Perjalanan yang akan datang

1320 Words
Ratih bergerak dalam tidurnya, dia merasakan seluruh tubuhnya remuk jika digerakan sedikit saja. dan saat itulah, Ratih menyadari jika sesuatu tengah memeluknya saat ini. dia menoleh ke belakang, dan mendapati Bima masih memejamkan matanya di sana. Pelukannya begitu erat, yang mana membuat Ratih kesulitan melepaskan dirinya sendiri. Ketika Ratih hendak beranjak pergi, tapi Bima mengeratkan pelukan yang mana membuat punggungnya semakin rapat dengan d**a sang suami. “Diam,” ucap Bima dengan suara beratnya. “Ini… sudah siang, Tuan,” ucap Ratih tatkala maniknya menatap jam di nakas yang sudah menunjukan pukul 8 pagi. Dia harus menyiapkan sarapan sang suami, membereskan kamar dan mencuci. Tapi pelukan itu tidak kunjung direnggangkan. Membuat Ratih hanya bisa diam, memorinya berputar mengingat bagaimana semalam Bima menerjangnya habis-habisan. Ada satu yang membuat Ratih sedikit merasa lebih baik, pria itu tidak sekasar biasanya. Bima melakukan pemanasan sebelum melakukannya. Dan setidaknya itu membuat Ratih sedikit menikmati aktivitasnya dengan sang suami, tidak seperti biasanya. Mungkin kadar kesakitannya berkurang sekitar 30%. Memang tidak banyak, mengingat Bima menggempurnya sampai dirinya kehilangan kesadaran seperti biasanya. “Tuan…. Bukankah anda harus bekerja?” “Aku pemiliknya, biarkan saja,” ucap Bima lagi, bahkan tangannya kini merayap untuk menyentuh d**a milik Ratih. Meremas-remas sebelum memelintir pucuknya. “Akhhh… sakit,” ucap Ratih. Dia tersentak kaget tatkala Bima tiba tiba bangun dan menggendongnya menuju kamar mandi. Ratih tidak mengenakan apapun, sementara suaminya memakai boxer. Ratih malu, dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang suami ketika dirinya digendong ala bridal style itu. Ratih pikir dirinya akan diajak mandi, tapi ketika dirinya diturunkan, Bima berkata, “Siapkan air untukku dalam bathub.” “Baik,” ucap Ratih yang berjalan terpincang-pincang mengambil kimono, dia memakai itu untuk melapisi tubuh polosnya. Sementara Bima sibuk memandang dirinya sendiri dalam cermin, pria itu sepetinya sedang bercukur dan menggosok gigi. Sementara Ratih sibuk menyiapkan air hangat dengan tubuhnya yang ngilu, dia benar-benar ingin berendam dan istirahat dalam air itu. Tapi apa boleh buat, Bima hanya menyuruhnya menyiapkan air saja. “Sudah siap, Tuan.” Mendengar itu, Bima segera menatap Ratih lewat cermin. Dia segera membuka pakaian yang tersisa dan masuk ke dalam bathub. “Gosok pungguku, semalam dirimu mencakar punggung itu. Bersihkan sekarang.” “Baik, Tuan,” ucap Ratih duduk di bagian belakang bathub yang luas, dia menyiapkan spons dan sabun dan mulai menggosok punggung suaminya dengan pelahan. “Jangan sampai ada noda dirimu yang tertinggal.” Mendengar itu, jelas Ratih merasa sakit hati. “Baik, Tuan.” Dirinya melakukan pekerjaannya dengan penuh kehati-hatian, khawatir dirinya berbuat kesalahan pada sang suami. Ratih pikir, kejadian semalam akan membuat suaminya sedikit membuka hati untuknya. Namun ternyata tidak, dirinya di sini memang hanya untuk mengandung dan melahirkan saja, bukan sosok istri untuk Bima. Ketika Bima sedang menikmati gosokan di punggungnya, dia bisa mendengar ponselnya berbunyi dari kamar, “Bawakan ponselku.” “Baik, Tuan.” “Cepat, itu mungkin dari Kania,” ucapnya dengan nada tinggi saat sang istri berjalan dengan sangat lambat. Membuat Ratih menggigit bibir bawahnya saat berjalan cepat, gesekan di bawah sana membuatnya ingin menangis. dan ternyata benar saja, layar ponsel itu memperlihatkan nama Kania. Ratih bergegas memberikannya pada sang suami. “Ini, Tuan.” “Dasar lambat,” ucapnya meebut ponsel, memberi tatapan tajam agar Ratih kembali menggosok punggungnya. Bima panggilan itu. “Halo? Sayang, kapan kamupulang?” Ratih hanya bisa menunduk mendengar bagaimana Bima begitu lembut saat berbicara dengan istri petamanya itu. ***** Karena Ratih bangun terlambat dan dirinya tidak enak badan, jadi dia tidak mendatangi kelas untuk calon ibu. Ratih memilih diam di rumah dan membereskan bagiannya. Tadi pagi, Bima langsung pergi tanpa sarapan karena terburu-buru. Jadi hari ini Ratih akan mempersiapkan makan malam untuk sang suami, mencoba untuk menaikan mood sang suami. baru juga Ratih akan melangkah ke arah dapur, dirinya mendapatkan telpon dari bibinya. Ratih mengurungkan niat keluar dari kamar dan segera mengangkat panggilan itu. “Hallo, Bi?” “Ratih? Ini bapak, Nak.” “Bapak,” ucap Ratih dengan air mata yang berlinang, dia benar-benar merindukan suara ini. suara pria yang memperlakukannya dengan sangat baik. “Bapak gimana kabarnya? Adek adek gimana?” “kabar bapak baik, adek adek kamu juga sekolah lagi. Kamu gimana di sana?” “Ratih baik kok, Ratih seneng di sini. Kebutuhan terpenuhi. Maaf ya belum bisa bawa bapak ke sini ketemu suami Ratih, soalnya dia sibuk, Pak. Jarang di rumah juga,” dusta Ratih, dia tahu ayahnya pasti akan menanyakan sosok yang beliau sebut sebagai penolong. Dimana di mata ayahnya, suami Ratih adalah malaikat yang membantu membayar utang, dan membebaskan ayahnya dari segala beban termasuk biaya sekolah anak anaknya. “Gak papa, kamu harus urus suami kamu dengan baik. Jangan jadi istri yang melawan ya, ingat suami kamu itu banyak jasanya sama kamu.” “Iya, Pak. Ratih melakukan yang terbaik kok buat suami Ratih. Hape bapak kemana? Udah dibenerin?” “Katanya gak bisa dibenerin.” “Kalau gitu beli lagi, Pak. Kan bapak dikasih uang sama suaminya Ratih.” “Gak usah, itu uang bapak simpen buat masa depan adek adek kamu, Nak.” Ratih mengerucutkan bibirnya. “Tapikan Ratih butuh komunikasi sama Bapak. Gimana kalau bapak kangen sama Ratih? Atau Ratih yang kangen sama bapak?” Pria tua di sana itu hanya tertawa. “Bapak percaya kamu bahagia di sana, dan kamu juga harus percaya kalau bapak bahagia di sini. Suami kamu adalah seorang malaikat, Nak. Makannya bapak gak khawatir kamu gimana di sana, Endah bilang kalau segala kebutuhan kamu juga terpenuhi. Bapak bahagia sekali, mengingat bapak tidak bisa membahagiakan kamu.” Ratih menggigit bibir bawahnya menahan tangisan. “Bapak….” “Bapak telpon kamu ganggu gak?” Baru juga Ratih akan menjawab, dia lebih dulu mendengar suara pintu utama terbuka. Gawat, itu adalah suaminya, dan dia belum membuat apapun. “Pak, suami Ratih pulang. Sebentar ya.” “Iya, Nak, iya.” Ayahnya terdengar sangat khawatir di sana. “Jangan maen hp mulu, sana layani suamimu. Bapak tutup telponnya.” Begitu sambungan terputus, Ratih keluar dari kamarnya. Dan mendapati sang suami yang berada di dapur sedang mengambil soda. “Tuan, ingin makan apa?” “Kamu belum masak?” Ratih diam. “Maaf, Tuan. Tadi bapak saya nelpon.” “Kamu lupa tugas kamu atau gimana? Ingat dulu kewajiban.” “Maaf, Tuan. Saya akan masak sekarang.” “Gak usah, saya mau makan di luar. Punya istri gak becus,” ucap Bima sambil melangkah menjauh dari sana. **** Bima terdiam sejenak, dia ingin makan malam di luar, tapi Bima butuh seseorang untuk menemaninya. Bukan karena takut, tapi Bima butuh seseorang yang bisa membuatnya mengalihkan pikiran. Dia benar-benar ingin beristirahat dengan pikirannya sejenak, karena Kania membuatnya stress dengan meminta untuk pergi ke luar negara. Biasanya jika bertengkar dengan Kania, Bima akan keluar bersama dengan teman-temannya. Sayangnya, saat ini teman-temannya tidak ada satupun yang kosong, mereka sedang sibuk dan kebanyakan berada di luar kota. Mengingat istri keduanya, membuat Bima menyeringai. Bukankah itu tugasnya? Melakukan apapun yang Bima inginkan. Selain dirinya bisa mendapatkan kesegaran pikiran, Bima juga bisa mendapatkan kesegaran tubuhnya. Yang mana membuat Bima menelpon sekretaris pribadinya. “Hallo, Tuan?” “Sewakan sebuah privat villa sampai akhir pekan. Carikan di sekitar sini, dengan pemandangan alam yang bagus.” “Baik, Tuan.” “Waktumu hanya setengah jam.” “Serahkan semuanya padaku, Tuan.” Sementara itu, Ratih sedang memasak nasi goreng untuknya sendiri. dia tidak berani untuk memasak bahan makanan jika sang suami tidak meminta. Dan karena hanya ada nasi, jadi Ratih memutuskan untuk makan malam dengan ini saja. Nasi goreng itu ditampung dalam mangkuk, ditambah bawang goreng di atasnya. Warnanya yang putih menandakan kalau Ratih hanya memasukan rempah-rempah saja. Ketika Ratih baru saja duduk, dia melihat Bima menuruni tangga. “Apa yang kamu masak?” “Nasi goreng, Tuan.” “Buang itu, ayo makan di luar.” “Ya?” tanya Ratih sedikit tidak percaya. Yang mana membuat Bima menatapnya tajam. “Kita akan keluar, bersiaplah.” “Ba⸻baik, Tuan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD