Pelampiasan

1677 Words
Beberapa minggu telah lewat begitu saja, tapi terasa begitu lama untuk sosok Bima yang selama beberapa malam ini terus saja dipaksa agar bisa berduaan bersama dengan sosok yang tidak dia sukai. Membuat waktunya tersita dengan sang istri tercinta, dan itu juga membuat Kania menjadikan Ratih sebagai alasan lain. Seperti dia harus ke luar kota agar Bima bisa berduaan dengan istri keduanya itu. Namun pada kenyataannya, tidak pernah sekalipun Bima dan Ratih berduaan kecuali di malam-malam dimana Kania memaksanya untuk menyetubuhi perempuan itu. Bima tidak menyukainya, tapi bagaimana dia bisa melakukannya? Karena Bima hanya membayangkan Kania yang tengah dia setubuhi itu, bukan Ratih. Selama ini pula, Ratih terus berada di kamar untuk sarapan dan makan malam. Kecuali untuk makan siang, dia selalu melakukannya di luar setelah melakukan kelas untuk calon ibu hamil. “Kapan kamu akan pulang, Sayang?” tanya Bima yang sudah tiga hari ini ditinggalkan oleh sang istri pertama, dimana Kania tengah berada di luar kota untuk pemotretan terbarunya. “Aku tidak tahu, ada badai di pulau ini. jadi, kemungkinan membutuhkan banyak waktu lebih agar bisa mendapatkan hasil gambar yang bagus.” “Weekend sudah ada di sini ‘kan? Aku sangat merindukanmu. Pikirkan jika kamu ada di posisiku.” Kania malah tertawa di sana. “Lebay banget kamu, Mas. kan di sana ada Ratih, menuntaskan kebutuhan biologis kamu.” “Udah seminggu aku gak nyicip kamu, pulang. Aku rindu.” “Iya, masa udah gede manja sih. Aku usahain weekend pulang kok.” “Jangan bohong.” “Iya, Mas. aku tinggal dulu ya, ada temen aku ke sini. Kamu sarapan sana. Bye, Mas. I love you.” “I love you too.” Kemudian Bima menutup telponnya, dia memandang ponsel itu dengan penuh rasa sedih. Bima selalu kesepian jika Kania terlalu focus dengan karirnya. Sebenarnya Bima ingin sekali meminta Kania berhenti menjadi model. Namun, sebelum mereka menikah dulu, mereka membuat perjanjian. Dimana Bima tidak akan menghentikan Kania untuk mengear karirnya. Dan bodohnya Bima menyetujuinya saat itu. Turun ke lantai bawah untuk sarapan, di sana sudah ada beberapa menu yang tersedia. “Siapa yang minta omelet, Bi?” “Untuk Ratih, Tuan.” “Anak itu banyak maunya,” gumam Bima mendudukan dirinya, yang segera dihidangkan dengan menu sarapan sehatnya. “Udah ada tanda-tanda dia hamil belum, Bi?” “Hmm, belum, Tuan. Setiap hari selalu saya suruh memakai testpack sesuai keinginan Tuan, tapi hasilnya masih negative.” Bima berdecak. “Mungkin karena itu bukan masa suburnya, Tuan.” “Periksakan dia ke dokter, apa benar dia sehat? Ini sudah hampir sebulan.” “Baik, Tuan.” Bibi Endah tengah menyiapkan makanan untuk Ratih. “Tuan…” “Kenapa?” “Saya ingin meminta izin.” “Kemana?” “Pulang kampung sebentar, Tuan. Anak saya di kampung sakit parah.” “Sebelum senin harus ke sini, Bi.” “Baik, Tuan. Apa Tuan ingin saya carikan pengganti?” Bima menggeleng. “Tidak perlu, kita punya anak itu bukan? bukannnya dia dari kampung yang sama dengan Bibi?” “Iya, Tuan.” “Dia bisa bersih-bersih?” “Bisa, Tuan.” “Biarkan saja dia yang melakukannya, Bibi beritahu tugasnya apa saja.” “Baik, Tuan.” ****** “Bibi mau pulang kampung?” Bibi Endah menganggukan kepalanya. “Hanya empat hari. Sebelum hari senin juga sudah kembali. Kamu gantiin Bibi untuk layani Tuan Besar ya.” “Bersih-bersih gitu ya?” “Iya, tapi kan kemarin ada tukang yang datang. Jadi masih bersih, kamu cuma bikin makanan, nyuci sama beresin kamar Tuan.” Ratih mengangguk paham. “Eum… Bibi kalau udah di kampung tolong beliin bapak HP yang baru ya. Ratih terakhir menelpon itu seminggu yang lalu, katanya HP nya udah jelek.” Bibi Endah hanya mengangguk. “Iya nanti dibeliin. Tapi kamu jangan minta apa-apa lagi, keluarga kamu udah terbebas dari hutang sama adik-adik kamu bisa sekolah aja itu udah cukup. Makannya Bibi bilang, kalau mau harta yang banyak, kamu harus hamil.” Ratih menggeleng. “Ratih gak mau harta banyak, cuma mau keluarga di kampung sehat dan bisa komunikasi dengan baik aja sama Ratih.” “Iya nanti Bibi beliin. Udah sana kamu berangkat, ada kelas ‘kan?” Ratih mengangguk, dia berdiri dari duduknya. “Jangan lupa bawa bekas sarapan kamu.” Ratih menurut. Apabila Bima sudah pergi, Ratih memiliki sedikit kebebasan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Dia tidak pernah keluar untuk sarapan dan makan malam, karena Bima tidak pernah menginginkan kehadirannya. Pernah sekali Kania memaksanya untuk ikut makan di ruang makan. Namun melihat Bima yang menatapnya tajam membuat Ratih memilih untuk berbohong dengan keadaannya yang kurang enak, demi menghidari suaminya yang tidak menginginkannya. Seperti biasa, Ratih kini memasuki kelas untuk perempuan-perempuan yang siap untuk menjadi ibu. “Hei, kamu sepupunya Kak Kania ya? Yang model itu?” “Iya, Kak.” Begitulah dirinya memperkenalkan diri, sebagaimana Kania memperkenalkan Ratih sebagai sepupu pada semua orang. “Kenalkan, saya Ratih.” “Maudy, kamu udah lama di sini?” “Mau satu bulan, Kak.” “Aku member baru, kita temenan mau?” Ratih mengangguk saja, dia menerima pertemanan dari manapun. Kelas untuk calon ibu hamil bukan hanya tentang materi, mereka juga diajak relaksasi untuk lebih tenang dan berfikiran terbuka, juga beberapa posisi yang bagus untuk dilakukan saat berhubungan badan. “Nah, ini adalah posisi yang sempurna. Jadi kakak-kakak yang baru saja selesai datang bulan, dianjurkan untuk memakai posisi ini. Bukan hanya bagus, posisi ini juga membuat kakak-kakak tidak merasakan sakit.” Ratih hanya diam, mau bagaimanapun posisinya tetap dirinya merasakan sakit. Bayangkan saja dirinya dimasuki saat tidak ada persiapan, dengan keadaan yang masih kering. Itu benar-benar menyakitkan. Belum ada kemajuan, mereka hanya melakukan itu, kemudian Bima meninggalkannya. “Btw, suami kamu orang mana, Tih?” tanya orang yang baru saja dikenal oleh Ratih. Tempat itu mulai berisik saat instruktur keluar. “Orang sini kok, Kak.” “Oh, kerja dimana? Kalau kamu sepupunya Kak Kania, pasti suami kamu juga orang yang hebat ya?” Ratih hanya tersenyum kikuk, menjawab seminimalisir mungkin karena takut mulutnya terlalu ember. “Berapa bulan nikah?” “Sebulan, Kak.” “Wah masih anget dong. Bulan madu kemana?” “Gak bulan madu, suaminya sibuk.” “Duh harusnya bulan madu dong mumpung masih anget, minta aja sama suaminya.” Ketika Ratih hendak menjawab, ponselnya lebih dulu berbunyi. Dia mengerutkan keningnya dan melihat nama Kania ada di sana. “Kak, aku permisi dulu ya.” Ratih pergi ke toilet untuk mengangkat panggilan. “Hallo, Kak Kania?” “Ratiiihhhhh.” Suara Kania melengking di sana. “Kakak denger Bibi pulang kampung ya?” “Iya, Kak.” “Ini kesempatan kamu ya, coba deketin Mas Bima pelan-pelan, kamu bisa masak ‘kan?” “Bisa, Kak.” “Masakin dia masakan sunda ya, yang enak-enak. Dia suka banget. Biar chemistry diantara kalian ada.” “Iya, Kak.” Ratih heran, kenapa ada istri pertama yang menyerahkan suaminya segampang ini pada orang lain? “Soalnya Kakak mau ngejar pemotretan di Prancis. Kalau misalnya Mas Bima udah lumayan nempel sama kamu, kan Kakak bisa pergi.” Oh…, ternyata ini alasannya. “Iya, Kak. Nanti Ratih usahain ya.” “Oke, semangat menangin hati Mas Bima ya, Tih. Bye.” **** Bima menarik napasnya dalam tatkala dia mendapatkan pesan kalau istrinya ingin pergi ke Prancis untuk pemotretan, dia benar-benar merindukan Kania. Istrinya itu seolah sengaja keluar dengan menjadikan Ratih sebagai alasan agar dirinya tidak melarang. Dan untuk Bima, ini adalah kesialan, bagaimana bisa istrinya itu menjadikan istri keduanya sebagai ajang kesempatan. Parahnya lagi, Bima belum lagi meniduri sang istri beberapa hari terakhir ini. Begitu pulang ke rumah, Bima mencium aroma masakan yang berbeda, dilihatnya Ratih sedang berkutat di sana. Manyadari kehadiran Bima, Ratih berbalik. “Tuan, ingin makan dulu atau mandi?” Karena tergiur dengan masakan Ratih, Bima membuka mantelnya dan duduk. Tahu suaminya akan makan, Ratih segera menuangkan air putih untuknya. Ratih juga menunggu respon sang suami tentang masakannya, dia berdiri di sebrang meja sana. Begitu menyuap, Bima terdiam sejenak. Masakannya persis miri Ibu Gandari; orang yang melahirkan Bima. “Kenapa, Tuan?” tanya Ratih yang sedikit panic. “Pergilah dari hadapanku, siapkan air hangat.” “Baik,” ucap Ratih dengan bibir melengkung ke bawah. Untuk pertama kalinya, Ratih naik ke lantai dua, tepatnya memasuki sebuah ruangan yang biasanya hanya dilihat Ratih dari lantai pertama saja. Begitu masuk, Ratih diperlihatkan dengan kamar yang didominasi oleh warna biru tua dan cokelat muda. Begitu besar, ditambah dengan balkon yang luas. “Woaaaah, mekajubkan,” ucap Ratih yang langsung berjalan ke kamar mandi. Di sana dia kembali terpana. Bahkan kamar mandinya memiliki ukuran yang sama dengan kamar tidurnya. “Woaaaah, hidup Kak Karina pasti sangatlah enak. Dia memiliki suami yang mencintainya, dan juga ekonomi yang stabil.” Karena Ratih sudah belajar cara mengaktifkan air panas, maka dia mulai memenuhi bathub itu dengan air yang dicampur dengan aroma theraphy. Ketika Ratih melihat ada kosmetik yang berantakan di rak dekat westafel, dia tidak tahan untuk membereskannya. Sementara itu, Bima menyelesaikan makan malamnya. Dia langsung naik ke kamarnya dan masih mendapati Ratih berada di sana. Karena Ratih memakai rok selutut dan posisinya saat ini sedang menungging, maka Bima bisa melihat paha dalam istri keduanya itu. Bima meneguk ludahnya kasar, dia merindukan Kania, tapi yang ada hanya Ratih. Tidak tahan menahan nafsunya, Bima tiba-tiba menarik Ratih, membalikan tubuhnya dan langsung mendudukannya di atas westafel. “Tuan,” ucap Ratih kaget. Namun, Bima dengan cepat menyumpal bibir Ratih dengan mulutnya. Ratih sontak terkejut, pertama kalinya dia mendapatkan ciuman pertamanya. “Hmmmmmhhhh…” Ratih mencoba untuk mendorong Bima karena napasnya hampir habis. Namun pria itu hanya memberinya jeda satu detik sebelum bibirnya kembali menempel, tangannya kembali bergelirya kemudian tubuhnya kembali diangkat dan dijatuhkan di dalam bathub yang sudah diisi air hangat. “Tuan….,” rengek Ratih saat ciuman Bima turun ke lehernya. “Diamlah dan lakukan tugasmu,” ucap Bima. Dimana malam itu mereka melakukan kegiatan panas di kamar utama, membuat sprei berantakan, bantal basah dan selimut yang terlempar entah dimana. Hanya ada suara erangan dan desahan yang mendominasi. Kamar itu benar-benar berubah jadi kapal pecah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD