Part 5

1506 Words
Alfin mengendarai mobilnya menuju kantor tempat ia bekerja. Sebuah perusahaan di bidang pengolahan makanan milik ayahnya. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan saat Alfin tiba di kantor. Keberadaan Alfin sebagai direktur pemasaran yang baru membuat banyak karyawati melirik dirinya. Siapa yang tak tertarik kepada pria muda, tampan dan mapan juga rupawan. Tak sedikit yang mencoba menarik perhatiannya. Salah satunya adalah sekretarisnya yang bernama Intan. "Eh Intan, bisa tidak kamu memakai baju yang layak dan sopan? Kamu seperti hendak pergi ke klub malam saja." Alfin memarahi sekretarisnya yang semakin hari berdandan semakin seksi dengan make-up nya yang menor. Pemandangan yang membuat risih siapapun yang berjenis kelamin laki-laki. "Maaf Pak." Intan tersenyum genit. Alfin bukannya senang dengan tingkahnya yang tak tahu malu itu. Ia malah tambah sebal. Gadis itu sangat berani. "Saya minta kamu ganti pakaian segera!" perintah Alfin galak. "Ganti bagaimana, Pak? Saya kan tidak membawa baju ganti," ucapnya dengan nada manja dibuat-buat. Bebar-benar menyebalkan. "Silahkan pulang dulu!" Alfin tidak mau tahu sekretarisnya harus mengubah penampilannya saat ini juga. Alfin heran mengapa banyak pria berpenampilan seksi untuk tampil menarik. Tiba-tiba ia teringat Mutiara, gadis itu sudah menarik walaupun tanpa make up dan berpenampilan tertutup. Sayangnya ia tak memiliki perasaan cinta. "Baik,Pak," ucap Intan sambil menahan kesal. Sebenarnya ia malas harus bolak balik ke apartemennya, tapi mau bagaimana lagi daripada dirinya kena PHK.  Intan tidak rela kehilangan pekerjaan sekaligus kehilangan Alfin yang menjadi targetnya. Sejak Alfin menjadi bosnya Intan langsung jatuh cinta. Intan segera berlalu dari hadapan Alfin. Sementara Alfin menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan perilaku kebanyakan wanita yang ingin tampil seksi di hadapan para pria untuk memamerkan kemolekan tubuhnya, padahal itu sangat membahayakan diri mereka sendiri. Ingin rasanya ia memecat Intan si sekretaris genit yang selalu berusaha menggodanya, namun wanita itu kinerjanya cukup baik. Sulit mencari penggantinya. Alfin harus bersikap profesional. *** Jam istirahat tiba, Alfin kedatangan seorang tamu istimewa. "Assalamualaikum." Terdengar suara familiar. "Waalaikumsalam. Tony lo apa kabar? Surprise banget." Alfin dikejutkan dengan kedatangan sahabat lamanya. Sahabat gilanya sewaktu SMA dulu. "Lo udah balik dari Inggris ga kabar kabari gua, gimana sih Fin? Sombong banget mentang-mentang sudah jadi bos." Pemuda bernama Tony langsung merangkul dan memeluk Alfin penuh rindu. "Sorry Tin,  gua sibuk banget," jawab Alfin beralasan. Ia tidak mengada-ada. Faktanya dirinya sangat sibuk. "Belagu lo." Cibir Tony. Pemuda itu lalu duduk di sofa. Tanpa permisi membuks isi toples kacang goreng. "Lo kelihatan sibuk sekarang? Kayanya santai gitu?" tanya Alfin sambil menatap sahabatnya yang asyik mengunyah camilan Alfin dengan toples di pangkuannya. "Gua dipercaya ngurus bisnisan nyokap," jawab Tony. "Salon sama boutique? Alay banget!" Komentar Alfin. "Eh, itu sumber keuangan keluarga gua lho."  Tony merasa bangga. Salon dan butik milik ibunya tersebar di kota-kota besar. "Ngomong-ngomong ada kabar terbaru apa yang ga gua tahu?" tanya Alfin. Tony itu seolah surat kabar dan tabloid berjalan. Berita hot apapun seputar dunia bisnis, politik dan tentu saja gosip terkini ia tahu. "Si Bani tunangan, Ilham pindah tugas ke Ambon, adik gua ada yang ngelamar tapi ditolak Mami, Mami gua pacaran sama brondong, Gua putus seminggu yang lalu,dll masih banyak." Tony berkata tanpa jeda. Ia memang pandai merangkai kata  "Banyak amat satu-satu lah yang paling penting en bermutu. Gaul sama banci-banci salon kayanya lo ketularan jadi cerewet bin bawel." Alfin mendengus kesal. Informasi Tony sulit dicerna. Ia memang sudah lama tak mendengar kabar teman-temannya yang jumlahnya tak seberapa. "Sembarangan ngomong, gua masih normal. Oke gua punya kabar mengejutkan dari sepupu calon bokap tiri gua alias pacar brondong Mami gua dan gua yakin lo pasti antusias untuk mendengarnya." Tony tampak bersemangat. "Tentang apa?" Benar saja, seketika Alfin mendadak penasaran. "Tentang mantan lo!" Tony berbisik. "What?" Alfin melonjak kaget sekaligus senang. Berita yang selalu dinantikannya akhirnya ia dapatkan dari sahabanya yang bertubuh subur. "Bang Rizal alias pacar Mami ternyata kakak sepupunya Tania sobat mantan lo, waktu gua ke rumah bang Rizal gua ketemu Tania dan si Tania ngasih kabar tentang mantan lo yang cantik jelita dan super seksi itu," beritahu Tony dengan gaya seorang presenter gosip. "Lo serius? Dimana dia sekarang?" Alfin penasaran. Selama lima tahun ia mencari keberadaan mantan kekasihnya namun berujung dengan kekecewaan. Ia kehilangan jejaknya. "Duarius. Menurut info yang gua terima dari Tania, usai putus dari lo Rara melarikan diri ke Singapura dan melahirkan bayi perempuannya di sana. Mungkin tinggal sekitar setahunan." Tony menarik nafas sejenak. Ia menatap Alfin yang mulai memperlihatkan wajah muramnya. Perkataannya menghantam sudut hatinya yang telah retak. "Gua tahu, anak itu kan anak gua Icha," potong Alfin dengan nada sendu. Seketika perasaan sesal dan bersalah kembali menyelimutinya. Ia tak pernah amnesia dengan apa yang telah diperbuatnya. Sungguh terkutuk. "ssst..Please jangan dipotong dulu!" seru Tony sambil menempelkan telunjuk di bibirnya. Ia masih fokus ingin memberikan informasi. "Oke, lanjut!" Alfin memasang telinganya siap menyimak informasi berikutnya yang akan disampaikan Tony si biang gosip. "Gua cape nyeritainnya. Lagian si Tania cuma bilang kalau gua ketemu lo, lo ga usah nyari Rara dan dia bilang Rara sudah menikah dan bahagia." Tony sepertinya tak ingin bercerita panjang lebar. " Saran gua, mending lo temuin si Tania. Biar infonya akurat dan lo langsung wawancara aja tuh narasumber. Pasti akurat.  Itu aja gosipnya. Nih kartu nama si Tania. Lagian gua juga ga banyak dapat infonya. Tuh cewek lebih banyak bungkam jika disinggung soal Rara." Tony menutup laporannya sambil menyodorkan  kartu nama Tania. "Thanks infonya. Besok gua akan langsung ke  Bandung mencari Tania." Alfin menerima kartu nama Tania dengan cepat dan menyimpannya dengan baik di dalam dompet. Benda itu merupakan modal terpenting dalam misi pencarian Rara. Sebenarnya Alfin tidak puas dengan info dari Tony namun ia bersyukur bisa menemukan Tania setidaknya akan ada info yang bisa ia peroleh mengenai Rara mantan pacar yang juga ibu kandung Icha. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini, mencari jejak sang mantan kekasih hatinya. *** Alfin berada di kamarnya merenungkan masa lalunya yang kelam. Ia bahkan mendekap pigura foto Rara yang selalu disimpannya. Kedatangan Tony ke kantor membuat dirinya tak sabar bertemu Tania. Ia butuh penjelasan tentang keberadaan Rara. Ingin rasanya ia langsung menghubungi nomor WA yang tertera di kartu namanya, namun Alfin yakin Tania pasti tidak akan melayani dirinya. Tania membencinya. Rara sudah menikah? Gua harus ketemu Tania. Alfin masih tidak percaya dengan kabar itu namun hal itu mungkin saja terjadi. Lebih dari lima tahun semua mungkin terjadi. Apapun yang terjadi Alfin harus bertemu Rara. Gadis yang pernah ditinggalkan olehnya dalam keadaan hamil. Alfin ingin minta maaf dan menyatakan penyesalannya. Jika perlu ia akan bersimpuh dan bersujud di hadapannya. Tak peduli dengan kehormatan dan harga dirinya. Dirinya memang sudah hancur sejak lama karena kebodohannya sendiri. *** Pukul 6 pagi Alfin sudah bersiap pergi ke Bandung untuk menemui Tania. Wanita itu merupakan sahabat karib Rara semasa SMA. Kemanapun pergi selalu ada Tania di samping Rara. Boleh dibilang Rara tak memiliki banyak teman. Sebelumya ia akan mampir dulu ke rumah orang tuanya. Alfin kangen Icha yang sudah dua hari tidak ia temui walaupun setiap hari ia mendengar celotehannya via Video Call. Sayangnya itu belum cukup. "Papa!" Begitu tiba di rumah ia langsung disambut malaikat kecilnya. Hartanya yang paling berharga saat ini. "Hai sayang." Alfin memeluk dan mencium anaknya. Lalu menggendongnya. "Berat banget...anak Papa" Alfin menepuk p****t anaknya yang empuk. "Icha kangen Papa." Gadis cilik itu mencium pipi Alfin. Sejak Alfin pindah ke apartemen interaksi keduanya sedikit berkirang. "Papa juga kangen banget." Tentu saja ia selalu merindukan anaknya. "Alfin kamu kok pakai baju gitu, memangnya kamu tidak berangkat ke kantor?" Bu Sarah menatap Alfin heran. Anaknya terlihat menggunakan pakaian santai. "Alfin mau ke Bandung Bund." Alfin memberitahukan niatnya. "Mau apa?" Pak Ali pun tak kalah heran. Ia tahu persis jadwal Alfin di kantor. Diam-diam, Pak Ali Setyadi memantau kinerja Alfin yang belum lama ada di kantornya. Walaupun terkesan ogah-ogahan namun Alfin bisa bekerja dengan baik. "Ada urusan penting," jawab Alfin. Ia tidak akan memberi tahukan tujuan sebenarnya. Biarlah semua menjadi kejutan. "Sarapan dulu, Fin!" Perintah sang Bunda. Wanita itu yakin putranya pasti melewatkan sesi sarapan. "Iya." Alfin langsung mengekor Bu Sarah ke ruang makan. Ia sudah lapar. "Bunda belum sempat mengunjungi apartemen kamu, besok-besok kalau kamu sudah balik dari Bandung, bunda mau ke sana ya," ucap sang Bunda sambil mengoles selembar roti dengan selai coklat. Ia penasaran dengan tempat tinggal baru anaknya. Semoga saja tak ada yang aneh. "Ok. Bunda." Alfin tidak keberatan. Ibunya berhak menjenguknya. Usai sarapan Alfin langsung pamit. Ia tak sabar tiba di kota Bandung. "Icha sayang, Papa berangkat dulu ya. Papa mau pergi ke Bandung. Nanti sore juga Papa sudah pulang lagi. Icha mau oleh-oleh apa?" tanya Alfin. Ia yakin anaknya pasti akan senang jika dibelikan buah tangan  "Coklat sama es krim," jawab Icha dengan mata berbinar. Ia membayangkan potongan coklat dan lumeran es krim yang pastinya sangat lezat. "Tidak boleh, nanti giginya bolong, Icha minta yang lain saja sama Papa." Muti keberatan. Ia selalu menjaga makanan yang dikonsumsi Icha. Ia tak suka anak asuhannya itu terlalu banyak mengkonsumsi gula. "Hmmm apa ya, apa saja deh terserah Papa." Akhirnya Icha patuh. Nasihat Muti selalu diingat dengan baik tanpa sedikitpun ingin melanggarnya. "Dag Icha, jadi anak baik dan pinter ya!" Alfin mencium Icha penuh sayang. Dalam hatinya ia menjerit semoga misinya pergi ke Bandung akan sukses. Ia tak sabar mempertemukan anaknya dengan ibu kandungnya. "Yah, Bunda Alfin berangkat dulu ya." Pamit Alfin kepada Bu Sarah dan Pak Ali. Tak lupa ia mencium tangan keduanya. " Hati-hati!" Bu Sarah berpesan. Bu Sarah menatap kepergian putranya dengan menyisakan tanda tanya besar. Ia tak ingin memaksa Alfin. Nanti juga ia akan tahu sebenarnya Alfin pergi kemana.  **** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD