2

806 Words
Rumah bagaikan tempat berlindung dari rasa lelah dan kepenatan dalam menjalani retunitas kehidupan yang seakan tidak pernah berhenti untuk mendera kesakitan. Lexi menatap kamarnya. Kamar kecil yang tidak sebanding dengan kamarnya dulu. Tidak ada lagi kemewahan dengan tempat tidur besar dan empuk. Hanya sebuah ranjang kecil yang dulu pantas untuk asisten rumah tangganya. "Kenapa semua harus seperti ini," teriak Lexi frustasi. "Aku benci keadaan ini! Aku ingin semua kemewahanku kembali. Aku benci semuanya." Lexi menjambak rambutnya. Dengan hati-hati Lexi berbaring di atas tempat tidur. Ia takut tubuhnya akan tersakiti jika harus tidur di kasur yang jauh dari kata empuk.  "Ini sangat tidak nyaman," keluh Lexi. Mata Lexi perlahan menutup. Ia sangat mengantuk hingga tak memperdulikan lagi rasa tidak nyaman tempat tidurnya. Terlelap dalam bunga tidur yang membawanya keheningan. Laura menunggu di lorong rumah sakit. Ia tidak bisa masuk ke dalam ruang intensive tempat Mamanya di rawat. Ia juga lelah, ingin menangis, ingin membantu, tapi tak bisa melakukan apapun untuk menolong Lexi, kakaknya.  "Kakak kok belum kembali ya," ucap Laura gusar. Terdengar bunyi keroncongan dari dalam perutnya. Ia pun memegang perlahan perutnya yang rata lalu teringat kalau belum makan apapun dari pagi. Bagaimana ia bisa makan jika pikirannya dipenuhi oleh rasa sedih dan khawatir.  Secara perlahan ia pun membuka tas ransel yang berada disampingnya. Mengambil dompet untuk membeli sebuah roti. Hanya satu roti yang bisa dibelinya sekarang. Ia tak memiliki uang yang cukup untuk membeli sepiring nasi. Laura tersenyum. Ia tak boleh putus asa walau kehidupannya sulit. "Aku harus lebih bersyukur atas segalanya. Banyak orang yang memiliki kehidupan yang lebih sulit dan tak memiliki apapun dibandingkan aku." Laura lalu mengepalkan tangannya mencoba memberikan semangat untuk dirinya sendiri. "Semangat Laura, kamu pasti bisa. Semua akan berlalu dan kamu akan lebih bahagia." Langkah kakinya sudah tak seberat sebelumnya. Motivasi yang dibuatnya sendiri seakan memberikannya semangat.  Setibanya di kantin rumah sakit melihat beberapa orang makan dengan lahap menikmati makanan yang tersaji di atas piring. Perutnya berbunyi semakin nyaring, ia kelaparan. Ia pun berjalan mendekati etalase yang menyediakan beberapa roti. "Beli roti apa yaa yang murah," gumam Laura melirik beberapa roti, "aduh uangku ga cukup nih." "Ga ada roti yang murah Laura," ujar seorang wanita berdiri di samping Laura. Mendengar namanya disebut Laura melirik ke samping. Ia pun tersenyum saat mengenali wanita yang merupakan teman kakaknya, Lexi. "Kak Brenda. Kenapa bisa ada di sini?" ucap Laura dengan sumringah. Brenda tersenyum menatap Laura. "Aku mencari Lexi." "Kak Lexi tadi memang ada di rumah sakit, tapi sampai sekarang belum kembali. Tapi kok Kak Brenda tau Mama di rumah sakit?" tanya Laura penasaran. "Sudahlah jangan cerewet dan banyak tanya. Kamu pesan aja makan sana," ucap Brenda mengalihkan pertanyaan Laura. "Ga usah Kak. Aku ga punya uang buat beli makan, aku beli roti aja. Lumayan buat mengganjal cacing-cacing perutku yang sudah berdemo minta dikasih makan." "Aku bilang kamu jangan cerewet lagi dan pesan makan saja. Kasihan cacing-cacing peliharaanmu yang sudah minta makan dari tadi." Laura menggelengkan kepalanya, "ga Kak. Aku ga mau pesan makan. Biar aja cacing-cacing peliharaanku ga makan supaya bisa puasa." "Laura, kamu pesan makan nanti aku yang bayar. Kasihan kamu udah kurus begitu." "Serius Kak." Senyuman mengembang di raut wajah Laura, matanya berbinar saat Brenda mengatakan akan membayar makanan untuknya. "Iya serius. Sudah sana pesan makan yang banyak sekalian pesan kan jus guava untukku," ucap Brenda sambil melangkahkan kaki menuju meja kosong dekat jendela kantin. "Siap Kak Brenda yang cantik." Laura dengan semangat menuju etalase makanan. Setelah menunggu beberapa saat sekarang tangannya sudah dipenuhi dengan nampan dengan banyak makanan. Mata Laura mencari Brenda dan mendapatkan wanita cantik itu melambaikan tangan ke arahnya. Ia pun bergegas menuju ke meja Brenda.  "Kak ini jus guava pesanannya dan ini makanan untuk aku," ucap Laura sambil memberikan gelas jus di depan Brenda.  "Terima kasih cantik," ujar Brenda. "Sama-sama Kak. Harusnya aku yang mengucapkan terima kasih." "Yaa udah makan aja sana yang banyak biar kenyang."  "Iya Kak." Laura langsung melahap makan yang ada dipiringnya tanpa ragu-ragu. Ia sangat kelaparan.  Brenda menatap Laura dengan seringai licik di sudut bibirnya. Ia memperhatikan Laura dengan seksama. Gadis kecil yang berusia 15 tahun itu tidak kalah cantik dari Lexi, ramah dan lebih gampang dimanfaatkan daripada Lexi. Baginya siapa saja yang bisa dimanfaatkan demi keuntungan pribadinya akan ia manfaatkan. Demi cuan semua bisa dilakukannya walau tak bermoral.  Bukan hal sulit bagi Brenda untuk mencari tahu segala hal tentang Lexi yang sedang kesulitan keuangan. Ia tahu Lexi tidak begitu saja dengan mudah dimanfaatkannya dan temannya tersebut pasti akan menyerangnya kembali. Ia sangat mengenal sifat Lexi yang selalu waspada akan setiap tindakannya. Bukan tanpa sebab Brenda datang ke rumah sakit tempat Sila, Mamanya Lexi dan Laura dirawat. Kedatangannya ke rumah sakit bukan mencari Lexi melainkan Laura. Laura target yang mudah untuk dimanfaatkannya.  "Jika bisa mendapatkan dua ikan dalam satu pancingan kenapa harus satu," ucap Brenda dalam hatinya dan sudut bibirnya menyeringai licik menatap Laura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD