Status

1211 Words
Hari ini Ratih diajak oleh Bima ke kota, sebelum mereka benar benar menghabiskan waktu seminggu di Villa mengingat Kania akan pergi ke luar negara. Bima berkata kalau dirinya akan menghabiskan waktu di villa, dan membawa pekerjaannya di sana. Masalah rapat dan lainnya? Asistennya yang akan melakukannya. Untuk sekarang, Bima sedang mengajak Ratih untuk makan siang di luar. Tepatnya di sebuah restaurant Jepang, dimana Ratih bingung dengan makanan yang ada di hadapannya, juga sumpit yang ada di tangannya. "Kenapa diam saja? Makan itu," ucap Bima yang sudah memakan sushi lebih dahulu. "Hmm… saya tidak tau bagaimana cara menggunakannya, Tuan." "Pegang seperti ini," ucap Bima memperlihatkan sumpit yang sedang dia pegang. Tapi Ratih terus saja menjatuhkannya. "Astaga, apa yang bisa kau makan?" "Sesuatu yang dengan tangan," cicit Ratih memilih menyimpan sumpit itu karena benda itu terus saja jatuh dan menimbulkan suara. "Boleh memakai tangan, Tuan?" "Tentu saja tidak, apa kau bodoh?" Pertanyaan itu membuat Ratih memilih untuk diam saja, dia menunduk dan lebih baik menunggu Bima menyelesaikan makannya. Dia memilih makan di villa saat pulang nanti. "Buka mulutmu." "Ya?" "Kubilang buka," ucap Bima yang sudah menyodorkan sumpit dengan sushi di sana. Awalnya Ratih ragu, tapi dia membuka mulutnya perlahan dan membiarkan makanan asing itu dia kunyah. Sampai beberapa detik kemudian. "Uhuk!" Ratih mengeluarkannya lagi, menjadikan telapak tangannya sebagai penampung. "Itu menjijikan," ucap Bima kesal. Ratih segera mengambil tissue dan menggulungnya dengan benda itu sebelum membuangnya di tempat sampah di pojok ruangan. Ya, Bima memilih privacy room dimana tidak sembarang orang bisa melihat mereka berdua. "Saya akan makan di villa saja." "Kita akan lama di kota, aku punya beberapa pekerjaan. Kalau begitu pesan yang lain." "Selain ini?" "Mie soba, kau suka?" "Hmm.. Selama itu makanan normal." "Tentu saja normal. Kau saja yang kampungan." Ratih hanya diam saat Bima memanggil pelayan lewat alat khusus, dimana dia memesan makanan yang lain di sana. Sampai beberapa menit kemudian sang pelayan masuk memnawakan apa yang diinginkan Bima. "Makan itu." Itu adalah makanan biasa, sebuah mie yang terlihat normal. Dan saat Ratih mencicipinya, rasanya agak aneh, tapi dia suka. "Makan yang banyak, kau harus melayaniku lagi nanti." Kata melayani itu membuat Ratih mengingat beberapa waktu lalu dimana Bima tidak pernah melepaskannya untuk tetap berada di bawah kukungannya. Apalagi ketika dia dibawa ke sebuah kapal boat, Ratih hampir mual dibuatnya. Persetubuhan itu membuatnya lelah, lemas, dan Bima tidak membiarkannya pergi sedetik saja. "Jika ingin berhenti, maka cepat hamil." begitulah kalimat yang sering dilontarkan oleh Bima pada Ratih. "Tuan, bolehkah saya menelpon Bapak di kampung?" "Bukannya dia tidak punya ponsel?" "Ya, tapi saya bisa menelpon lewat Bibi." "Bibimu sudah kembali ke Jakarta, jika kau memang ingin lebih banyak berkomunikasi dengan Bapakmu, maka cepatlah hamil. Bukankah itu tugasmu?" "Maaf, Tuan," ucap Ratih, dia khawatir Bima akan menganggapnya sebagai wanita yang tidak tahu malu, setelah membiayai keluarganya di kampung. "Apa Kania menghubungimu lagi?" "Tidak lagi, mungkin dia sedang sibuk." "Jika dia bertanya bagaimana perkembangan hubungan ini, ingat jawabanmu. Dan jangan lupakan kau harus tutup mulut perihal kepergian kita." "Baik, Tuan." Bima memang malas berdebat dengan Kania jika mereka bertemu nanti. Kenyataanya, Kania selalu menginginkan menjadi yang pertama di dalam segala hal. "Aku harus ke kantor sebentar, dan kau akan pergi ke rumah dulu." Ratih mengangguk. "Kita akan pergi lagi nanti malam?" "Ya, habiskan waktu untuk mengisi perutmu dengan benihku." Kalimat frontal membuat Ratih tersipu, meskipun dia sering mendengarnya dari Bima. Tidak disangka, jika pria itu memiliki kalimat kalimat nakal ketika mereka berdua. **** "Bibiiii!" pekik Ratih begitu dia masuk ke dalam rumah dan mendapati Bibi Endah sedang membereskan dapur di sana. "Gusti, Tih! Kamu kemana aja? Tuan bilang kamu diajak keluar, tapi kenapa lama banget?" "Iya, nemenin dia kerja." Bibi Endah yang penasaran dengan cerita keponakannnya itu segera menarik tangan sang keponakan untuk duduk di sofa, dimana mereka duduk saling berhadapan. "Jadi gimana? Coba cerita sama Bibi." "Hmmmm…. Kita di Villa, Tuan kerja, aku yang layanin segalanya buat dia." "Wah, jangan sampai Nyonya tau, biasanya dia marah kalau Tuan pergi keluar tanpa dirinya, apalagi bukan bisnis, apalagi kamu cuma istri kedua." "Iya, Bi. Tuan juga bilang jangan ngomong sama Kak Kania. Tapi aku takut dia penasaran tentang kenapa aku gak masuk kelas pra kehamilan." "Lah gak papa gampang, kamu bilangnya apa?" Ratih terdiam sebentar sebelum berkata, "Tuan Bima yang larang karena kami dalam masa pedekatan." "Dia marah?" Ratih menggelengkan kepalanya. "Enggak, dia bilang bagus." "Wah, kayaknya Nyonya lagi bagus bagusnya deh karirnya, sampe gak peduliin suaminya sama siapa." "Aku kan juga istrinya, Bi," ucap Ratih dengan nada suara rendah. Kebersamaannya dengan Bima di villa membuat Ratih menyukai pria itu, entah bagaimana awalnya, tiba tiba jantungnya berdetak kencang tatkala bersama dengannya. Apalagi mereka melakukan kontak fisik dengan sangat intens. Bima adalah yang pertama untuk Ratih, dalam segala hal. "Ya kan inget aja posisi kamu sebagai istri kedua." "Iya, Bi. Aku mau kemas baju dulu ya, Tuan Bima mau kembali ke villa itu, ditemenin aku." "Wah wah wah, kalian udah deket banget ya. Bibi seneng sih, asal kamu jangan besar kepala. Ingat, tujuan Tuan Besar gini itu buat kamu hamil, bukan jatuh cinta sama kamu. Bibi gak mau kamu sakit hati, jadi tolong ingat posisi kamu." "Iya, Bi. Ratih paham," ucapnya segera bergegas masuk ke dalam kamar. Sementara Bibi Endah menarik napasnya dalam. Dia tau majikannya itu saling mencintai meskipun seringkali berselisih, bagaimana Bima mengorbankan segalanya untuk Kania. Dan Kania yang selalu merawat Bima sepenuh hati di waktu waktu tertentu. "Huft, semoga dia cepat hamil supaya tidak sampai jatuh Cinta pada Tuan Besar." Ketika Bibi Endah hendak kembali membereskan, dia mendengar sebuah mobil memasuki pekarangan. Yang dia tau, itu pasti bukan Bima. Dan jika satpam mengizinkannya masuk, maka berarti dia adalah orang yang penting. Membuatnya bergegas ke depan. "Tuan Aldo?" tanya Bibi Endah bingung. "Hallo, Bi. Lama ya gak ketemu. Gimana kabarnya?" "Baik, Tuan. Tapi, Tuan Bima belum pulang." "Yah… Aku tau, aku ingin memberinya kejutan." Aldo adalah sepupu jauh dari Bima, yang tinggal di Singapura. "Mari masuk dulu, Tuan." "Rumah ini masih sama ya?" Bibi Endah mengangguk pada sosok yang menjadi salah satu keluarga besar Bima itu. "Sudah berapa tahun ya Tuan tidak ke sini?" "Sibuk, Bi. Aku kan udah jadi orang Singapura. Terakhir ke Indonesia pas Bima nikahan sih." "Tidak ke Bandung dulu, Tuan? Bertemu kerabat?" tanya Bibi Endah mengingat keluarga besar Bima ada di Bandung. "Tidak, Bi. Aku ingin mengejutkan Bima dulu. Baru ke Bandung."" Bibi Endah menyiapkan minuman dahulu untuk satu satunya anggota keluarga majikannya. BRAK! Sebuah pintu terbuka menarik atensi dari Bibi Endah. "Tuan Besar?" tanya Bibi Endah. Bima tidak menghiraukannya, dia tetap melangkah menuju ke ruang tamu. "Aldo?" "Astaga, Bima. Aku tidak tau kau pulang cepat." "Aku bertemu sekretarismu dan dia bilang kau akan datang ke rumah." "Wahh.. Padahal aku ingin memberimu kejutan. Sangat senang bertemu denganmu lagi, aku merindukanmu, Bima," ucap pria yang seumuran dengan Bima itu. "Kenapa tidak pergi ke Bandung?" "Hei ayolah, kau sudah seperti saudaraku, aku memilih ke sini dulu." Bima memutar bola matanya malas, keluarga Aldo seringkali membuat masalah sehingga harus pindah ke Singapura. "Dimana istrimu? Masih sibuk dengan dunia modelnya?" Dan baru juga Bima akan menjawab, sebuah suara menarik perhatian Aldo. Seorang perempuan dari dalam kamar. "Siapa dia?" tanya Aldo. Ratih yang baru menyadari keberadaan orang asing itu menegang, dia bingung dengan tatapan orang orang di sekitarnya. "Dia pembantu," ucap Bima dengan tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD