Hal-hal baru

1136 Words
Ratih merasakan kepalanya dilanda pusing, membuatnya kembali merebahkan tubuh di atas kasur, dirinya benar-benar mual, sepertinya masuk angin. Ratih ingin sekali tidur, tapi dia teringat harus segera membuat makan malam. Yang mana membuat Ratih kembali bangun, dia memakai pakaiannya yang berserakan dilantai dan memaksakan diri untuk turun ke lantai dasar. Di luar sana, Ratih melihat Bima sedang merokok sambil memandang ke arah danau. Ratih menarik napasnya dalam, dia mencoba untuk menyesuaikan dirinya dengan perasaannya yang tidak karuan. Dia mulai memasak, mengambil beberapa bahan dan menyalakan kompor listrik yang pernah membuatnya terpana karena hal itu. Butuh waktu beberapa menit, untuk saat ini bahkan Ratih masih berkutat dengan pisau. Sampai Ratih tersentak kaget saat dirinya merasakan pelukan secara tiba tiba, dia menoleh dan mendapati Bima di belakangnya sedang menciumi lehernya. “Tuan…” “Apa yang kau masak apa?” “Hmm… sayur sop.” “Buatlah sesuatu yang gampang dan cepat.” “Maaf, Tuan.” “Kenapa?” tanya Bima masih memfokuskan dirinya menciumi leher bagian belakang istri keduanya. “Karena membuat anda telat makan malam.” “Hmm…. Buatlah telur dadar saja, selesaikan dengan cepat.” Ratih mengangguk, dia memejamkan matanya sesaat merasakan Bima yang lancang masuk ke dalam kaosnya dan mengelus perut ratanya. Awalnya terasa sangat mengganggu, namun Ratih mulai menikmatinya. Dia suka sensasi itu, hingga perasaan mualnya hilang begitu saja. PLAK! “Akkhh!” Ratih tidak dapat menahan teriakannya tatkala Bima menepuk pantatnya kuat. Demi Tuhan itu sangat perih. “Cepatlah, jangan terbuai dengan sentuhanku.” “Maaf, Tuan,” ucap Ratih mencoba focus pada apa yang dia lakukannya. Ketika Bima menjauh pergi, dia merasakan lega. Tidak peduli kemana suaminya pergi, Ratih hanya akan focus untuk memasak. Telur dadar dan nasi goreng yang dia buat untuk sang suami, ditambah beberapa sayuran untuk penetralisir. “Makanannya sudah siap, Tuan,” ucap Ratih mendapati Bima yang sedang menonton Tv. “Bawa ke sini.” Dan Ratih jelas menurut, dia membawa piring dan segelas air pada suaminya. Meletakannya di meja, dan berniat melangkah lagi. Namun, tangannya di tahan. “Mana milikmu?” “Saya masih kenyang,” bohongnya, padahal Ratih merasa mual mencium makanan. “Kau tidak boleh sakit,” ucap Bima. “Kau harus melayaniku untuk beberapa hari ke depan,” lanjutnya menarik tangan Ratih hingga jatuh di pangkuannya. “Tuan…” Ratih bergerak tidak nyaman. “Diam, dan makan dengan benar.” Bima menyuapkan makan malam untuknya, kemudian untuk istri keduanya. Awalnya Ratih merasa mual ketika menciumnya tadi, tapi sekarang tidak lagi. Aroma maskulin dari tubuh sang suami lebih mendominasi, membuat Ratih merasa lebih hidup. “Setelah ini kita akan keluar.” “Ke kota?” tanya Ratih yang mulai merasa nyaman, dia melingkarkan tangannya di leher sang suami sambil duduk miring menerima suapan makanan. “Tidak, ikut saja dan diam.” “Maaf, Tuan.” “Buka mulutmu dengan besar.” Ratih melakukannya, dia membuka mulutnya membiarkan nasi dan telu itu masuk. “Sepertinya mulutmu cukup.” “Untuk apa?” tanya Ratih dengan mulut yang masih penuh. “Jangan bicara, diam aku bilang,” ucapnya dengan tajam. ***** Ternyata, Bima mengajak Ratih menaiki sebuah kapal boat di sana. Ratih sedikit terkejut. “Sejak kapan ini ada di sini?” gumamnya. “Kau sibuk tertidur dan tidak menyadari keramaian,” ucap Bima menyindir Padahal, penyebab tidurnya Ratih adalah Bima sendiri yang melakukannya. Tangan Bima terulur untuk membantu Ratih menaiki kapal itu, dia masuk ke dalam bagian yang tertutup di sana. Sedikit khawatir karena tidak terbiasa menaiki benda seperti ini. “Jangan duduk di sana, kemarilah.” “Huh?” “Kemari,” ucap Bima yang sudah ada di bagian pengendali.. Mau tidak mau, Ratih mendekat dan ikut berdiri di samping Bima. “Pakai pelampung di sana agar kau merasa nyaman.” “Baik, Tuan,” ucap Ratih segera melakukannya. Ketika Bima menyalakan mesin dan membuat air bergelombang, Ratih hampir jatuh. “Kemari, berdiri di sampingku.” “Bisakah saya memegang tangan anda, Tuan?” “Lakukan apa yang kau mau,” ucapan Bima memberi izin. Yang otomatis membuat Ratih melakukannya. Ketika perahu mulai dijalankan, Ratih memejamkan matanya karena takut. Namun dia masih bisa merasakan jika perahu itu semakin bergerak menuju bagian tengah danau. Dan Bima menyadari istri keduanya itu memajamkan mata. “Buka matamu.” “Saya takut, Tuan,” jawab Ratih merasakan semilir angin mengerakan rambutnya. “Apa yang kau takutkan?” “Saya takut.” “Aku bilang buka matamu,” ucapnya dengan penuh penakanan. Yang mana membuat Ratih terpaksa melakukannya secara perlahan, bersamaan dengan perahu yang mulai berhenti melaju. Ketika mata itu terbuka, Ratih membulatkan maniknya merasa sangat takjub dengan apa yang dia lihat. Bintang yang da di angkasa terlihat begitu jelas, tidak ada cahaya selain dari villa di belakang sana. Warna biru tua terlihat di sana, dengan warna bintang yang berkelap kelip. “Tuan… ini sangat indah.” Bima terkekeh dan mematikan mesinnya. “Mirip dengan kampung halamanmu?” “Ini lebih bagus,” ucapnya memekik senang. “Astaga, ini sangat indah.” “Kau bisa melihatnya sambil tidur di atap.” “Ya?” “Buka pelampungnya, itu membuatku susah meraba.” Tanpa berkata apa apa lagi, Ratih melakukannya, kemudian membiarkan Bima menarik tangannya menuju bagian atap dengan melangkah melalui tangga. Ada sebuah karpet yang digelar dengan beberap bantal di sana. “Woahh…, boleh saya tidur di sana sambil melihat bintang?” tanya Ratih sambil melakukannya; mengabaikan jawaban Bima. Dia terlalu senang melihat sesuatu di angkasa sana, begitu menakjubkan. Sementara Bima menuangkan anggur, memutar gelasnya dan duduk di samping Ratih yang tidur terlentang. Diam diam, Ratih mencuri pandang pada minuman di tangan suaminya. Dia haus. “Kau mau?” “Jus apa itu, Tuan?” “Duduklah, dan coba.” Ratih yang tidak berfikiran aneh-aneh itu melakukannya, dia duduk dan menerima gelas itu. “Uhhh… rasanya aneh,” ucap Ratih mengerutkan keningnya. “Maaf, Tuan, saya tidak suka.” Bima menyeringai, melihat sisa wine di sudut bibir sang istri. Baru juga dia hendak menyentuhnya, suara ponsel mengganggunya. Ratih mengeluarkan ponsel dari sakunya. “Kau membawa ponsel ke sini?” Nada bicara Bima menakutkan, apalagi dengan tatapan tajamnya. “Maaf, Tuan.” “Ini mengganggu,” ucap Bima. “Matikan.” “Tapi, ini dari Kak Kania.” “Aku bilang matikan dulu, dia hanya akan memberitahu kalau akan pergi ke luar negri.” “Benarkah?” Kesal dengan sikap Ratih yang terkesan lelet, Bima merebut ponsel itu dan mematikannya. “Ya, dia akan berada di luar negri, dan kau akan berada di sini bersamaku selama seminggu lagi.” Bima meminum wine, menampungnya dalam mulut kemudiab menarik tengkuk Ratih dan menyalurkan minuman tersebut. Memaksa istri keduanya untuk menelan cairan itu. “Hhmmmm, Tuan,” ucap Ratih terengah engah begitu ciuman mereka terlepas. Bima menyeringai. “Aku ingin melihat sisi liarmu,” ucapnya kembali memberikan minuman beralkohol pada sang istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD