Part 4

1534 Words
Sejak Bu Sarah mengatakan bahwa Alfin harus menikah dengan Mutiara, pemuda itu jadi tidak betah tinggal di rumah. Ia merasa risih saat melakukan kontak dengan pengasuh anaknya itu. Komunikasi dan interaksi keduanya pun berubah menjadi canggung tak sehangat biasanya. Padahal selama ini keduanya cukup akrab. Saat Alfin berada di London mereka sering berkomunikasi melalui panggilan suara atau pun video call untuk membahas perkembangan Icha. Sekarang Alfin seolah menjaga jarak. Tak sedikit pun pemuda tampan bertubuh tinggi itu menaruh hati kepada gadis cantik asli Solo tersebut. Walaupun ia tak menampik jika Muti gadis solehah yang sopan dan berprilaku baik serta lemah lembut. Ia juga memiliki jiwa keibuan yang penuh kasih sayang. Gadis itu menyayangi Icha seperti anaknya sendiri, namun itu belum cukup buat Alfin untuk bisa jatuh cinta karena di hatinya masih bersemayam sosok seseorang yang sulit untuk dilupakan. Gadis yang sudah melahirkan Anissa. "Assalamualaikum, Ini kopinya Mas." Muti masuk ke kamar Alfin dengan nampan di tangannya lalu menaruh secangkir kopi di atas nakas. Muti salah tingkah. Ingin mengajak Alfin bercakap-cakap namun bingung. "Makasih," jawab Alfin singkat. Tak ada senyuman ataupun canda yang biasa didapat Muti.  Alfin masih duduk di Sofa kamarnya dengan pandangan tertuju ke arah laptop. Ia seolah dianggap tak kasat mata. Muti menjadi aneh dengan sikap Alfin belakangan ini. Ia jadi dingin dan cuek. Salah apa dirinya kepada ayah kandung Icha itu. Tidak mungkin juga anak asuhannya itu mengadu yang bukan-bukan. Selama ini dirinya mengurus Icha dengan baik. Ia tak pernah marah ataupun membentaknya. Semua perintah Alfin dijalankan dengan baik. Sebenarnya bukan tanpa alasan Alfin jadi dingin, Alfin tahu jika Mutiara menyukai dirinya. Gadis itu selalu mendekatinya dan memberikan perhatian lebih. Seperti saat ini selalu menyajikan kopi terbaik kesukaannya. Alfin tidak ingin membuatnya lebih baper dan berharap banyak. Apalagi ia yakin jika Muti sudah tahu rencana perjodohan mereka. Ia tak ingin melukai perasaan Mutiara dengan mematahkannya. Ia pantas bahagia dengan pria lain, bukan dirinya. "Permisi, Mas." Muti meninggalkan Alfin untuk kembali mengurus Icha. Pria itu tak meresponnya. Hanya diam membisu. *** Hari sudah sore, Alfin yang sedang galau memilih melajukan mobilnya menuju  apartemen Riko, sepupunya. Terhitung sejak 5 hari yang lalu ia bekerja di salah satu perusahaan milik ayahnya. Kebetulan jarak dari kantor ke apartemen Riko tidak terlalu jauh.  Begitu tiba ia langsung disambut oleh tuan rumah yang sedang santai. "Lo kemana aja sih baru nongol sekarang?" tanya Riko seraya menatap tajam ke arah Alfin. "Sibuk ngasuh," jawab Alfin pendek. Ia lalu menjatuhkan bokongnya di sofa bermotif zebra, melepaskan dasi dan membuka dua kancing kemeja teratasnya. "Ha...ha...lo jadi hot Daddy ya?" Tawa pemuda yang berprofesi sebagai model dan bintang sinetron itu meledak. Sepupunya itu sudah benar-benar berubah menjadi sosok ayah yang bertanggung jawab. "Gua juga sekarang sudah kerja di kantor Ayah. Jadi, ga punya banyak waktu buat nongkrong." Alfin memberikan penjelasan tentang kesibukannya. Riko memang selalu saja mengejeknya. "Gosip terhangat katanya, Tante Sarah berencana menjodohkan lo sama Muti ya. Slamat Bro akhirnya Lo punya pendamping hidup!" seru Riko tersenyum jahil. "Bunda memang keterlaluan sampai-sampai harus menyebar gosip segala." Alfin mendengus kesal. Ia bahkan belum menyatakan persetujuannya. Itu hanya keputusan sepihak dari orang tuanya. "Bagus dong biar lo tidak kesepian lagi en si Icha segera memiliki adik," canda Riko kelewatan. Tentu saja Alfin menahan kesal. Alfin tak ingin menanggapinya. Perjodohan ini harus dibatalkan bagaimana pun caranya.  Riko lalu melangkah membuka kulkas mengambil minuman. "Minum." Pria itu menyodorkan dua kaleng bir. "Bisa ga sih gua minta minuman yang lebih sehat?" Alfin menolak minuman yang diberikan sepupunya. Sudah dua tahun Alfin menghindari alkohol. "He...he...gua lupa, lo kan calon suami Muti jadi harus terbebas dari alkohol." Riko terkekeh setengah mengejek. Padahal dulu yang memperkenalkan Riko dengan minuman haram itu kan Alfin. Riko mengambil minuman teh botolan untuk Alfin. "Thanks." Alfin langsung membuka dan meminumnya hingga menyisakan setengahnya. Ia sangat kehausan. "Gua harap lo tidak perlu membahas soal Muti lagi. Gua ga pernah cinta sama dia. Lagipula gua merasa ga pantas buat dia." ucap Alfin ketus.  "Sampai kapan sih lo berhenti memikirkan mantan pacar lo? Siapa tuh namanya? Gua lupa." Riko menatap Alfin serius. Riko memang tidak kenal dengan mantan pacar Alfin karena dulu Riko tinggal di Ciamis. "Sampai gua bisa menemukan dia dan minta maaf atas perbuatan gua di masa lalu," jawabnya sambil menghabiskan sisa minumannya. "Masa lalu itu adalah masa lalu. Lo itu punya masa depan. Jangan terlalu hanyut dalam kenangan. Ingat dengan kebahagiaan lo!" Nasihat Riko sok bijak. *** Alfin sudah membulatkan tekadnya untuk hengkang dari rumah orangtuanya. Ia tidak mau berdekatan dengan Mutiara. Sebisa mungkin ia harus menjaga jarak. Ia tak ingin ada kontak sedikitpun. Apapun alasannya. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Mutiara dengan sikapnya yang berubah dingin, selain itu Alfin juga tidak mau jika lama-lama ia jatuh hati kepada gadis itu. Mutiara memiliki pesona tersendiri sehingga siapa pun akan langsung menyukainya. Seandainya tak ada gadis lain di hatinya yang merupakan ibu kandung anaknya ia pasti akan dengan mudah menerima Muti. "Alfin mau tinggal di apartemen Bund, biar dekat ke kantor," ucap Alfin ketika mereka berada di ruang tengah. "Apa?" tanya sang Bunda kaget. Rencana Alfin sungguh mendadak. "Iya. Alfin mau pindah." Alfin menegaskan. Tekadnya sudah bulat. Ia harus pindah secepatnya tak peduli orang tuanya tak mengizinkan. "Terus bagaimana dengan Icha?" Bu Sarah tampak keberatan. Alfin sulit diatur. Baru saja pulang ke rumah sudah mau pergi lagi. Padahal ibu dua anak itu ingin menjalin hubungan dekat dengan anak bungsunya setelah beberapa tahun terpisah. "Selama Alfin di Inggris, Icha baik-baik saja kan? Ada Ayah, Bunda dan juga Muti. Kalau libur Alfin sama Icha bisa bermain bersama. Tiap weekend Alfin akan menjemput Icha untuk menginap di apartemen." Alfin berkata dengan entengnya. Sebenarnya ia hanya berusaha menenangkan diri sendiri. "Kenapa tiba-tiba harus pindah?" tanya sang bunda lagi, mencoba menggali informasi lebih dalam. Sekaligus berharap sang anak akan membatalkan niatnya. "Alfin mau mandiri saja." Alfin beralasan. Ia tidak menyinggung masalah perjodohan dengan Muti. "Hmm, oke terserah kamu. Tapi ingat jangan bawa cewek ke apartemen!" Pesan Bu Sarah penuh ancaman. Pergaulan saat ini sangat meresahkan terlebih bagi Alfin yang pernah memiliki masa lalu suram pasti Bu Sarah sangat khawatir. *** Alfin berada di kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan barang-barang yang besok akan dibawa ke apartemennya. Ia sudah fix untuk menempati apartemen milik kakaknya yang bernama Alex yang saat ini tengah bermukim di Malaysia. Ini merupakan jalan keluar terbaik untuk menghindari Mutiara, walaupun ia harus berjauhan dengan Icha. Setidaknya untuk sementara waktu. "Papa mau pergi lagi?" tanya Icha. Ia mendekati ayahnya yang sibuk memasukan pakaian ke dalam koper. Raut wajah anak itu tampak sedih. "Papa perginya tidak jauh, cuma pindah tempat tinggal saja. Masih di Jakarta. Dekat kantor dan juga rumah nenek," ucap Alfin memberikan penjelasan. Berat rasanya berpisah lagi dengan putrinya, namun apa boleh buat semua demi kebaikannya. "Icha boleh ikut sama Papa ga?" tanya Icha. Ia tidak rela kehilangan ayahnya kembali. Ia ingin seperti orang lain memiliki orang tua. "Kalau Icha ikut Papa nanti Icha tidak ada yang menjaga, Papa kan harus kerja. Kalau di sini ada Nenek, Kakek dan Tante Muti. Papa janji tiap akhir pekan jemput Icha buat menginap di apartemen." Alfin memeluk Icha penuh kasih. "Kenapa sih Papa harus pergi, Icha kan ga mau jauh sama Papa." Gadis kecil itu kembali merajuk dan berharap sang ayah akan membatalkan niatnya. Ya Allah, sebenarnya berat bagi Alfin untuk meninggalkan anaknya. Anak yang dulu sempat tidak diinginkannya. Anak yang membuat ia kehilangan kekasihnya. Kehilangan cintanya. "Maafin Papa sayang, Papa janji Papa usahakan datang kapan saja kalau Icha butuhkan. Nanti kalau Papa tidak sibuk Papa ajak Icha jalan-jalan sama jemput Icha dari sekolah." Janji Alfin sambil mengangkat jari kelingkingnya. Icha terdiam. Ia tampak kecewa. *** Setelah terjadi drama antara ia dan putrinya, akhirnya Alfin memantapkan hati pindah ke apartemen. "Woow akhirnya lo tinggal di sini? Kabur atau gimana nih ceritanya?" Riko sengaja datang berkunjung setelah mendengar jika sepupunya pindah tempat tinggal.  Pemuda itu selalu saja kepo. "Banyak nanya lo." Alfin tidak mau menanggapi. "Sensi banget nih adikku. Bagus lah kalau lo tinggal di sini kita bisa bikin party en gua kenalin lo sama cewek-cewek cantik. Temen-temen model gua banyak yang single lho masih umur 20an. ABG juga banyak. Ha...ha...masih perawan tingting." Riko tertawa renyah. Menggoda Alfin merupakan salah satu hobinya. "Jangan mikir yang aneh-aneh. Gua pindah buat jauhin si Muti. Bukan buat nyari kebebasan en kesenangan kaya lo yang mau tinggal sendiri di apartemen biar bisa bebas ngamar sama cewek-cewek lo yang ga jelas statusnya," ucap Alfin. Ia tidak seperti Riko yang gemar berganti pasangan. Sejak dulu hanya satu gadis yang ia pacari, yakni Rara. "Gaul dikit dong Fin, cobain cewek-cewek kece biar fresh otak lo en ga mikirin mantan lo terus . Betewe Kerjaan lo di London ngapain aja sih? Lo ga pernah dugem atau gimana gitu. Kayanya lo jadi penghuni perpustakaan ya." Riko terus mengoceh. "Sorry gua tidak mau cari penyakit." Alfin menatap sebal Riko yang selalu menghasutnya. Menebar benih-benih kemaksiatan. "Selama 5 tahun lebih lo ga pernah menjamah tubuh cewek. Awas ntar impoten!" Seringai jahil Riko. Otaknya selalu dipenuhi aneka kemesuman. " Gua tidak mau melakukan hal gila, " ucap Alfin. "Ha...ha....pakai pengaman dong!" Riko tertawa terbahak-bahak mencemooh Alfin. Pengaman? Bahkan ia tak tahu itu apa. Seumur hidupnya ia hanya melakukan satu kali dan itu menjadi malapetaka baginya. Riko dan Alfin beda 3 tahun. Jika Alfin adalah sosok yang kalem namun keras kepala. Maka Riko sebaliknya ia sosok ceria yang agresif yang hobi berhura-hura karena lingkungannya yang dikelilingi para model dan selebriti mendukung. "Pesen makanan sana! Gua laper. Lo nginep kan?" Dari tadi meladeni ocehan Riko membuat perut Alfin keroncongan, mana di dalam kulkas kosong tak ada makanan. Inilah beda di rumah dan apartemen. Ia harus berbelanja sendiri. "Oke siap brother." Riko langsung membuka ponselnya memesan makanan dengan order delivery. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD