Tuan?”
“Menurut saja.” PLAK! Bima memukul kencang b****g Ratih. “Kau istriku.”
“Ya…”
*****
Terbilang dua hari mereka berdua ada di villa ini, dua hari itu pula keduanya tidak pergi kemanapun, hanya diam di villa. Bima sibuk dengan pekerjaannya yang diantarkan oleh sang sektetaris pribadi, sementara Ratih hanya mendampingi, menyagomi dan memberikan apapun yang suaminya inginkan.
Jika Ratih membutuhkan baju, Bima akan meminta seseorang membawakan untuknya. Apapun yang keduanya butuhkan, pasti akan dibawakan sang sekretaris ke villa ini.
Selama dua hari ini pula, Ratih bisa melihat sisi lain dari suaminya. Bagaimana pria itu sangat menyukai alam, dia seringkali berada di luar, bahkan Bima tidak segan untuk berenang di danau tanpa takut kedinginan. Ya, mengingat di sini sangatlah dingin.
Ratih hanya selalu bersiap sedia di samping Bima, memberikan apapun yang dibutuhkan suaminya. Seperti sekarang, Bima sibuk dengan laptopnya, dan Ratih sedang membuat camilan di dapur.
“Apa yang kamu masak?”
“Bukannya tadi tuan ingin kue cokelat?”
Bima terdiam sejenak, kenyataannya dia tidak terlalu menginginkan hal tersebut. Namun, dia hanya ingin Ratih berada di sekitarnya dan membuatkan sesuatu yang membuat Bima tidak merasa sendirian.
“Buatkan juga jus lemon.”
“Baik, Tuan.”
Ratih memprioritaskan hal yang mudah, dia membuatkan jus lemon untuk sang suami dengan penuh kehati-hatian. Tidak terlalu asan ataupun terlalu manis, Ratih tidak ingin membuat mood sang suami turun.
“Minuman anda, Tuan,” ucap Ratih menyimpan minuman itu di meja. Gerakan tangannya terhenti ketika ponselnya berbunyi. Ratih merogoh benda kotak itu dari dalam sakunya.
“Siapa?” tanya Bima.
“Kak Kania.”
“Angkat di sini, bilang apa yang saya katakan kemarin.”
“Iya, Tuan.” Ratih duduk di samping Bima dan mengangkat panggilan itu. “Hallo, Kak?”
“Ratih? Gimana kabar kamu?”
“Baik, Kak.”
“Kamu gak masuk kelas ya? Temen Kakak bilang itu sama kakak.”
“Iya, Kak. Tuan Bima minta Ratih diem di rumah.”
“Oh, nurut aja dulu sama dia, Tih. Biar kamu sama dia deket. Ngomong-ngomong sekarang Mas Bima gimana?”
“Hmm… baik, Kak.”
“Hubungan kamu sama dia?”
“Masih kayak sebelumnya,” cicit Ratih, diam diam menatap Bima yang mendengarkan dan memberinya tatapan menyipit. Ratih segera memalingkan wajahnya, sedikit menakutkan beradu pandang dengan sang suami. “Kakak kapan pulang?”
“Kamu buat Mas Bima klepek-klepek sama kamu deh, Kakak beneran mau pergi ke luar negara, Tih. Kakak harus kear kerjaan ini.”
“Hmm…, Ratih lagi coba kok deketin.”
“Bagus, emang harus gitu. Kamu gak bosen kan tinggal di rumah?”
Pertanyaan Kania membuat Ratih memandang Bima yang kini sedang minum, pria itu menggeleng seolah memberi isyarat agar tidak memberitahukannya..
“Iya, di rumah aja. Gak bosen kok, Kak.”
“Ajak dia keluar kali-kali, kasihan ditinggal sama Kakak mulu.”
“Ratih ju⸻”
“Eh, udah dulu ya. Kakak harus pergi. Bye,” ucap Kania menutup panggilannya. Yang mana membuat Ratih menatap ponselnya dengan kening berkerut.
Dia menyimpan ponsel itu di meja dan hendak beranjak pergi, tapi tangan Bima tiba-tiba menahannya. “Mau kemana?”
“Membuat kue cokelat untuk tuan.”
“Tidak perlu, ayo kita berenang,” ucap Bima langsung menggendong Ratih di depannya.
Yang mana membuat perempuan itu terpekik kaget, seketika melingkarkan tangannya di leher sang suami. “Tapi saya tidak bisa berenang, Tuan.”
“Aku tidak akan membuatmu tenggelam,” ucap Bima berjalan keluar dari villa.
Dirinya butuh teman untuk diajak berenang. Sendirian membuat Bima malah memikirkan Kania, dirinya benar-benar butuh pengalihan.
Ratih tersentak kaget merasakan kancing pakaiannya dibuka satu persatu oleh sang suami. “Kita… akan bertelanjang?” tanya Ratih bingung.
Bima tidak menjawab, dia hanya memberi kecupan ringan pada bibir sang istri.
*****
Tubuh Ratih benar-benar pegal, bayangkan saja sang suami meminta Ratih memenuhi kebutuhan biologisnya sampai dirinya benar-benar pingsan. Bukan hanya itu, Bima juga memberi pengalaman baru dengan bercinta di dalam air sebelum kini mereka berakhir di bawah selimut yang hangat.
Ratih tidur terlentang dengan Bima yang memeluknya. Mata perempuan itu terbuka lebih dulu, menatap langit langit dengan pandangan kosong. Diam diam Ratih menatap Bima yang terlelap, bagaimana pria itu memiliki hidung yang mancung, rahang yang tegas dan juga alis yang tebal. Dibalik matanya yang terpejam, ada manik yang selalu menatapnya tajam.
Jika dipikir-pikir, Ratih yakin jika Bima memiliki darah orang-orang barat, terlihat dengan bentuk rahang yang begitu tegas.
Ratih menghela napasnya dalam.
“Ada apa? Kenapa kau menarik napas seperti itu?”
Ratih melotot kaget, dia terkejut Bima bicara dengan mata yang terpejam. “Anda sudah bangun?”
“Napasmu berisik.”
“Maaf, Tuan.”
Bima tetap tidak membuka matanya, membuat Ratih tidak nyaman. Dia mencoba melepaskan pelukan sang suami.
“Mau kemana?”
“Hmmm?”
“Diam di sini.” Pria itu malah mengeratkan pelukan.
“Saya mendengar suara ponsel.”
“Paling juga Kania, biarkan saja.”
“Kenapa Tuan tidak memberitahu Kak Kania kalau kita ada di sini?”
Manik Bima perlahan terbuka, membuat Ratih merutuki bibirnya sendiri yang mengajukan pertanyaan bodoh seperti itu. “Maaf, Tuan,” ucap Ratih.
“Kania tidak suka sesuatu yang berhubungan dengan alam, tapi dia tidak ingin aku menghabiskan waktu di alam bersama teman teman. Dia pikir itu kotor.”
“Benarkah? Padahal ini menyenangkan.”
“Bagus jika berfikiran seperti itu,” ucap Bima membalikan tubuh Ratih sehingga menghadapnya kemudian memeluknya erat. “Suhu tubuhmu panas. Demam?”
“Mungkin karena tadi kita berenang, saya tidak pernah lama jika demam,” ucap Ratih. Dia sedikit tidak nyaman mendapatkan pelukan ini, apalagi kalau mengingat jika hubungannya dengan Bima tidak terlalu baik dan belum membuka perasaan satu sama lain.
Bukan satu sama lain, tapi Bima. Ratih sudah jatuh hati pada suaminya. Bagaimana dia tidak jatuh hati pada sosok yang tampan dan menolong keluarganya.
“Diamlah jangan banyak bergerak.”
“Tadi Tuan bilang ingin kue cokelat, saya akan membuatnya.”
“Tidak usah, aku sekarang tidak menginginkannya.”
“Kalau begitu harus membuat makan malam, ini sudah gelap.”
“Aku tidak lapar, diamlah di sini jika tidak ada hal yang darurat.”
Ratih terdiam sejenak sebelum dia membalas pelukan sang suami. mengusap rambut belakang Bima mengingat pria itu sedang mengusak wajahnya di d**a telanjang milik Ratih.
Ya, mereka tidak berpakaian, dan rasanya Ratih sudah mulai terbiasa dengan hal seperti ini. ratih mulai menikmati perannya seperti sekarang, dia merasa diberi kebebasan menyentuh tubuh sang suami.
Sampai Ratih tiba tiba merasa mual, dia sontak mendorong Bima kuat kemudian berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
Bima yang kaget segera memakai jubbah tidurnya, dia mengambil handuk dan membelitkannya pada tubuh Ratih.
“Eohhhh,” ucap Bima melihat Ratih yang sedang muntah di kloset. “Menjijikan,” ucapnya.
“Maaf, Tuan.”
“Ck, kau mengganggu kesenanganku. Cepat selesaikan dan masak makan malam. Pastikan kau tidak bau muntah.”
“Baik, Tuan.”
BRAK! Bima menutup pintu kamar mandi, enggan melihat Ratih yang masih muntah di sana.