Si Janda Kembang
“Baru masuk enam bulan sudah 18 kali datang terlambat?!” Mendengar ucapan pria dihadapannya tampak terkejut, Lea hanya bisa menundukan kepalanya dalam. Entah mimpi buruk apa ia tadi malam, sehingga pagi ini ia langsung kena semprot sang GM kantornya yang baru saja kembali berkerja dan baru bertemu pertama kali sejak Lea masuk perusahaan ini.
Pria berkulit bersih dengan kacamata bundar berdesain classic itu menatap report absensi yang muncul di dalam laptopnya.
“Tapi sejak Lea masuk, performa salesnya bagus pak …. Dalam waktu 6 bulan dia sudah achive untuk targetnya sendiri selama. ..”
“Saya gak peduli itu! Hanya karena dia bisa jualan dan menghasilkan lalu ketidakdisiplinannya menjadi di tolerir!”
Annie sang manager yang mencoba membela Lea hanya bisa terdiam ketika Theo segera memotong ucapannya.
“Saya akan kasih dia Sp satu! Dan saya harap kamu bisa mencari cara apapun agar kamu bisa datang tepat waktu. Toh sebenarnya sebagai marketing and sales, kalian semua telah diberikan kelonggaran dengan tak perlu kembali ke kantor jika meeting diluar dan mendekati waktu pulang. Saya hanya minta datang on time! Agar setiap pagi kita bisa koordinasi dengan cepat dan tak saling menunggu!”
Mendengar akan menerima surat teguran pertamanya, Lea hanya bisa melirik ke arah sang manager –Annie yang tampak mengangguk setuju atas permintaan sang GM.
Tak lama kemudian, Lea dan Annie pun keluar dari ruangan yang menakutkan untuk Lea. Perempuan cantik itu tampak menghela nafas lega dan segera melemparkan tubuhnya untuk duduk di kursi kerjanya di depan cubicle dan melepaskan high heelsnya cepat.
“Gimana rasanya ketemu pak Theo pertama kali? Ganteng tapi kaya setan kan?” ucap Fitria teman satu team Lea yang langsung menggeser kursinya ke samping Lea. Melihat Fitria yang menempel seperti lem ke tubuhnya membuat Lea terkejut, ternyata tak hanya Fitria yang menempel padanya tapi juga Roland, Egi dan Juwana –senior-seniornya.
“Ihhhh, apaan sih kalian! Gue baru kena marah iniiii… pada ngumpul dan kepo disini bisa dapet SP 8 gue nanti!” pekik Lea dengan suara tertahan dan segera mengusir teman-temannya.
“Ck! Tenang aja, pak Theo itu kalau marah sehari sekali doang kok, abis itu gak akan kena marah lagi, soalnya sekali marah, loe udah mau mati rasanya!” celetuk Egi sambil menyambar cemilan dalam toples milik Lea.
“Haduh, kayanya gue gak akan lama-lama disini ah, gak suka sama bos-bos yang galak-galak nyebelin gitu. Belagu banget baru GM perusahaan kecil juga!” gerutu Lea.
“Hahahahaha, loe belum ngerasain kepatil sama kekuatan uang pak Theo sihhh … jadi belum apa-apa ngerasa gak betah!”
“Akh, gak peduli! Gak suka gue sama bos kaya gitu! Kalian b***k uang! Dikasih duit langsung mingkem walau diinjak-injak!”
“Ihh, siapa bilang! Pak Theo emang galak, tapi gak pelit! Dia juga gak suka yang namanya lembur, jadi gak ada tuh yang namanya pulang malam sampai dini hari kalau gak kepepeeet banget!”
“Enam bulan sekali suka bikin outing untuk karyawan per divisi, biar pada fresh dan di refresh!”
“Dan buat kita tim sales, si pencari uang di kantor ini, pak Theo orang yang paling gak segan untuk bukain pintu ke client-client yang sulit dan fleksibel banget juga solutif untuk client-client yang rewel. Udah ngerasain, kan? Komisinya….”
Ucapan teman-temannya yang silih berganti bersahutan membuat Lea sedikit bingung, mereka tampak tenang dan santai menghadapi Theo.
“Yang kamu perlukan untuk bertahan adalah omongan pak Theo jangan dimasukin ke hati … dengar ucapannya yang pedasnya jangan pake perasaan. Walau galak begitu pak Theo gak pernah menghina atau berkata yang berlebihan. Dia hanya saklek dan jleb aja… tapi ucapannya benar dan to the point sama masalah.”
“Loe sih, udah gede juga masih suka telat kalau ngantor!” tegur Juwana pada Lea.
“Rumah aku jauuuh, pak Ju!”
“Bukannya rumah kamu di jakarta selatan ya?”
“Bukan pak … rumah saya di selatan Jakarta… mungkin kalau kesini sebenarnya gak terlalu jauh-jauh amat, tapi macetnya kaya neraka!”
“Kamu harus segera mempertimbangkan untuk kost, neng!” ucapan Annie segera membubarkan kerumunan di meja Lea.
“Aku gak bisa belain kamu tadi, karena kamu memang sering sekali terlambat. Kamu harus cari solusi, kalau rumah kamu jauh dan macet, kamu harus kost!”
Mendengar ucapan Annie, Lea hanya bisa diam. Kost? Hal itu begitu diidamkan oleh Lea selama belakangan ini. Sejak perceraiannya dengan Max sembilan bulan yang lalu, Lea terpaksa kembali kerumah orang tuanya. Menjadi janda hanya membuat rumah orang tua Lea seolah menjadi rumah perkumpulan para janda dimana ibunya juga sudah menjadi janda sejak sang ayah meninggal dan kakak semata wayangnya Amelia juga sudah menjanda karena bercerai dengan suaminya tiga tahun yang lalu. Tak banyak yang tahu bahwa Lea sudah bercerai dengan Max. Lea sengaja menyembunyikan hal itu dari banyak kerabat karena tak ingin dicemooh.
Bagaimana mungkin baru setahun menikah, ia sudah bercerai lagi dengan suaminya. Apalagi sebelumnya banyak yang melarang Lea untuk menikah dengan Max karena tahu cintanya Max bukan pada Lea tapi pada wanita lain.
Hanya saja cintanya pada Max membuat Lea gelap mata dan memaksa untuk tetap menikah dengan Max saat pria itu memintanya walau Lea tahu bahwa sebenarnya Max tak cinta padanya. Harapan dan keyakinan Lea begitu tinggi bahwa setelah menikah lagi Max pasti akan jatuh cinta padanya seperti cerita-cerita n****+ yang ia baca dan drama-drama yang ia tonton.
Alhasil, setelah setahun pernikahan yang dingin Max ingin menceraikan Lea dan memilih dengan kekasih hatinya. Di usia tepat ke 26, Lea resmi menjadi janda kembang, cantik tapi tersia-siakan. Melihat hal itu, Alin–sang ibu menyuruh Lea untuk kembali kerumah. Nge kost adalah hal yang paling tidak diperbolehkan Alin kepada anak-anaknya.
“Ibu larang kalian nge kost karena kalian itu, Janda! Apalagi kamu, Lea! Kamu masih sangat muda dan cantik! Ibu gak rela kalau nanti anak-anak ibu kena fitnah karena status kalian! Pokoknya apapun yang terjadi kalian harus tinggal sama ibu!”
Lea hanya menghela nafas perlahan sambil menutup kedua matanya sesaat. Bekerja adalah salah satu caranya untuk bisa mengumpulkan jiwanya yang hancur berantakan karena kesedihan akibat perceraian. Ia merasa bersyukur, tak lama setelah bercerai ia masih diberikan pekerjaan sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan sang ibu. Lea segera mengumpulkan moodnya untuk kembali bekerja. Kesendiriannya sekarang adalah motivasi besar untuknya agar bisa survive, karena tak akan ada lagi suami yang memberikannya nafkah. Ia harus bisa berdiri dikakinya sendiri.
Tak jauh dari ruangan Lea, tak ada yang menyadari bahwa ada seseorang yang mengawasi mereka semua melalui cctv. Kali ini cctv itu mengarah kearah Lea yang tengah sibuk menggulung rambutnya sebelum akhirnya sibuk didepan laptop. Di balik kacamatanya, Theo menatap Lea dalam dan kembali menatap berkas yang diberikan HRD tentang biodata Lea. Ada senyuman tipis dan gelengan kepala perlahan dari kepala Theo ketika melihatnya. Kecurigaannya benar adanya dan tak menyangka bahwa ia akhirnya bertemu dengan perempuan itu.
Bersambung.