Wajah Lea terlihat murung ketika sampai di kantor, ia merasa tak bersemangat karena efek kejadian kemarin. Tiba-tiba saja ia merasa malas untuk bertemu siapapun. Sebelum duduk, ia masih sempat menoleh ke arah ruangan Theo yang berada nun jauh disana.
“Kok murung? Habis kencan harusnya happy dong,” sapa Annie ketika melihat Lea duduk termenung. Lea menatap Annie dalam sampai membuat atasannya itu heran.
“Ada apa?” tanya Annie khawatir.
“Mbak, aku mau curhat … hanya mbak Annie yang bisa ngerti …,” bisik Lea dengan mata berkaca-kaca. Annie pun segera mengajak Lea ke foodcourt agar ia bebas bercerita, apalagi pagi seperti ini foodcourt perkantoran mereka masih sepi.
Disudut foodcourt Lea pun menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, Rendy dan juga Theo. Ia merasa menyesal karena tak sempat mendengarkan ucapan Theo dengan seksama karena sikap Theo yang langsung terlihat arogan di hadapan Rendy.
Annie hanya bisa menghela nafas sesaat sebelum ia menceritakan versi yang ia tahu dari Theo tentang Rendy yang tampaknya memanfaatkan Zul untuk mendekati Lea.
“Ya ampun mbak, jadi aku harus bagaimana? Aku jadi gak enak sama pak Zul dan pak Theo,” gumam Lea. Perutnya terasa mulas karena tak menyangka bahwa urusannya bisa sepanjang itu.
“Gimana kalau kamu jelaskan pada pak Zul, tuh mumpung orangnya lagi beli kopi,” suruh Annie ketika tak sengaja, ia melihat Zul yang tengah ngantri disalah satu kedai kopi.
“Aku malu mbak, kesannya aku sok laku banget gak sih?”
“Lebih baik kamu dianggap sok laku dari pada nama kamu jadi jelek. Cepet sana!” suruh Annie mendorong Lea untuk segera menghampiri Zul.
Dengan ragu Lea melangkah menghampiri Zul dan berdiri dibelakangnya untuk antri kopi.
“Pagi pak Zul,” sapa Lea gugup tak seperti biasanya, karena kali ini ia tahu kebenarannya bahwa pria ini ada hati padanya. Mendengar seseorang menyapanya, Zul menoleh dan hanya tersenyum pada Lea lalu kembali antri kopinya.
“Bapak … saya mau minta maaf…” ucap Lea tiba-tiba, ia tak bisa lagi berbasa-basi dengan sikap Zul yang tampak dingin padanya. Mendengar ucapan Lea, Zul pun menoleh kembali.
“Minta maaf soal apa ya?” tanya Zul tampak tenang.
“Saya boleh minta waktunya sebentar untuk menjelaskan gak pak?” pinta Lea berharap Zul yang sudah kecewa padanya mau memberinya waktu untuk menjelaskan. Zul pun mengangguk dan setelah mengambil kopinya ia mencari tempat sepi lainnya untuk berbicara dengan Lea.
Tanpa banyak basa basi, Lea pun menceritakan apa yang ia dengar tentang bunga dan hadiah pemberian Zul yang selama ini ia sangka dari Rendy.
Mendengar penjelasan Lea, Zul hanya tersenyum dan mengangguk - angguk perlahan.
“Beberapa waktu yang lalu saya memang tertarik padamu Lea, walau akhirnya saya tahu ini adalah salah paham, saya sangat menghargai keberanian kamu untuk membicarakan hal ini dengan saya,” ucap Zul tenang dan membuat Lea menundukan kepalanya.
“Saya minta maaf ya pak …”
“Akh, seharusnya kamu tak perlu minta maaf … toh bukan maksud kamu juga bersikap seperti itu.”
“Kapan-kapan kita makan siang bersama yuk, Pak. Saya yang traktir!”
Mendengar tawaran Lea, Zul hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya kebawah.
“Sudah, tidak perlu. Kamu tidak perlu mengajak saya untuk makan siang bersama hanya untuk membayar rasa bersalah kamu, Lea. Saya tidak apa-apa. Kemarin saya tertarik sama kamu karena kamu mengingatkan saya kepada almarhumah istri saya. Saya juga tidak keberatan jika kamu memang menyukai Rendy dan menjalin hubungan dengannya. Itu bukan urusan saya. Kamu juga tak perlu khawatir, perasaan saya sama kamu hanya sesaat saja, dan tidak lebih. Tak usah dipikirkan. Kamu tenang saja. Saya pamit dulu ya, sudah waktunya untuk bekerja….,” pamit Zul bicara begitu tenang tapi menohok perasaan Lea.
Entah mengapa Lea merasa ia seperti ditolak oleh Zul, perasaannya jadi terasa tidak enak. Ia hanya bisa diam dan menahan semua emosinya. Dunia percintaan memang bukan dunia yang bisa Lea menangkan dengan baik, ia selalu kalah dan salah. Lea masih terduduk di kursi foodcourt, menenangkan hatinya yang galau dan kacau. Hanya satu tempatnya untuk bercerita dan menangis dengan bebas. Ia merindukan Alin–sang ibu. Hanya ibunya tempat ia mengadu membuatnya ingin segera pulang.
Di saat Lea tengah duduk termenung mengintropeksi dirinya, Theo tengah berkomunikasi dengan Annie. Rekan kerjanya itu tampak tak sabar menceritakan apa yang ia dengan dari Lea. Mendengar Lea hampir diperlakukan tak senonoh oleh Rendy, membuat Theo mengepalkan tangannya. Ia merasa sangat marah sekaligus pasrah, kali ini ia tak akan melakukan apa-apa. Ia sudah tak ingin ikut campur dengan urusan Lea. Ia sudah berjanji tak akan mengganggu kehidupan perempuan itu lagi.
“Syukurlah kalau dia tidak apa-apa,” ucap Theo perlahan pada Annie.
“Saat ini ia masih di foodcourt bersama pak Zul, semoga pak Zul bisa mengerti dan tak tersinggung dengan sikap Lea.”
Theo hanya diam dan mengusap keningnya perlahan.
“Kamu masih sakit?” tanya Annie ketika mendengar Theo hanya diam.
“Iya, tubuhku masih demam,” jawab Theo pelan.
“Tumben kamu gampang sakit sampai demam, sepertinya kamu harus segera memeriksakan kakimu lagi jika rasa sakitnya bisa sampai membuat kamu demam tinggi.”
Theo hanya mengiyakan sambil menatap keluar jendela. Kemarin malam ia bertahan menahan hembusan angin kencang dan cukup dingin karena berharap Lea membukakan pintu untuknya, mengingat Lea yang pergi diam-diam sangat membuat Theo kecewa dan sedih. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia kecewa sedalam ini.
Hari itu Lea pulang lebih malam dari pada waktu kerja biasanya. Ia sengaja menghabiskan waktu di kantor untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Sibuk bekerja membuatnya teralihkan dengan masalah yang ada. Selain itu ia juga ingin menghindari Rendy yang sedari tadi menanyakan dirinya ke resepsionis kantor.
Sesampainya dirumah Lea berdiri didepan pintu kamarnya sebelum membuka pintu, menatap kearah jendela kamar Theo yang terlihat gelap. Walah hampir setiap hari mereka bertengkar, tetapi setiap hari Lea bertemu dengan atasannya itu. Hari ini terasa berbeda, tanpa kehadiran Theo yang galak di kantor, suasana kantor terasa sepi. Mungkin itu yang dirasakan rekan kerjanya yang tak peduli jika dimarahi oleh Theo, karena tanpa kehadiran Theo mereka merasa sepi. Ingin rasanya Lea menghampiri Theo yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri, tapi ia tak berani. Kemarin ucapannya sudah terlalu kejam kepada atasan yang sebenarnya sangat perhatian padanya.
Setelah puas menatap kamar Theo lama, perlahan Lea membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa menyadari bahwa di dalam gelap Theo pun tengah menatap dirinya yang memandang kearah kamar. Mereka seolah saling pandang satu sama lain tanpa Lea sadari. Theo yang bisa berdiri mematung mencoba mengurai perasaannya yang tak menentu saat melihat Lea. Perempuan itu berhasil mengacak-acak perasaannya.