Pemuda itu meletakkan kertas-kertas tersebut ke atas meja dan memulai percakapan untuk wawancara kembali.
“Baik, Gita ... enaknya aku panggil kamu dengan nama saja, oke?”
“Baik, Pak,” jawab gadis itu singkat dan sopan.
“Eh, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Emang udah tua banget?” Niko memprotes.
“Karena, anda adalah atasan saya. Maka wajib hukumnya untuk memanggil dengan sebutan tersebut.”
“Tidak bisa! Mbak Nuning juga bawahan saya, dia memanggil dengan sebutan ‘Mas’,” Jawab Niko berdalih.
“Tapi saya yakin, Ibu Nuning sudah mengenal Pak Niko sejak lama.”
“Benar. Dan kamu juga sudah mengenalku sebagai teman kuliahmu.”
“Kakak kelas ...”
“Oke, kakak kelas. Berarti, aku berhak dipanggil dengan sebutan ‘Mas’.”
“Oke. Sudah cukup?”
“Belum ...”
“Baiklah ...”
“Gita, saya akan menawarkan sebuah jenjang karir baru untukmu.”
“Saya siap menerima perintah.”
“Kamu telah saya pilih sebagai sekretaris pribadi dan juga asisten yang akan membantu semua pekerjaan saya.”
“Baik, selama menyangkut urusan perusahaan.”
“Kamu sanggup?”
“Saya bisa belajar.”
---
Niko kembali bingung, ia tak mengira jika pembicaraannya dengan gadis itu ternyata benar-benar membosankan karena tak ada tendangan balik sama sekali.
Cantik, pintar, genius, cerdas, loyal ... tapi, seperti robot!
Merasa harus memancing bicara gadis tersebut, Niko langsung teringat untuk memberikan pertanyaan,
“Ada yang ingin kamu tanyakan? Ungkapkan saja, dan semua bisa kita bicarakan. Ingat, kamu adalah karyawan, bukan seorang hamba yang hanya mengiyakan perintah majikan.” Gemas, pemuda itu memberi penegasan agar sang gadis lebih komunikatif.
“Ada.”
“Apa?”
“Apa kerja saya dan berapa lama waktu yang harus saya habiskan untuk bekerja?”
“Kamu harus bisa melakukan dan belajar apapun yang terkait kinerja serta mekanisme perusahaan. Menerima laporan harian, bulanan, mengecek penjualan, promosi dan lain sebagainya sesuai dengan tanggungjawabku sebagai Direktur. Waktu kerjamu, sangatlah tergantung pada kesibukanku.”
“Tak terbatas?”
“Tidak bisa diukur dengan jam kerja biasa. Bisa saja sampai malam atau bahkan pagi, tergantung pekerjaan apa yang harus ditangani. Bisa ke luar kota, meninjau kebun, pabrik dan lain-lain.”
“Tapi saya punya jadwal kuliah.”
“Berikan KRS dan jadwal kuliahmu. Pada jam itu, kamu bebas dari pekerjaan apapun.”
“Baik, terima kasih. Dengan tanggungjawab sebesar itu, berapa gaji yang akan saya dapatkan?”
“Berapa yang kamu mau?”
“Sebesar mungkin,” jawab Gita dengan jujur.
“Baiklah, gaji pokok kamu saat ini adalah UMR. Bagaimana kalau kita kalikan saja dengan angka 10?”
Sepuluh kali lipat gaji dan tunjangannya dulu yang hanya menjadi buruh harian lepas! Baru kali ini gadis itu memperlihatkan ekspresinya. Dia terlihat surprise walau hanya sepersekian detik.
“Tidak bohong?”
“Saya berkata apa adanya.”
“Walaupun Pak Niko belum tahu hasil kerja saya?”
“Koreksi, panggil dengan sebutan ‘Mas’, sepertinya lebih mesra. Kembali ke masalah pokok ... saya berani membayar mahal karena sudah tahu kecerdasan kamu. Karena kamu adalah sekretaris dan asisten pribadi, mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang kita ikuti juga akan menjadi tugas bagimu untuk membantuku.”
“Pak Niko, kita harus profesional. Kerja adalah kerja, memberi contekan itu satu hal yang tak ada hubungannya dengan kerja.”
“Mas ...”
“Baiklah kalau tetap memaksa ... Mas.”
“Gita, saya tidak akan mencontek kamu saat ujian nanti. Saya hanya ingin kamu membantu untuk mempelajari mata kuliah itu.”
“Baik, itu adil. Deal ...” tiba-tiba sebuah gerakan tak terduga dilakukan oleh si gadis. Ia berdiri dan mengulurkan tangan untuk menjabat Niko.
“Baik, kita deal. Sekarang kamu boleh pulang. Oh ya, mulai besok, status karyawan kamu sudah di ganti. Kamu sekarang sudah menjadi sekretaris Direktur Utama.”
“Terima kasih.”
“Ganti pakaianmu seperti cara berbusana sekretaris profesional. Konsultasikan dengan Mbak Nuning, lalu kamu berbelanja pakaian yang dibutuhkan untuk itu.”
“Maaf, saya tidak punya uang.”
“Baik.” Niko segera duduk setelah mempersilakan Gita untuk kembali ke kursi. Ia membuka tas kecil yang selalu dbawanya, lalu mencari uang yang ternyata tidak ia bawa.
---
Tak berpikir panjang, ia mengambil salah satu kartu debitnya dan menulis sesuatu di atas kertas. Kemudian ia melambai pada Gita yang lalu berdiri mendekati mejanya.
“Aku tidak membawa uang. Pakai kartu ini untuk berbelanja. Gunakan sejumlah 10 juta untuk semua keperluan pakaian dari atas sampai bawah, luar dan dalam. Jangan lupa make-up juga. Jangan yang norak, cukup hanya untuk berdandan tipis-tipis saja, karena kamu masih kecil, nggak pantes dandan menor.”
Niko memberondong gadis itu dengan berbagai macam instruksi, lalu menyerahkan kartu sambil memberitahu jika tulisan pada kertas adalah nomor PIN yang digunakan.
Kemudian, Niko menghubungi Nuning melalui interkom dan meminta tolong padanya untuk menemani Gita berbelanja kebutuhan pribadi gadis tersebut.
***
Gita benar-benar tak percaya dengan keberuntungan yang terjadi pada dirinya. Betapa tidak? Hanya karena bertemu secara tak sengaja di kelas kuliah yang kebetulan sama-sama mereka ambil, dua hari kemudian ia sudah 'loncat' beberapa tingkatan kelas dalam karier pekerjaan.
Tujuh bulan bekerja sebagai tenaga administrasi yang mencatat keluar masuk barang di gudang, sebenarnya harus ia lakukan karena keterpaksaan saja. Dia baru saja memasuki usia sembilan belas tahun, dimana teman sebaya tengah menikmati kebebasan awal masa dewasa selepas sekolah menengah atas.
Namun bagi gadis yang terlahir dari keluarga miskin itu, semua yang ia dapatkan saat ini adalah sebuah anugerah. Ibunya sakit sepeninggal sang ayah yang mungkin terlalu keras bekerja, sehingga harus menyerah karena penyakit jantung dan meninggal dalam usia yang belum terlalu tua.
Gita sendiri adalah merupakan anak pertama yang sekarang ini menjadi tulang punggung keluarga. Kesempatan saat mendapatkan program pemerintah untuk mengikuti kuliah gratis melalui program Bidik Misi, menjadi satu hal besar yang membuat dirinya sempat berpikir untuk tak pernah dilahirkan saja.
---
Sejak hari pertama sekolah, gadis itu adalah seorang siswa yang sangat cerdas. Semua nilai mata pelajaran selalu berada di atas angka sembilan, sehingga tidaklah mengherankan jika ia tak pernah membayar biaya sampai lulus sekolah menengah.
Berpuluh penghargaan yang didapatkan selama sekolah dalam bidang kompetisi dan olimpiade science, ternyata tak menjamin masa depan yang lebih baik. Jaman sekarang, bisa kerja apa kalau hanya mengandalkan ijazah sekolah menengah saja? Sepintar dan sepandai apapun, tak akan ada satu perusahaan yang mau memberi gaji dan kedudukan untuk seorang anak bau kencur berusia 18 tahun.
Beberapa kesempatan datang padanya untuk memilih jurusan di perguruan tinggi negeri dengan biaya penuh dari beasiswa pemerintah. Awalnya ia sempat ragu melihat kondisi keluarga yang demikian kekurangan, bahkan untuk mencukupi kebutuhan hariannya saja.
Namun karena ingin maju dan melepaskan diri dari kemiskinan; dengan berbagai pertimbangan keringanan biaya transport dan lain-lain, akhirnya ia terpaksa nekad untuk memilih kampus terdekat dari tempat tinggalnya.
---
Uang saku beasiswa yang hanya pas untuk biaya hidup anak kuliah selama satu bulan, akhirnya harus dibagi-bagi untuk makan tiga orang, bayar kontrakan dan transportasi ke kampus. Tentu saja itu tidak cukup. Sehingga solusi terbaiknya memang harus mencari pekerjaan, seberat apapun resiko yang harus ditanggung.
Akhirnya, dengan bantuan seorang tetangga yang bekerja sebagai buruh harian di PT. KOFFIE en CHOCOA van JAVA, ia melamar bekerja di perusahaan tersebut sebagai seorang pekerja harian yang mencatat arus keluar masuk barang di gudang perusahaan.
Hingga sekarang, ia bisa mencicipi bangku kuliah walau harus menjalaninya dengan pontang-panting akibat pekerjaan dan kewajiban mengurus ibu serta adiknya. Jadwal kerja dan atasan yang kadang menjadikan dirinya kesulitan untuk mendapatkan dispensasi, juga menjadi tekanan tersendiri bagi dirinya yang hanya seorang buruh upahan kecil.
---
Dan hari ini; dua hari sejak ia bertemu dengan sang ahli waris perusahaan tempatnya bekerja, mendadak saja ia naik pangkat dengan gaji sepuluh kali lipat! Bayangkan ... lima belas juta rupiah akan ia dapatkan setiap bulannya.
Itu merupakan sebuah hal yang sangat besar artinya, karena penghasilan sejumlah itu pasti akan membuat perut keluarganya selalu kenyang tidak seperti saat ini. Dan juga, mungkin bulan depan ia sudah bisa memindahkan ibu dan adiknya ke sebuah kontrakan lain yang lebih layak. Prioritas utama, tentu saja Gita akan segera memeriksakan sang Ibu yang sakit-sakitan.
Gita bukan tak tahu jika Niko itu adalah seorang mahasiswa yang terkenal akan gaya flamboyannya. Bisik-bisik di kalangan mahasiswi mengabarkan jika pemuda tersebut adalah anak seorang diplomat yang kaya. Tapi mereka tidak memiliki pengetahuan yang lebih detil dibanding Gita, karena hanya dengan nama belakangnya ia langsung tahu siapa pemuda itu sebenarnya.
Meski terkenal kaya, trendy dan flamboyan; belum pernah sekalipun Gita mendengar tentang kesombongan si pemuda Niko itu. Berita yang selalu tersiar hanyalah seputar betapa badungnya si cowok ganteng tersebut terkait masalah gadis. Itu saja masih dibumbui dengan cerita drama tentang betapa ia tak pernah sekalipun menyakiti hati gadis-gadis yang ia pacari.
Patah hati, itu mungkin saja. Tapi Niko ini selalu memutuskan hubungan dengan sebuah alasan yang masuk akal. Sehingga mau tak mau, si mantan pacar harus menerima kenyataan dengan ikhlas dan pasrah.
---
Masih bersama Mbak Nuning dan driver perusahaan, Gita memutus lamunannya saat ia harus menunjukkan arah menuju sebuah gang sempit yang akan memasuki rumah kontrakannya.
***