Penyesalan

1165 Words
Saat ini mereka sudah sampai di mall dimana Lea dan Rendy akan nonton bersama. “Sialan banget bos loe!” gumam Rendy masih kesal dengan sikap Theo sore tadi. Lea hanya bisa meringis, di dalam hatinya walau ia mengerti tentang kekesalan Rendy tapi ia tak merasa nyaman karena sepanjang perjalanan menuju Mall, Rendy mengumpat tentang Theo begitu kasar. “Udah dong mas, katanya kita mau nonton, kalau kamu kesal terus nanti suasana malah jadi gak enak …” bujuk Lea. Melihat Lea membujuknya, Rendy segera merangkul leher perempuan itu dengan erat dan mulai mengendus-endus rambut Lea dengan pandangan nakal. “Iya, seharusnya malam ini kita senang-senang ya,” bisik Rendy terdengar nakal dan membuat Lea merasa sedikit takut. Walau ia mulai menyukai Rendy, tapi ia tak ingin Rendy langsung menyentuh dan merangkulnya seperti itu. Hati Lea semakin gelisah ketika tengah menonton film, sikap Rendy semakin berlebihan. Ia mulai mengecup pipi dan menciumi leher Lea. “Mas, jangan …” tolak Lea perlahan, merasa takut kalau Rendy akan tersinggung tapi ia tak mau disentuh seperti itu. Walau ia janda bukan berarti semua laki-laki bisa bebas menyentuhnya. “Sttt … aku tahu kamu gugup, pasti sudah lama tak disentuh … tenang saja … kamu pasti senang …” bisik Rendy semakin liar tak tahan melihat Lea yang cantik tetapi polos begitu sensual untuknya. Lea menahan nafasnya dan segera mendorong Rendy ketika pria itu mendadak menghisap lehernya. “Mas, jangan kurang ajar!” bisik Lea kaget dan tak suka. Tubuhnya terasa gemetar karena takut sekaligus marah, ia merasa dilecehkan. “Kenapa sih kamu jadi berubah?! Jangan sok jual mahal! Kenapa? Kamu jadi percaya apa yang si pincang bilang?!” Mendengar ucapan kasar Rendy, Lea benar-benar terdiam. Hatinya terasa ditampar oleh kenyataan, bahwa pria yang mulai disukainya ini ternyata aslinya bersifat kasar dan arogan. Beberapa jam yang lalu, ia masih marah pada Theo karena bersikap arogan pada Rendy dan ia masih membela juga menerima Rendy walau hatinya mulai tak nyaman dengan semua sumpah serapah yang keluar dari mulut Rendy. Kini ia melihat kenyataan bahwa Rendy hanya ingin melampiaskan nafsu padanya, tidak lebih. Dulu, ia selalu menutup mata akan sikap Max yang tak mencintainya. Kini haruskah ia menutup mata kembali dan menipu diri sendiri hanya karena sudah menyukai Rendy. Perlahan Lea mengambil tasnya dan menoleh pada Rendy. “Sebaiknya kita tidak bertemu lagi, aku tak bisa berkencan dengan laki-laki yang mulutnya kasar seperti kamu.Aku juga tak ingin bersama pria yang cuma ingin melampiaskan nafsu. Aku bukan perempuan untuk itu.” “Cih, kaya mulut bos kamu gak kasar aja?! Sok bersih kamu!” umpat Rendy menutupi rasa malu karena ditolak Lea. Diumpat seperti itu hanya membuat Lea ingin segera pergi dari situ, ia takut Rendy bisa melakukan apapun padanya. Wajah tampan dan sikap yang penuh pesona itu ternyata hanya menutupi sikapnya yang busuk. Tanpa berkata apa-apa Lea segera berdiri dan berjalan dalam kegelapan sambil berdoa agar Rendy tak mengikutinya. Ia hanya ingin segera pulang. Sesampainya dirumah, Lea tampak sangat terkejut ketika melihat Theo duduk di depan kamar sambil memijat kakinya. Udara malam itu cukup berangin, untuk pria dengan kondisi seperti Theo, pasti akan membuat kakinya yang sensitif terasa ngilu. “Mas, kok disini?” tanya Lea terkejut dengan suara pelan. Kali ini tak ada kemarahan dari hati Lea pada Theo, ia malah merasa bersalah mengapa tak mendengarkan ucapan sang bos, bahwa Rendy bukanlah pria baik untuknya. Theo yang sudah menunggu diluar kamar hampir tiga jam juga tak kalah terkejutnya. Ia berpikir Lea ada di dalam ternyata perempuan itu diam-diam pergi dan Theo tahu siapa yang ia temui. Ada rasa kecewa yang terasa dihati Theo begitu dalam ketika melihat bercak kemerahan di leher Lea. “Aku pikir kamu di dalam kamar, dan aku sengaja menunggumu disini karena mau meminta maaf atas sikapku yang gak karuan tadi. Aku tak bermaksud ikut campur dengan kehidupan pribadi kamu, Lea. Mulai saat ini aku tak akan mengganggumu lagi … aku minta maaf …,” ucap Theo menatap Lea dalam lalu berdiri dan berjalan tertatih-tatih tanpa menunggu jawaban dari Lea yang berdiri mematung mendengarkan permintaan maaf Theo. Entah mengapa, mendengar ucapan Theo membuat hati Lea merasa sangat sedih. Matanya berkaca-kaca tanpa bisa berkata bahwa ia menyesal tak mendengarkan ucapan Theo. Ingin rasanya Lea bercerita bahwa ia hampir dilecehkan, tapi ia pun merasa tak pantas karena Theo juga sudah tak ingin ikut campur dalam kehidupan pribadinya. Dalam satu malam ia mengecewakan dua pria dalam waktu bersamaan. *** “Pagii Om Sukmaaa….” sapa Lea ceria ketika melihat ayah Theo tengah sarapan pagi itu. Setelah kejadian tadi malam, Lea berniat untuk menemui Theo saat sarapan dan meminta maaf padanya. Ia sengaja masuk ke rumah utama lebih pagi dari biasanya agar bisa mencegah Theo menghindarinya. “Ayo, sini sarapan sama Om,” sambut Sukma sambil membawa teko berisi air panas untuk ia tuang ke cangkir tehnya. “Mas Theo … eh pak Theo belum keluar ya Om?” tanya Lea sembari membuat secangkir kopi. “Sepertinya hari ini Theo tidak ke kantor, tengah malam tadi, dia minta diantar ke ugd karena tubuhnya demam tinggi.” “Demam?!” “Iya, mungkin dari kakinya, kalau terlalu sakit biasanya sampai demam … tetapi mungkin juga Theo masuk angin, karena demamnya terlalu tinggi jika hanya karena menahan sakit kakinya. Kamu pergi duluan saja diantar Sugi.” “Akh, gak usah diantar Om, aku biasa naik ojol kok …” “Kalau kamu mau jenguk Theo ke kamar, tolong bawakan baki bubur itu sekalian ya… simpan saja dimeja kamarnya, biar dia makan kalau dia sudah bangun.” “Oh, aku boleh masuk?” tanya Lea gugup ketika Sukma seolah memberikan kesempatan untuknya bertemu Theo. “Loh, kamu kesini bukannya mau jenguk Theo?” “Ohiya, mau jenguk … mau jenguk … Lea bawakan makanan ini ke dalam kamar mas Theo dulu ya Om … permisi…,” ucap Lea cepat segera berdiri dan membawa baki berisi bubur ke dalam kamar Theo. Kamar itu terlihat remang-remang cenderung gelap karena tirainya yang masih menutup rapat. Perlahan Lea masuk dan meletakan makanan diatas meja sambil mengintip ke arah ranjang besar yang tampak seperti gumpalan besar di dalam selimut tebal. “Mas, ini aku … aku bawain bubur buatan Sari buat mas Theo… nanti dimakan ya mas… kata Om, mas Theo sakit … cepat sembuh ya…, hmmm, tapi kalau mas Theo mau dibawain makanan dari luar boleh kasih tahu aku … nanti aku bawain buat mas Theo,” ucap Lea berdiri kikuk disamping ranjang. Reaksi Theo yang berada di dalam selimut malah sebaliknya, ia membalikan tubuh sehingga membelakangi Lea. Melihat sikap Theo yang tampak menolaknya membuat Lea menundukan kepalanya, ia merasa sedih dan malu. “Aku pamit kerja ya mas… maaf aku ganggu,” pamit Lea dengan suara lirih. Perlahan Lea berjalan keluar kamar dan berharap Theo terbangun dan menyapanya. Nyatanya pria itu hanya diam dan membiarkan Lea meninggalkan dirinya sendiri. Ada perasaan senang di hati Theo karena Lea datang mengunjungi tetapi perasaan senang itu sekaligus perasaan sedih karena ia sudah tak ingin berurusan dengan Lea lagi. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD