Part 6

1534 Words
Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam dengan mobil pribadi miliknya, akhirnya Alfin menemukan alamat yang diberikan oleh Tony. Cukup sulit untuk dapat menemukan lokasi yang dituju karena rumah Tania berada di pinggiran kota Bandung. Alfin memarkir mobilnya tepat di depan sebuah perusahaan konvenksi. Di sana banyak motor berjejer, ada juga  beberapa mobil lainnya terparkir rapi. "Assalamualaikum." Alfin mengucap salam seraya memperhatikan keadaan sekitar. "Wa'alaikum salam. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang pemuda usia 20an dengan seragam security menyambut kedatangannya. "Maaf, Apa di sini ada yang bernama Tania?" tanya Alfin clingak clinguk. "Tania siapa ya?" Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya. Seingatnya di tempat itu tidak ada karyawan yang bernama Tania. "Siapa Jang?" Seorang pria berusia 40an dengan seragan yamg sama mendekati mereka. "Ada yang mencari Tania." Pemuda itu menjawab dengan raut wajah bingung. Ia merupakan pegawai baru jadi masih belum banyak yang dikenalnya. "Oh mencari Bu Didin." Pria bertubuh gempal itu tersenyum. Tania lebih dikenal sebagai Bu Didin daripada namanya sendiri. "Iya." Alfin yang tidak tahu kalau Tania adalah istri pemilik konveksi itu, ia hanya mengiyakan. Mudah-mudahan Tania yang dimaksud benar Tania Putri Rahayu, teman SMAnya. "Tunggu sebentar ya, Pak! saya panggil dulu," jawab si pria tadi sopan. Ia masuk ke dalam meninggalkan si satpam muda dengan Alfin. "Silahkan duduk dulu, Pak!" Perintah si pemuda kepada Alfin dengan ramah. Alfin pun menurut. Selang sepuluh menit kemudian muncul seorang wanita muda dengan rambut panjangnya yang diikat asal dengan karet rambut warna hitam. Tampak perutnya membuncit dibalik daster selutut warna biru muda. "Tania.." Sapa Alfin. Ia memastikan jika wanita di hadapannya itu adalah Tania teman SMAnya. Hampir 6 tahun berpisah penampilan Tania berubah. Ia terlihat dewasa. Tidak seperti dulu yang tomboy dan berambut pendek. Kini  tubuhnya tampak berisi dan perutnya terlihat buncit. Tania sedang hamil. "Alfin!" Tania menatap Alfin tajam dengan pandangan sebal. Tidak akan ada kata rindu atau kangen kepada teman sekelasnya yang b******k ini. Walaupun dulu mereka sangat akrab yang tersisa saat ini hanyalah kebencian. Setelah apa yang dilakukan kepada sahabatnya. Ia tak menyangka akan kedatangan Alfin. "Iya." Alfin mengangguk. Ia langsung tersenyum hangat. Berbanding terbalik dengan Tania yang langsung memasang muka masam. "Apa kabar Tan?" Alfin bertanya ramah dan mengulurkan tangannya. Ia berusaha mencairkan suasana. Namun Tania membiarkan uluran tangannya. Ia tak ingin menyambutnya. Perasaan sebal masih menguasai dirinya. "Seperti yang kamu lihat aku sehat walafiat tak kurang satu apapun," jawabnya ketus. Ia menampakkan kesombongannya. Dalam diri Tania masih tertanam kebencian yang teramat sangat. Ia tak terima dengan perlakuan Alfin kepada sahabatnya yang bernama Rara. "Ngapain kamu ke sini?" Tania memasang wajah tak bersahabat. Alfin adalah salah satu pria yang tak ingin ditemui dalam hidupnya. Menurutnya bertemu dengannya lebih horor daripada bertemu mantan pacarnya atau pun hantu pocong. "Aku ada perlu sama kamu." Alfin seraya mengatur deru nafasnya, menyiapkan kata-kata yang telah dirangkainya selama di perjalanan tadi. Tak mudah berhadapan dengan wanita di hadapannya. "Maaf, aku sibuk." Tania seolah enggan beramah tamah. Waktunya terlalu berharga digunakan untuk meladeni Alfin. Mengingat semua kelakuan Alfin, ingin ia menghajar pria tampan di depannya. Namun ia sadar diri jika ribut dengan Alfin tidaklah baik terlebih kondisinya yang sedang hamil tua. Ia harus mengontrol emosinya. "Sebentar saja. Aku harus bicara sama kamu. Please Tan. Aku datang dari Jakarta sengaja menemui kamu." Alfin memasang tampang sedih dan memelas. "Hmmm, oke sini ikut aku!" ajak Tania. Akhirnya ia menyerah. Ia ingin urusannya dengan Alfin selesai, sehingga pemuda itu segera pergi. Tania berjalan menuju sebuah bangunan rumah yang terletak di samping gedung tadi. "Silahkan duduk!" perintah Tania judes. Keduanya berada di teras rumah. "Siapa Neng?" Didin suami Tania muncul dari dalam menemui istrinya yang membawa tamu seorang pria tampan. Suami manapun pasti curiga dan cemburu. Apalagi si pria tampangnya seperti bukan orang biasa. "Teman lama, A. Teman SMA," jawab Tania jujur. "Oh." Pria berusia 30an itu tersenyum, berusaha mempercayai pengakuan sang istri. Ia harus tetap bersikap ramah siapa tahu pria yang mengaku teman istrinya itu mau memesan barang konveksi produksinya. Sebagai seorang pebisnis pria itu berusaha berbaik sangka, mengenyahkan pikiran buruknya yang menduga si pria yang bersama istri adalah mantan pacar istrinya. "Kenalin ini suami aku, A Didin," ucap Tania memperkenalkan suaminya. "Didin," ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Pria botak itu memindai Alfin dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Alfin." Alfin menerima uluran tangannya dan memasang wajah bersahabat. "Kalau begitu saya permisi dulu, silahkan kalian mengobrol," ucap Didin. Didin masuk ke dalam lebih tepatnya ke ruang tamu berniat mengintip dari kaca jendela mengawasi sang istri dan Alfin yang duduk di kursi teras rumah. Keduanya tampak bicara serius. "Maaf mengganggu, aku ke sini mau menanyakan soal Rara," ucap Alfin. Ia mengumpulkan semua keberaniannya untuk membahas mantan kekasihnya yang belum ditemukan. "Aku sudah bisa menebak!" Tania menaikkan sebelah alisnya. Terakhir kali bertemu pun tentang Rara yang Alfin tanyakan. "Tan, kamu kasih tahu aku sekarang Rara ada dimana?" Alfin langsung menanyakan keberadaan mantan kekasihnya. "Emangnya si Tony ga cerita?" Tania balik bertanya. "Dia bilang Rara udah nikah," jawab Alfin sambil menarik nafas dalam. Dadanya terasa sesak mengucapkan kalimat itu. Khawatir jika semua itu benar. "Iya. Terus kamu mau ngapain?" Tania mengiyakan. "Aku mau ketemu Rara," jawab Alfin sungguh-sungguh. Entah kepada siapa lagi ia mencari jejak Rara yang hilang seolah ditelan bumi. Hanya Tania satu-satunya yang menjadi harapannya. Ia tak sabar ingin berjumpa dengan Rara. "Gila ya. Kamu tidak mungkin bisa. Aku ga tahu dimana dia sekarang dan yang kamu harus tahu dia udah bahagia jadi kamu jangan pernah muncul lagi dihadapan Rara. Dia pasti tak sudi lihat muka kamu. Kesalahan kamu itu sulit dimaafkan. Dasar pengecut!" ucap Tania berapi-api. Ia mengutuk perbuatan Alfin di masa lalu. "Bayangkan saja Rara harus menjalani kehamilannya sendiri di usianya yang masih sangat muda tanpa suami tanpa orang tua dan keluarga. Berat banget hamil di luar nikah dengan cibiran dan cemoohan orang sekitar. Aku saja yang memiliki suami dan keluarga yang mendukung merasa berat. Morning sickness, mual, ngidam dan sakit ini itu. Pokoknya banyak keluhan. Belum lagi penderitaan Rara harus melahirkan dengan menahan rasa sakitnya. Apa dengan kata maaf semuanya selesai?" Tania meluapkan kekesalannya. Alfin tertunduk lesu. Semua ucapan Tania begitu menohok. Ia akui dirinya b******k, pengecut, tak bertanggung jawab, jahat, entah predikat apalagi yang cocok untuknya. Ia benar-benar buruk. "Sementara kamu jahat dan tega sekali memutuskannya dan menyuruh dia menggugurkan kandungannya. Kamu memang b******n!" Tania terus mengeluarkan unek-uneknya. Alfin diam seribu bahasa mendengarkan ungkapan kekesalan Tania terhadap dirinya. Ia memang pantas menerimanya. Ya, Alfin memang bersalah. Ia begitu kejam. Ia menyesali semua perbuatannya. Namun penyesalan tak ada gunanya. Semua telah terjadi. "Rara mengalami syndrom Baby blues. Ia stress berat dan hampir bunuh diri. Atas saran aku, bayinya aku antar ke rumah orangtua kamu. Dia sebenarnya sayang sama bayi itu buktinya dia mau melahirkannya, bahkan setelah sembuh dia menyesal sudah memberikan bayinya sama keluarga kamu. Berniat mengambil lagi tapi ia juga bingung harus menghidupinya dengan cara apa. " Tania semakin menjadi menceritakan kisah pahit yang dialami Rara. Alfin sangat terpukul mendengar penjelasan Tania. Rara yang sejak kecil hidup penuh penderitaan harus menambah beban deritanya, dan itu semua gara-gara dirinya yang tak mau bertanggung jawab. "Aku menyesal. Aku ingin bertemu Rara. Please Tan, hidup aku tidak bisa tenang sebelum ketemu dia. Aku yakin kamu pasti tahu dimana dia atau tahu nomor kontaknya." Alfin memohon. "Tidak ada! Lagian penyesalan kamu tidak ada gunanya. Sekarang urus saja diri kamu dan anak kamu. Silahkan pulang! kalau mau bertemu Rara cari saja sendiri. Aku tidak bisa membantu. Aw...!!!" Tania seolah mengusir Alfin. Sejak tadi emosinya meledak-ledak, hingga tak terasa perutnya menjadi tegang dan sakit. "Aa....tolong Neng A!" Teriak Tania tiba-tiba memanggil suami tercintanya. Didin yang dari tadi mengawasi Tania dan tamunya segera memburu istrinya. "Ada apa Neng?" Didin mengelus perut buncit istrinya dan menatap Alfin dengan mata nyalang. Ia tampak emosi, khawatir dengan kondisi istrinya. "Suruh orang itu pulang A. Bikin kontraksi saja!" Perintah Tania kepada suaminya. Perutnya terasa mulas. "Eh kamu apakan istri saya?" Bentak Didin sambil menatap Alfin lagi penuh emosi. Ia khawatir dengan kondisi kehamilan istrinya. Tania yang menderita darah tinggi sangat berbahaya jika terus bersitegang dengan Alfin.  Alfin harus segera hengkang dari sana sebelum hal buruk terjadi. "Maaf Kang, saya tidak melakukan apapun, Saya sedang mencari Rara tapi istri akang ini tidak mau menunjukkan dan malah emosi tak jelas" Alfin jadi kebingungan. "Sebaiknya Anda pulang saja, istri saya harus banyak istirahat. Dia lagi hamil tidak boleh banyak pikiran." Usir Didin. Pria itu lalu membawa Tania masuk ke dalam meninggalkan Alfin seorang diri. Alfin pun segera meninggalkan kediaman Tania tanpa hasil. *** Galau. saat ini Alfin bingung. Keberadaan Rara masih misterius karena Tania tidak mau memberi tahunya. Mendengar kisah tentang mantan pacarnya dan menyaksikan sendiri kondisi Tania yang sedang hamil, Alfin jadi membayangkan Rara. Rara yang tak memiliki siapa-siapa karena ibunya sudah meninggal saat melahirkannya dan ayahnya berada jauh di luar kota dengan keluarga barunya. Ayahnya menyalahkan kematian ibunya, begitu juga keluarga ayahnya yang tak menginginkan dirinya. Bebannya semakin berat saat harus berjuang sendiri menjalani kehamilannya. Maafkan aku Ra, aku memang b******k. Aku pengecut. Aku menyesal telah membuatmu semakin menderita. Aku selalu mencarimu dan menunggumu. Aku mencintaimu Ra. Icha juga selalu menunggumu. Kamubtahu? Aku sangat kehilanganmu. Hingga tak terasa air matanya menetes begitu saja. Ya Allah berilah hamba petunjuk dimana Rara berada. Bagaimanapun kondisinya saat ini hamba akan menerimanya. Doa Alfin usai sholat Ashar di sebuah Masjid sebelum ia melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Alfin menganggap dirinya berhak tahu dengan siapa Rara menikah dan dimana sekarang. Setidaknya ia ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Mengucapkan berjuta maaf dan penyesalan yang ia yakin tak sebanding dengan penderitaan yang dialami Rara. Ia juga ingin mempertemukan Icha dengannya. Putrinya yang selalu menanyakan keberadaan ibunya. *** TBC Sabar ya Fin!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD