Sang pemilik rumah yang menyebalkan

1635 Words
Lea segera menaruh mangkuk baksonya di meja kecil di teras depan dan menatap Theo yang berdiri kaku menatapnya dalam. “Bapak kok bisa kenal sama bu Minah? Bapak lagi apa disini?!” tanya Lea takut sekaligus penasaran. Theo hanya bisa menghela nafas panjang dan menatap perempuan yang mengenakan celana batik belel dan kaos yang lehernya tampak melar. Rambut Lea tampak digulung ke atas seolah memamerkan lehernya yang jenjang. “Pak, saya gak jadi berangkat … tolong masukan barang-barang saya lagi ke dalam, dan kamu Lea, masuk!” suruh Theo cepat dengan menyuruh Lea mengikuti langkahnya memasuki rumah utama dari teras depan. Di suruh masuk dengan suara tegas, membuat Lea spontan mengikuti langkah Theo yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat ke dalam rumah utama. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke dalam rumah besar itu. Ia sempat berdecak kagum ketika masuk karena aroma buah bercampur rempah terasa memanjakan penciumannya, terasa sangat segar. “Wangi banget,” gumam Lea spontan. Mereka pun berjalan melewati ruang tamu, ruang tengah yang juga bersebelahan dengan ruang makan dan dapur bersih menuju sebuah pintu kamar yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Perlahan Theo membukakan pintu untuk Lea. “Ayo masuk,” suruh Theo sambil menahan pintu agar tetap terbuka. “Nggak ah, masa kita bicara di dalam kamar?!” tolak Lea spontan sambil menutup kedua dadanya dengan tangan. “Ini bukan kamar tidur, lihat dong … ini kamar kerja!” Mendengar suara Theo yang dingin membuat Lea menurunkan kedua tangannya perlahan dan masuk ke dalam ruangan itu. “Kita bicara disini saja, biar lebih private,” ucap Theo mengikuti langkah Lea dan segera menutup pintu. “Selamat datang di rumah kami, Lea.” Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Theo seolah menyadarkan Lea akan pertanyaan awal. “Oh iya! Bapak ngapain disini?” “Loh bukannya tadi saya sudah bilang selamat datang ya? Seharusnya kamu tahu dong maksud aku itu apa.” “Nggak!” “Ck! Ini rumahku Lea…” “Bohong!” “Kalau bohong ngapain aku berada disini dan bisa keluar masuk mengajakmu sampai ruangan ini?!” “Tapi seharusnya pemilik rumah ini perempuan pak, ibu dan anaknya perempuan!” “Memangnya Selly bilang begitu?!” Ditanya seperti itu membuat Lea kembali mengingat percakapannya dengan Selly dua minggu yang lalu. Perempuan itu memang tak pernah menyebutkan jika pemilik rumah itu perempuan atau laki- laki. “Nggak sih…” “Kamu tuh kebiasaan! Selalu berpersepsi! Hal yang seperti ini yang seharusnya kamu explore dan kamu ingat dalam diri kamu, harus lebih detail…” “Bapak, hari ini aku lagi gak ngantor, aku gak mau diceramahin soal kerjaan!” “Aku gak ceramahin soal kerjaan. …” “Kembalikan uang aku!” “Uang?” “Iya, uang deposit aku sampai 6 bulan ke depan! Bapak keterlaluan, ah! Aku mau pulang aja!” “Gak bisa!” “Loh kenapa?” “Uangnya sudah habis!” Mendengar alasan Theo yang tak masuk akal membuat Lea spontan memukul lengan atasannya. Sayangnya saat itu Theo yang tengah berdiri tak seimbang menjadi oleng dan bergerak mundur sebelum akhirnya terjerembab jatuh sendiri. “Bapak!” pekik Lea spontan tapi hanya tetap berdiri bengong melihat Theo yang terjatuh terlentang. Theo hanya bisa mengaduh kesakitan sesaat, karena ia tadi bertumpu pada kakinya yang lemah sehingga kini sebelah kakinya itu terasa sangat nyeri. “Sakit ya pak?!” tanya Lea segera berjongkok panik disisi Theo yang mengerang kesakitan tertahan. “Mana yang sakit pak?!” tanya Lea sambil mengusap seluruh bagian tubuh Theo panik dengan kedua tangannya. “Lea! Stop!” Lea segera menghentikan dan terdiam kaku lalu tersadar dan segera mengangkat kedua tangannya spontan saat salah satu tangan itu berhenti tepat dibawah pusar. “Tolong bantu aku berdiri,” pinta Theo mencoba untuk mendudukan dirinya. Lea segera merangkul tangan Theo untuk bertumpu di pundaknya dan membantu pria itu berdiri. Walau kini Theo cacat, tapi pria itu bertubuh tinggi dan tubuhnya proporsional sehingga membuat Lea sedikit kewalahan karena terasa sangat berat. Kedua orang itu sudah tampak tak peduli ketika mereka jadi harus saling peluk agar bisa membuat Theo kembali berdiri. Terdengar suara terengah-engah dari keduanya, masih dalam rangkulan Lea, Theo pun memintanya untuk mengantarnya ke kamar. “Tolong antar aku ke kamar, aku butuh meluruskan kakiku, rasanya sakit sekali.” Lea segera membantu memapah Theo keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju pintu kamar yang tak jauh dari ruang kerja. Perlahan Theo membuka pintu kamarnya sendiri dan dibantu Lea berjalan ke arah ranjang dan segera membaringkan tubuhnya untuk menenangkan kakinya yang terasa ngilu. “Mau kemana kamu?” tanya Theo sambil berusaha duduk bersandar dan melihat Lea yang terengah-engah berjalan tanpa kata hendak keluar dari kamarnya. “Makan bakso dulu, pak! Kalau nggak nanti keburu dingin!” jawab Lea cepat dan buru-buru keluar dari kamar atasannya. Sedangkan Theo hanya menggelengkan kepalanya perlahan dan meringis menahan sakit di kakinya. Tepat pukul 8 malam, Theo merasa sakitnya sudah reda setelah memberikannya obat anti rasa sakit dan menatap keluar jendela. Dari jendela kamarnya yang besar dan tinggi itu dan ditutupi tirai tipis terlihat rumah kecil di taman belakang tampak terang benderang. Perlahan Theo berjalan keluar dari kamarnya dan mendengar bu Minah juga Sari memberitahu bahwa makan malam untuknya sudah siap. “Sebentar, saya mau ajak Lea makan bersama,” jawab Theo pelan sambil berjalan tertatih-tatih menuju halaman belakang. Perlahan ia mengetuk pintu kamar dimana Lea berada. “Lea, ini aku …” panggil Theo. Tak lama pintu itu pun terbuka dan terlihat Lea sudah berganti pakaian mengenakan kaos dan celana jeans. “Mau kemana kamu?” “Mau pulang pak …,” jawab Lea dengan suara lirih dan menundukan kepalanya dalam. Theo terdiam dan menghembuskan nafas perlahan. “Sebelum kamu pulang, ayo temani saya makan malam dulu sambil saya jelaskan semuanya. Kamu juga butuh penjelasan bukan?” Lea hanya diam lalu perlahan ia mengikuti langkah Theo dengan masuk ke dalam rumah utama melalui pintu belakang menyebrangi taman. “Ayo makan mbak, hari ini ibu lagi bikin sapo tahu seafood dan nasi hainan,” sambut bu Minah ketika melihat Lea itu masuk. Perempuan itu hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. “Duduklah,” suruh Theo. Perlahan Lea mendudukan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan Theo. “Ayo makan,” suruh Theo lagi ketika melihat Lea hanya diam. “Masih kenyang pak.” “Kenyang makan apa?” “Bakso.” Theo hanya diam dan segera mengambil lauk untuk nasinya. Melihat Leo tampak kesulitan, Lea segera berdiri dan membantu mengambilkan lauk untuk atasannya. “Terimakasih.” Lea hanya diam dan kembali duduk. “Pak …” “Ya?” “Saya mau pulang aja… gak jadi kost di rumah ini.” “Tinggalah disini …” “Bagaimana saya bisa tinggal disini pak?! Kalau orang-orang kantor bagaimana?! Pasti akan jadi gosip! Mbak Annie juga kenapa bisa ikut-ikutan begini sih?! Kok dia gak bilang kalau ini rumah bapak?!” “Jangan salahkan Annie, saya yang memintanya dan dia mengerti alasan saya.” “Apa?” “Biar kamu gak telat!” “Saya masih bisa kost ditempat lain! Dan gak akan telat!” “Ohya?! Kamu lakukan gak?! Orang-orang di kantor sekarang jadi segan bicara sama saya gara-gara kamu menangis histeris seperti itu dan setelah itu kamu masih juga sering terlambat. Saya sudah pura- pura tidak tahu karena juga menjaga pandangan orang kenapa tampaknya saya rewel banget sama kamu! Tapi kamu tak tertolong, jadi saya berinisiatif untuk mengontrakan rumah belakang untuk kamu. Gak adil buat yang lain jika kamu terus menerus dibiarkan terlambat tanpa sanksi, tetapi saya juga tak bisa terlalu keras memberikan sanksi lain karena kamu sedang dalam penilaian perpanjangan kontrak. Saya gak mau menutup rezeki orang lain, Lea. Satu-satunya jalan adalah kamu harus bisa hadir tepat waktu.” Mendengar ceramah panjang lebar dari Theo hanya membuat Lea diam dan menundukan kepalanya dalam. “Sudahlah … tinggalah disini selama 6 bulan setelah itu kamu bisa mencari tempat kost lain kalau kamu mau.” “Tapi kalau orang-orang tahu gimana pak?” “Orang-orang siapa?!” “Orang kantor!” “Ya gak akan ada yang tahu kalau kamu gak bilang!” “Bapak akan tinggal disini juga?” “Iyalah! Ini rumah saya! Ayah saya juga kembali minggu depan. Aku tak akan mengganggumu Lea, kamu bisa tinggal nyaman di belakang sana. Tapi satu, jangan bawa siapapun selain keluargamu untuk main tempat ini terutama orang kantor.” “Ibu saya pikir, pemilik rumah ini kedua-duanya perempuan, kalau mereka tahu bahwa keduanya laki-laki pasti saya akan dipanggil pulang.” “Kasih tau saja kapan ibumu akan datang dan saya akan pergi sampai ibumu pergi.” Lagi-lagi Lea hanya diam. Ia masih merasa bingung dan ragu tetapi ucapan Theo ada benarnya. Tak akan ada tempat lain yang bisa memberikan ia tempat kost selengkap dan senyaman ini dengan harga murah. Bahkan sejak tinggal disini, Lea bisa merasakan bahwa ongkosnya hidupnya menjadi lebih ringan dari pada sebelumnya. Lea menatap Theo yang asik makan. Kepalanya jadi merasa pusing saat menyadari bahwa ia tengah berada didalam sebuah rumah bersama orang yang paling ia hindari kalau di kantor. Pria ini ternyata kalau di rumah sangat sederhana, kacamatanya pun ia lepas sehingga Lea bisa melihat wajah utuh yang asli dari Theo. Dengan rambut tanpa pomade, rambutnya yang halus membuat wajah pria ini menjadi lebih muda. Lea merasa jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa atasannya ini ternyata cukup tampan. “Ada apa di wajahku sampai kamu melihatnya seperti itu?” “Cakep! Bapak itu ternyata aslinya cakep!” gumam Lea spontan dan membuat Theo terdiam membisu. Menyadari ucapan spontannya Lea segera memalingkan wajahnya. “Saya pamit untuk kembali ke kamar ya pak…. Sudah malam. Sampai ketemu di kantor.” Theo hanya diam sebelum akhirnya ia tersenyum kecil lalu melanjutkan makan. Perempuan muda itu ternyata lucu dan menyenangkan, ia jadi teringat akan cerita Max, walau ia tak mencintai Lea tetapi ia selalu merasa senang jika bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD