Book 1, Chapter 9 - m******e! -

1620 Words
- Di pegunungan di dekat pangkalan militer manusia - Di bawah sebuah batu besar berserakan helai demi helai bulu besar, bulu itu berwarna keemasan dan terlihat sangat indah. Bulu-bulu itu adalah bulu burung besar yang menyerang kota beberapa saat lalu, Jatayu, burung itu tewas menjadi santapan mahluk besar yang menakutkan, yang duduk di atas batu besar itu, sedang sang monster sudah lama meninggalkan tempat itu. Batu besar itu menjadi saksi sebuah sejarah yang baru saja akan dimulai. ... Sepuluh orang penjaga berdiri di depan pintu bunker bawah tanah, sambil menembaki semua manusia dan mutan yang mendekat. Bunker tersebut menampung lebih dari 3 juta orang. Vincent sebelumnya sudah memasukinya, saat tes terhadap kemampuan telekinesis-nya. "Aku mohon ijin kan kami masuk!" Seorang Evo berusaha membawa masuk keluarganya ke dalam bunker, sambil melindungi mereka, jelas tubuhnya terluka parah. "Iya aku mohon ijin kan lah kami!" Seorang wanita memohon dengan wajah yang sangat sedih dan putus asa, dia berjalan dengan ter-tatih berusaha sekuat tenaga agar selamat. "Paman, ku mohon ijin kan kami masuk! Tolong kami!" Seorang anak perempuan berumur 8 tahun memohon sambil menangis, ia memeluknya boneka kucing di dadanya dengan erat. Melihat hal itu sebagian dari penjaga tersentuh dan menjadi sangat sedih, namun apa daya mereka mendapat perintah untuk menghalangi semua orang yang berusaha untuk masuk. "Maafkan kami, namun bunker ini sudah penuh, lebih baik kalian lari saja sejauh mungkin dari tempat ini!" Seorang prajurit yang merasa iba dalam hatinya berusaha membujuk mereka, karena dia tahu bila mereka memaksa hanya kematian yang menunggu mereka. "Tidak!! Biarkan kami masuk!!" Seluruh kerumunan berteriak, kekacauan terjadi, seluruh kerumunan itu berdesakan berusaha untuk masuk, sementara beberapa evo yang masih selamat berusaha melindungi anggota keluarganya dari mutan yang jelas hanya dibatasi oleh tubuh mereka yang masih terus berjuang. "Roar!!" "Roar!!" "Tidak!!!" Seorang evo yang tengah mempertaruhkan nyawanya melindungi kerumunan itu mendapat serangan tepat di perutnya dan merobek seluruh organ bagian dalamnya. Kekacauan menjadi semakin parah, seluruh prajurit dan anggota keluarganya menjadi amat ketakutan dan berusaha menembus barikade yang didirikan di depan pintu masuk bunker. "Ta Ta Ta Ta Ta Ta" Ribuan peluru anti tank beterbangan ke arah kerumunan orang itu, dan tanpa peringatan sedikitpun, membunuh seluruh kerumunan dan juga sebagian kecil dari mutan. Beberapa penjaga barikade itu tercengang, perlahan mereka memalingkan wajahnya memandang sang kapten, dialah yang menembakkan senjata artileri anti tank ke arah kerumunan para prajurit dan warga biasa itu. "Tidak perlu memberi mereka penjelasan! Apakah kalian ingin mati bersama mereka!" Sang kapten berujar sambil terus menembakkan senjata itu ke arah kerumunan monster yang terus bertambah banyak. "Bbbaik!" Seluruh prajurit lainnya tentunya merasa kesal dan marah terhadap apa yang kaptennya lakukan namun mereka tetap kembali ke senjata artileri mereka masing-masing. "Ta Ta Ta Ta Ta Ta" Ratusan ribu peluru beterbangan dengan kecepatan tinggi menembus bagian-bagian tubuh kawanan monster itu, tumpukan demi tumpukan mayat manusia dan mutan menumpuk di depan pintu masuk bunker. "Swish.. Swish.. " Burung-burung besar dengan cepat terbang ke arah barikade yang menjaga pintu bunker, puluhan, ratusan burung-burung besar yang berusaha menembus barikade terjatuh diatas tanah, tertembak. "Bargh..! Bargh..!" Meski begitu, burung-burung itu terus bergerak tanpa memikirkan nyawanya, mayat-mayat mulai membentuk bukit kecil di depan pintu masuk, kesepuluh prajurit itu terus menembakkan senjata itu ke arah kawanan mutan. "Kleck.. Kleck.." Peluru artileri yang sang kapten gunakan habis, sang kapten beranjak dan mengambil pelontar roket dan mulai menembakkan-nya secara membabi buta, tanpa disadari kesepuluh orang itu sang kapten berjalan mundur berusaha menyelamatkan dirinya ke dalam bunker, mengorbankan seluruh anggota timnya. Tak lama peluru kesembilan orang lainnya pun habis, dengan sigap kesembilan orang tersebut mengambil senapan mesin genggam dan terus menembaki makhluk-makhluk itu. Perbedaan ukuran dan jumlah peluru yang di-tembakan menyebabkan celah pada pertahanan mereka, tidak lama beberapa mutan berhasil melewati deru peluru dengan mengorbankan salah satu dari temannya. "Roar!!" Seekor mutan berbentuk anjing hutan membuka mulutnya dan menerkam leher dari salah seorang penjaga dan membunuh penjaga itu dengan sekali gigit, tak lama berselang kesembilan prajurit itu terbunuh oleh serangan tanpa henti dari kawanan mutan itu. . *** "Tap.. Tap.. Tap.. " Sang kapten barikade berlari menyusuri lorong yang membawanya ke arah lift untuk menuju ke bunker, dia sangat terburu-buru dan panik. Selang beberapa menit sang kapten sampai di sebuah pertigaan, kemudian menekan tembok di depannya. "Klik!" Sebuah lubang berukuran kecil yang hanya muat untuk sebuah kartu muncul, dan sang kapten dengan tergesa-gesa memasukkan kartu indentitas-nya. "Beep!" "Melakukan Scan!" Terdengar suara entah dari mana diikuti cahaya laser yang bergerak disekitar kepala sang kapten, tangan sang kapten gemetar karena mendengar suara langkah kaki di belakangnya. "Clak.. Clak.. Clak.. " Suara langkah kaki itu bukan seperti suara sepatu boot yang berbenturan dengan lantai, namun suara itu bukanlah suara sepatu, melainkan suatu benda keras yang menghantam lantai granit. "Scanning Selesai!" "Access Ditolak!" "Thud!" Mendengar jawaban dari sistem sang kapten seperti tersambar petir, seluruh tubuhnya lemas hingga ia terjatuh dan hanya bisa bertumpu pada kedua lututnya. "Terkutuk Kalian !!" Hujat sang kapten, mulutnya tidak berhenti mengutuki para atasannya, mereka mengkhianati-nya dan menggunakannya sebagai umpan bagi mereka supaya selamat. Sang kapten pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya, wajahnya pucat dan keringat dingin mulai mengalir deras di punggungnya. "Clak.. Clak.. Clak..!" Suara langkah kaki itu semakin mendekat, sang kapten hanya sedikit memalingkan wajahnya, di matanya sudah tidak lagi terdapat cahaya kehidupan, pria berumur 34 tahun itu sudah kehilangan semua harapannya dan menyambut maut sambil tertawa. "Haha!! Semua ini karena kebodohanku! Seharusnya aku tahu, bahwa yang lebih berbahaya dari binatang-binatang itu adalah manusia itu sendiri! Haha, mari datanglah nikmatilah tubuhku!" Sang kapten berteriak sambil tertawa, dia telah kehilangan kesadarannya dan mulai meracau seperti orang gila. "ROAR!!!!!" Sesosok makhluk itu berukuran 3 meter panjang dan tinggi 1,5 meter, makhluk itu adalah harimau besar dengan sepasang taring besar pada mulutnya, seluruh tubuhnya memancarkan warna keemasan yang membuatnya terlihat seperti makhluk spiritual. "HAHA, Kemarilah! Bunuh aku, cepat!" Sang Kapten meracau dan terus menantang sang monster untuk membunuhnya. Harimau besar itu tentunya memiliki kecerdasan di atas binatang normal dan mengerti ucapan pria tersebut, Harimau besar itu berjalan semakin dekat tanpa mengeluarkan suara. Melihat hal itu sang kapten menutup matanya sambil membentangkan kedua tangannya seolah-olah menyambut maut yang akan menjemputnya. "Roar!!" Harimau itu meraum, rahang besarnya terbuka menerkam sang kapten. Sang kapten yang sudah pasrah dalam hatinya menerima rasa sakit tanpa perlawanan, namun terlepas dari rasa sakit awal yang iya rasakan, dia tidak merasakan rasa sakit yang lain. "Ada apa ini? Mengapa ia tidak membunuh ku? Kemana ia membawa ku?" Namun beberapa saat kemudian dia merasa tubuhnya bergerak meninggalkan tempat di mana dia berada, meski mencoba bergerak dia tidak dapat bergerak, saat ia berusaha membuka matanya tubuhnya terasa seperti terlempar dan terjatuh di atas permukaan tanah yang dipenuhi genangan. "Thud!!" Sesaat setelah tubuhnya menyentuh tanah, sang kapten membuka matanya dan bersusah payah untuk merangkak untuk berdiri. Namun saat ia membuka matanya, ketakutan yang sebelumnya telah sirna kini menyeruak hebat hingga ia ingin membunuh dirinya sendiri. *** Husk berlari ke dalam hutan-hutan bambu 50 kilometer dari jarak pangkalan militer, di punggungnya seorang wanita berwajah pucat kehilangan kesadaran, baju putih yang ia kenakan berlumuran darah. Wanita itu tidak sadarkan diri, sedang David masih menangis sambil berpegangan pada Husk. David duduk tepat di belakang sang ibu, meski dia masih 8 tahun namun dia sudah mengetahui apa yang terjadi pada sang ibu. Setelah berlari tanpa henti selama dua jam Husk mengalami kelelahan, Husk berhenti di sebuah pohon besar yang rindang, kemudian menurunkan Ibu serta David dari punggungnya, David membantu melepaskan ikatan yang mengikat tubuh ibunya. "Ibu Bertahanlah!" David berujar pelan sambil tangannya melepaskan lilitan demi lilitan kain yang mengikat pinggang ibunya, namun disaat lilitan terakhir terlepas, wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan dan terkejut. "Ibu!!!!" David menjerit melihat lubang besar di perut ibunya darah mengalir deras tanpa henti, sesaat dia melihatnya dia menyadari ibunya berada di saat-saat terakhir dari hidupnya. Setelah dia membaringkan ibunya di atas rerumputan, sambil menggengam kedua tangan ibunya dia menangis dan menjerit memanggil sang ibu yang ternyata telah kehilangan nafasnya semenjak satu jam yang lalu. *** Aku berjalan di udara, kedua tanganku membawa jenazah ayah, mataku kehilangan cahaya dan berjalan tanpa memerhatikan sekelilingku, namun aku sadar harus berjalan ke arah kemana Husk berlari. Beruntungnya diriku adalah burung-burung mutasi sedang berfokus pada pangkalan dan tidak ada yang meninggalkan tempat itu, sehingga aku dapat berjalan tanpa hambatan, setelah 3 jam aku berjalan terlihat di bawah sebuah pohon besar David, dan Husk tersungkur di depan tubuh ibu yang terbaring. "Ibu?!" Aku bergegas dan berlari ke arah mereka, langkah kecil-ku berubah menjadi lompatan demi lompatan di udara, dalam beberapa menit aku sudah berada di hadapan mereka. "David!" Aku memanggil adikku 10 meter dari tempat mereka berada, David yang mendengar suaraku perlahan memalingkan suaranya dan berlari ke arah-ku. "KAKAK!" Ujarnya sambil berjalan ke arah-ku, namun setelah 3 langkah dia kembali terdiam melihat ayah yang terbujur kaku di kedua tanganku, air matanya mengalir makin deras membasahi seluruh pakaiannya. Hari itu adalah hari yang paling gelap dalam hidupku, hanya dalam sehari saja dua orang anak menjadi yatim piatu, aku memendam semua rasa sakit hati dan amarahku. Aku kemudian berjalan dan membaringkan ayah di samping ibuku, di atas rumput hijau dan dikelilingi hutan bambu yang begitu lebat. Pohon besar itu seakan menari-nari karena ter-tiup angin sore itu. Langit seakan mengerti kegundahan dan kesedihan hatiku, dia memberikan warna oranye kemerahan memberikan pemandangan indah yang sangat jarang terjadi di masa pasca perang. *** Di bawah terang mentari sore dan awan indah yang terhampar di atas mereka, dua saudara berdiri di samping kuburan kedua orang tuanya, sang adik tersungkur memeluk dua bongkah batu besar dengan tulisan nama kedua orang tuanya di masing-masing batunya. Sedang sang kakak berdiri di belakangnya menunduk, perasaan haru menyelimuti mereka, kenangan demi kenangan semasa bersama orang tua mereka terus mengalir melewati pikiran mereka. Seluruh hutan bambu keriang-keriut setiap kali angin di bulan juni melewati tiap batang dan dedaunnya, bersaut-sautan seperti memberikan lagu terakhir bagi kedua orang tuanya. Seekor anjing besar duduk dengan tegap di sampingnya tanpa mengeluarkan suara apapun, seakan mengerti kesedihan tuannya. Vincent mengepal tangannya hingga mengeluarkan darah, dia sadar bahwa kata-katanya tidak akan mampu menghapuskan kesedihan sang adik yang teramat dalam, sang adik yang berumur 8 tahun harus kehilangan kedua orang tuanya disaat-saat dia sangat membutuhkan mereka. To Be Continued!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD