Tawaran yang tak terduga

1697 Words
Tawaran yang tak terduga Theo berjalan tertatih-tatih berkeliling cubicle anak buahnya untuk menyapa sekalian sidak. Jumat menjelang sore seperti biasanya hampir semua anak buahnya berada di kantor untuk menyelesaikan urusan administrasi setelah satu minggu wara-wiri kesana kemari. Walau pura-pura tak melihat, tapi Theo tahu wajah karyawannya beberapa waktu ini tampak lebih segan padanya. Itu semua gara-gara kejadian Lea yang menangis histeris di ruangannya dan membuat rumor kini Theo makin kejam dan makin disiplin. Sejak saat itu tak ada lagi yang terlambat, suasana kantor jadi lebih fokus, karena semua orang jadi sibuk bekerja dan mencoba menyelesaikan pekerjaannya secepat dan sebaik mungkin. Hanya satu orang yang masih terus melakukan kesalahannya terus menerus. Lea. Walau keterlambatannya tak separah waktu sebelumnya tetapi ia masih sering terlambat beberapa menit dari waktu yang ditentukan. Tapi kali ini Theo hanya bisa pura-pura tidak tahu karena tak ingin membuat karyawannya semakin tegang. Perempuan itu pun tampak lebih pendiam, Lea terlihat menyibukan diri dengan pekerjaannya dan masih terlihat pulang lebih lambat dari yang lainnya, entah untuk menutupi kekurangannya yang selalu datang terlambat. “Annie, tolong keruangan saya,” pinta Theo ketika melintasi meja salah satu managernya itu. Mendengar nama atasannya dipanggil, seluruh tim tampak saling lirik satu sama lain, seolah menunggu kabar kesalahan siapa lagi yang diungkap Theo. Annie pun segera mengikuti langkah Theo dari belakang menuju ruang kerjanya. Perlahan Theo duduk di kursinya dan tampak lega ketika bisa meluruskan sebelah kakinya yang pincang. “Bagaimana kondisi kakimu? Sepertinya tak semakin membaik, apa kata dokter di eropa itu kakimu tak bisa pulih seperti semula?” tanya Annie dengan wajah santai dan menghempaskan tubuhnya di sofa saat melihat teman kuliah yang kini menjadi atasannya itu duduk perlahan di kursi kerja. Sikap mereka akan menjadi informal ketika tidak ada siapa-siapa disekitar mereka untuk menjaga profesionalisme, bahkan Annie pun tak pernah cerita bahwa mereka sama-sama satu kampus saat kuliah dulu. “Tampaknya kalau aku diamputasi, baru bisa berjalan normal dengan kaki palsu.” “Bercanda tuh gak boleh gitu…” “Akh, sudahlah … mungkin memang nasibku harus menjadi pria pincang seumur hidupku. Aku memanggilmu kemari untuk menyampaikan sesuatu. Tolong berikan alamat ini pada Lea.” Annie bangkit dari duduknya dan berpindah duduk didepan meja Theo. “Alamat siapa ini? Loh bukannya ini…” “Bujuk dia untuk kost, alamat itu akan memberikannya harga kost murah dengan fasilitas lengkap. Lokasinya pun tak jauh, hanya 15 menit dari kantor ini. Aku juga tak bisa menegur dia terus menerus soal keterlambatannya, tapi jika dibiarkan nanti malah jadi omongan.” “Tapi hasil pekerjaan dia cukup baik, Lea selalu berusaha mengerjakan dan menghasilkan billing agar targetnya achive.” “Aku tahu, tapi ada beberapa rules dasar yang tak bisa diubah dan akan tampak tak adil untuk semua orang jika aku memberikan kelonggaran padanya, masih banyak orang yang tempat tinggalnya lebih jauh dari Lea dan mereka berhasil datang tepat waktu. Aku tahu kamu pasti bisa bicara dan membujuknya untuk itu. Usahakan ia mendatangi alamat itu dulu sebelum ia memilih tempat kost yang lain.” Annie hanya diam dan menatap secarik kertas berisi alamat dan no telepon itu lalu bergantian menatap Theo. “Kamu terlihat berbeda, sejak bertemu Lea ada yang berubah dari temanku yang menyebalkan ini!” “Ck! Kerjakan saja tugasmu! Gak usah ikutan kebiasaan orang-orang yang suka ingin tahu urusan orang lain! Ohya, ini … berikan oleh-oleh ini buat Kenzou dan Pras. Terakhir bertemu, Pras minta barang itu padaku,” ucap Theo sambil mengeluarkan sebuah paper bag dari dalam laci bawah mejanya dan memberikannya pada Annie. “Sudah sana, keluar.” Mendengar dirinya diusir setelah menerima oleh-oleh membuat Annie tersenyum dan bergegas keluar dari ruangan. Theo memang selalu begitu, tampak ketus dan menyebalkan walau sebenarnya ia perhatian. *** Lea menatap alamat yang diberikan Annie sesaat lalu kembali menatap pintu gerbang kayu yang besar dan tebal itu. “Yakin ini rumah kost-annya? Kok gak kaya kost-kost-an? Ini sih rumah mewah, dek’,” bisik Amelia disertai anggukan Alin–sang ibu yang tampak tak yakin dengan alamat yang mereka tuju. Kemarin sore setelah pulang kerja, Annie sengaja untuk mengajaknya mampir di sebuah coffee shop dan memberikan saran padanya untuk memikirkan untuk nge-kost. “Walau performa pekerjaan kamu bagus, tetapi hal yang seperti ini bisa jadi hal sensitif untuk hrd memperpanjang kontrak mu, apalagi pak Theo sudah pernah memberikan Sp 1 hanya untuk urusan keterlambatan. Sebentar lagi waktu perpanjangan kontrak kamu akan di review, lebih baik kamu menjaga agar nilaimu tetap baik sampai kontrak kerja diperpanjang. Nanti setelah dua tahun baru kamu bisa jadi karyawan tetap.” Mendengar hal itu Lea hanya bisa diam dan menundukan kepalanya. “Apa lebih baik aku resign aja ya mbak? Aku rasanya khawatir, andai sudah nge kost pun, pak Theo akan terus mencari kesalahanku.” “Ck! Jangan suka bikin keputusan sepihak tanpa berpikir panjang! Kamu juga harus adil, apa pernah pak Theo menegur kamu selain urusan keterlambatan ini? Andai pernah, coba kamu pikir urusan apa? Dan pikirkan lagi, itu benar-benar kesalahan kamu atau pak Theo yang cari-cari kesalahan? Selama aku bekerja dengan pak Theo, ia gak pernah menegurku diluar hal yang kesalahanku sendiri dan dia selalu bantu cari solusi!” Lea lagi-lagi diam mencoba berpikir secara jernih. Tak memiliki banyak pengalaman dalam soal pekerjaan membuat Lea merasa banyak hal baru yang harus ia pelajari termasuk interaksi dengan sesama rekan kerja dan melatih dirinya agar tidak banyak berpersepsi. “Mbak punya kenalan yang kebetulan punya ruangan di rumahnya yang ingin disewakan. Dia pun tak menyewakan dengan harga mahal yang penting tempatnya terisi jadi bisa terurus. Sebelum cari tempat kost yang lain, tolong kamu mampir dulu kesini. Mbak harap kamu mau mampir dulu sambil mempertimbangkan semuanya.” Dan kini Lea pun sudah berdiri bersama ibu dan kakak semata wayangnya untuk melihat tempat yang direkomendasikan Annie. Bahkan Lea sudah menelepon nomor yang ada di kertas dan berjanji hari ini untuk bertemu. “Bener kok, bu. Lea juga udah telepon dengan yang punya rumah, namanya mbak Selly. Sudah kita pencet saja bell nya!” Lea pun segera bergegas mendekati gerbang dan menekan Bel. Tak lama gerbang besar itu pun terbuka dan seorang wanita yang ternyata asisten rumah tangga mempersilahkan Lea dan keluarganya masuk ketika Lea memberitahu tentang niat kedatangannya. “Silahkan menunggu disini mbak, biar saya beritahu mbak Selly kalau tamunya sudah datang,” ucap sang asisten rumah tangga menyuruh Lea dan keluarganya menunggu di teras depan. “Wih, teras depannya aja sebagus ini … yang punya sepertinya old money ya bu?” bisik Amelia pada sang ibu. “Kamu yakin dia menyewakan tempat hanya seharga 1,5 juta dek?” tanya sang ibu tak yakin dengan harga yang ditawarkan dan tempatnya tampak tak sesuai. “Benar bu, tapi harus bayar di awal untuk 6 bulan, karena mbak Selly gak mau banyak keluar masuk orang yang menempati. Lebih baik kita lihat tempatnya dulu aja, kalau ternyata bekas gudang aku juga gak mau walau dibayar murah,” ucap Lea mencoba menenangkan sang ibu. “Aku mau!” celetuk Amelia cepat. “Biar mbak aja yang nge kost disini, gimana? Atau kita nge kost berdua?” “Enak aja kamu! Kalau kamu nge kost, gimana anak-anak kamu?! Dengan kamu bekerja seharian saja, mereka sudah sulit untuk bertemu, apalagi kalau nge kost bareng Lea, bisa-bisa mereka lupa kalau mereka punya ibu yang namanya Amelia!” Omelan Alin terhenti ketika seseorang datang dari arah samping rumah. Rumah besar bergaya lama itu memiliki jalan samping yang panjang dan lebar untuk ke halaman belakang dan biasanya lorong itu digunakan untuk parkir mobil. “Haloo, ini mbak Lea ya?! Perkenalkan saya Selly .. ini dengan ibu dan kakaknya mbak Lea?! Ya ampun satu keluarga cantik-cantik semua! Apalagi ibu! Seperti adik kakak sama anak-anaknya!” sapaan ramah dan riang perempuan yang bernama Selly itu membuat Alin tersipu-sipu. “Yuk kita lihat ruangannya, lewat jalan samping saja yaa… lebih cepat dari pada masuk ke dalam rumah utama.” Ibu dan kedua anak perempuannya itu pun berjalan beriringan mengikuti langkah Selly dan melihat halaman belakang rumah besar itu. Ada sebuah taman asri yang cukup besar dan ada dua bangunan di antara taman itu. Satu rumah besar yang merupakan rumah utama, satu lagi tampak seperti rumah kecil dan bangunannya tampak masih baru. “Jadi rumah kecil ini awalnya dibuat untuk rumah tamu. Bangunannya masih baru … mungkin usianya baru tiga tahunan. Hanya saat ini sang pemilik rumah dan anaknya sudah jarang menerima tamu, sedangkan fasilitas di dalam rumah tamu ini sangat lengkap. Kalau dibiarkan kosong takutnya jadi rusak dan tak terurus. Jadi mereka minta saya untuk mencarikan penyewa. Permintaannya inginnya perempuan kantoran yang bisa apik saja. Mari masuk…” ajak Selly sambil membuka pintu rumah kecil itu. Lea, Alin dan Amelia langsung merasa senang melihatnya. Rumah tamu itu seperti kamar hotel bintang 5, dengan furniture lengkap yang mahal, kamar mandi yang estetik juga ruang tamu dan dapur kecil yang lengkap dengan wastafel dan raknya. “Rumah ini bukan rumah bekas pembunuhan dan lainnya kan mbak?” Pertanyaan Amelia membuat Lea tersedak. “Mbak, ah!” “Loh, aku wajib nanya karena ini terlalu bagus untuk harga kost bulanan segitu…” “Hahahah, nggak kok mbak, rumah ini bukan bekas pembunuhan atau apapun. Yang tinggal hanya dua orang, sang pemilik dan anaknya satu orang. Asisten rumah tangganya ada 3, 2 wanita untuk juru masak dan membersihkan rumah dan satu supir. Sang pemilik juga saat ini jarang berada ditempat karena urusan pekerjaan.” “Kamu mau tinggal disini, dek?” tanya Alin tiba-tiba pada Lea. “Bagus yaa bu tempatnya … kalau kata ibu boleh, Lea mau bu … disini semua sudah lengkap dan ke kantor 15 menit, apalagi kalau naik ojol, bisa lebih cepat. Rumah ini lokasinya di belakang perkantoran dimana Lea kerja. Lea butuh diperpanjang kontrak dulu bu, sampai dapat pekerjaan lain yang lebih dekat dari rumah kita. Tolong ijinin Lea.” Perempuan itu langsung tampak jatuh cinta dengan rumah kost-annya. Tentu saja ia sangat mau tinggal ditempat seperti ini. Sepulang kerja tak pergi kemana pun rasanya akan betah. Alin hanya bisa menghela nafas panjang dan menatap putri bungsunya dalam. “Tapi sabtu minggu kamu harus pulang ya, dek … nanti ibu kangen banget sama kamu …” Mendengar ucapan sang ibu, Lea pun melonjak dan segera memeluk ibunya dengan perasaan senang. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD