Tepat pukul satu pagi, acara reuni kecil itu pun berakhir. Theo mencoba merebahkan diri sesaat di sofa di ruang keluarga untuk melepas lelah karena menjadi tuan rumah. Walau begitu hatinya terasa sangat senang, ia merasa bahagia bisa melampiaskan rasa rindu bertemu teman-temannya yang seru dan menyenangkan. Tamu terakhirnya tadi adalah Annie dan Pras. Annie masih penasaran mengapa Theo bisa seintim itu dengan Lea, padahal di kantor mereka seperti anjing dan kucing.
“Aku tahu Lea memang nge kost disini, tapi sikapmu sampai tak ingin orang-orang melihat wajah Lea dan tak mau mengenalkannya pada teman-temanmu itu aneh!” Perkataan Annie yang minta penjelasan pada Theo membuat Theo harus berpikir sejenak karena ia pun tak ingin memberitahu pada Annie bahwa Lea adalah mantan istri Max yang juga sepupunya. Ia tengah tak ingin meladeni dan menjawab mengapa begini dan begitu antara dirinya, Max dan juga Lea.
“Alasan aku tak bisa mengenalkan Lea pada teman-teman kita tak bisa aku jelaskan sekarang, aku harap kamu mengerti.”
“Nggak, aku gak mau ngerti karena memang aku tak bisa mengerti! Yang saat ini aku tangkap adalah kamu sudah punya perasaan sama Lea! Itu saja! Sikap posesif kamu hampir sama saat kamu menikah dengan Fara dulu, gak perlu alasan lain! Pantas saja kamu semarah itu ketika tahu Lea berhubungan dengan Rendy, cemburu ni ye… pake sok-sok an bilang gak mau ikut campur urusan Lea lagi … lah itu dipeluk erat-erat kaya mau diremes!” ejek Annie.
“Aku mau dong say, dipeluk, diremes sama kamu…” Pras segera menggoda istrinya – Annie ketika terlihat hendak menyudutkan Theo. Annie yang digoda begitu oleh suaminya segera teralihkan,
“Nanti dirumah ya sayaaannnggg…” ucap Annie sambil mencubit pipi suaminya gemas.
“Kalau sudah masuk kerja lagi, gak perlu marah berlebihan sama Lea kalau dia buat kesalahan minor!”
“Akh, besok- besok aku kapok punya rekan kerja yang satu sekolahan atau satu lingkungan apapun!” keluh Theo yang merasa tersudutkan oleh ucapan Annie, tetapi ia pun tak bisa menjelaskan apapun.
“Payah!” ucap Annie sambil tertawa menang lalu segera berdiri dan berpamitan untuk pulang.
Theo tersadar dari lamunannya dan menolehkan wajah ketika ia mendengar pintu belakang rumah yang juga menyatu dengan dapur terbuka.
Sudah tak ada siapa-siapa lagi di dalam rumah, karena bu Imah dan Sari sudah kembali ke kamar masing-masing setelah para pegawai catering pergi. Theo berjalan perlahan dan melihat Lea masuk mengenakan piyama dan membawa tumbler ditangannya.
“Mau minta air … air galon di kamarku sudah habis….” ucap Lea terlihat gugup karena kepergok mengendap-endap masuk. Theo menganggukan kepalanya perlahan.
Sebenarnya itu hanya alasan Lea saja. Suasana ramai dirumah Theo, membuatnya tak bisa tidur. Bukan karena terganggu karena suara gelak tawa yang begitu berisik, entah mengapa ia menjadi merasa segar dan ikut ceria walau ia tak tahu apa yang membuatnya bahagia. Ia menunggu sampai semua orang pulang dan berniat untuk menemui Theo malam itu juga untuk meminta maaf. Lea tak mau menunggu sampai pagi karena takut Theo berubah pikiran mengingat sikapnya yang lembut tadi.
“Kamu sudah makan? Kalau belum, masih banyak makanan sisa acara reuni tadi…” ucap Theo membuka pembicaraan ketika Lea tengah menampung air dalam tumbler. Pria itu menggerakan lehernya kekanan dan kekiri menandakan tubuhnya terasa lelah dan membuka satu kancing kemejanya agar ia lebih santai.
“Mas…” panggil Lea cepat ketika Theo tampak hendak berjalan meninggalkannya.
“Kalau kamu belum mengantuk, ayo temani aku ngobrol di ruang tengah,” ajak Theo santai sambil mengajak Lea ke dalam menggunakan dagunya. Lea mengangguk cepat dan segera menyusul theo setelah tumblrnya penuh terisi.
Theo tengah selonjoran untuk mengistirahatkan kakinya yang penat diatas sofa yang berbentuk Letter L sambil bersandar pada beberapa cushion yang ia tumpuk. Tangannya sibuk mengganti acara tivi online. Melihat Lea datang, ia berusaha duduk walau wajahnya terlihat sangat lelah.
Melihat ada tabung obat kaki milik Theo, Lea segera bergegas menghampiri dan menawarkan diri untuk membantu menyemprotkan obat itu di kaki Theo.
“Sudah disemprot mas kakinya? Kalau belum sini, aku bantu!” ucap Lea cepat. Theo hanya menggelengkan kepalanya dan Lea pun bergegas untuk mengambil baskom kecil, diisi air hangat lalu mencelupkan handuk kecil sebelum ia peras dan ia gunakan untuk membersihkan kaki Theo.
Theo hanya diam dan hampir tertidur karena sentuhan Lea yang lembut seolah menina bobo kan dirinya.
“Sebelumnya aku mau minta maaf sama mas Theo … andai saja aku mau mendengar apa yang mas Theo ingin utarakan, mungkin aku bisa lebih cepat untuk tidak berhubungan dengan Rendy,” ucap Lea sambil memijat kaki Theo walau tak disuruh.
Theo masih diam, di dalam benaknya ia jadi teringat cerita Annie bahwa Lea hampir dilecehkan oleh Rendy.
“Kamu baik-baik saja, kah?” tanya Theo perlahan dan menatap Lea dalam.
“Aku baik-baik saja. Terus terang aku sempat tergoda dan mulai jatuh hati pada Rendy. Untung saja hal itu tak lama… semakin cepat aku mengetahui sifat aslinya, semakin baik dan semakin aku terlindungi dari upaya buruknya.”
Theo hanya diam mendengar penjelasan Lea. Melihat Theo hanya diam, perasaan Lea menjadi menciut.
“Mas Theo masih marah ya?” tanya Lea sedih. Theo hanya menghela nafas panjang seraya berkata,
“Aku gak marah sama kamu… aku malah nunggu kamu minta maaf lebih panjang dari pada kalimatmu yang tadi …”
“Ihhh, mas Theo keterlaluan!” keluh Lea sebal sambil menepuk kak Theo yang lemah.
“Haduh! Sakit Lea!” keluh Theo ketika merasa pedas di kakinya akibat ditampar Lea.
“Maaf …”
“Lebih baik sekarang kamu pijat punggungku, nanti aku maafkan …” Theo segera membalikan tubuhnya seperti posisi orang ingin dipijat.
“Ih apaan sih, mas! Aku gak biasa pegang-pegang tubuh orang! Apalagi laki-laki!”
“Tapi kamu sudah pernah memegang hampir seluruh tubuhku, apa kamu lupa kalau tadi kita berpelukan erat? Pijat!”
Semburat kemerahan terlihat diwajah Lea, ia jadi teringat pelukan hangat Theo saat dihampiri oleh hampir seluruh temannya. Saking dekatnya, aroma parfum Theo sampai menempel di kulit Lea dan baru disadari ketika ia hendak mandi.
“Aku tuh bikin kamu malu ya mas, sampai kamu gak ingin mengenalkan aku sama teman-teman kamu?” tanya Lea sedikit merajuk sambil mulai memijat punggung Theo.
“Gak usah minder berlebihan, kamu tahu alasan aku tak mengenalkan kamu sama teman-temanku. Mereka semua pria nakal. Aku sengaja bilang kamu kekasihku biar tak mereka ganggu. Dengan wajah cantik yang kamu punya dan status janda single begitu, sudah pasti jadi makanan empuk untuk mereka.”
Lea tersenyum tersipu ketika mendengar pujian dari Theo yang hampir tertidur karena merasa pijatan Lea seperti mengusapnya. Melihat Theo menutup mata dan mulai mendengkur halus, Lea menghentikan pijatannya. Perlahan ia berdiri tetapi tangannya seolah ditahan oleh seseorang. Theo.
“Tolong pijat aku sampai sebentar lagi…”
“Tapi mas Theo udah ngantuk begitu…”
“Temani aku sebentar lagi … kepalaku … kepalaku juga perlu dipijat…”
Lea hanya bisa menatap bingung atasannya yang terus berkata sambil tetap memejamkan matanya. Ia seperti bayi kecil yang minta ditenangkan sebelum tidur dengan sentuhan.
“Mas Theo seperti keponakan aku aja, selalu minta diusap-usap sebelum tidur…” gumam Lea sambil berpindah duduk.
Sofa empuk yang berbentuk huruf L itu memudahkan Lea untuk duduk selonjoran sambil bersandar dan menatap tivi, sedangkan Theo berada di sisi yang lain. Perlahan Lea memindahkan kepala Theo keatas pangkuannya dan memijatnya perlahan.
“Sebentar aja ya… aku juga mulai ngantuk…” bisik Lea.
“Hmmm…”
Ternyata Lea pun sudah sangat mengantuk, ia memutuskan untuk tidur sambil memangku kepala Theo karena tak ingin Theo terbangun. Wajah Theo yang tertidur pulas, membuat Lea gemas dan tak ingin membangunkannya.
Azan shubuh membangunkan Theo perlahan, ia merasa bantalnya kali ini sangat keras dan terkejut saat membuka mata kepalanya masih berada dipangkuan Lea.Perlahan ia bangun dan menatap Lea yang tidur dengan kepala terjatuh kesamping dengan mulut yang sedikit terbuka. Ada senyuman yang tersungging dibibir Theo dan ia kembali pura-pura tidur ketika Lea juga mulai terbangun karena suara Azan subuh yang begitu keras.
Dengan rasa pegal di sekujur tubuh Lea perlahan memindahkan kepala Theo dan mulai bangkit dari duduknya. Ia mengambil selimut tipis yang terlipat ditangan sofa dan menutupi tubuh Theo dengan selimut itu. Lea tak menyadari bahwa Theo sudah bangun dan menikmati sentuhan Lea yang mengusap rambutnya perlahan sebelum perempuan itu kembali ke kamarnya.
Kebersamaannya bersama Lea tiga bulan ini membuat Theo merasa perasaannya hangat. Mungkin itu yang membuatnya tak mampu menjelaskan pada siapapun, bahwa Lea adalah mantan istri sepupunya. Ia hanya merahasiakan Lea dari semua orang sehingga mereka berdua bisa menjadi diri mereka sendiri tanpa rasa sungkan.
Bersambung