BAB 8 - Rezeki Untuk Gita

1108 Words
Nuning memutuskan ikut turun untuk membantu sang gadis yang tampak kerepotan dengan segala barang belanjaannya. Bertiga bersama sang sopir, mereka menyusuri jalan setapak diantara dua tembok yang bahkan tak bisa dilewati oleh sebuah sepeda motor. Saat  bertemu dan berpapasan dengan seseorang dari arah berlawanan, keduanya harus memiringkan badan untuk memberi kesempatan bagi yang lain melewatinya. Kemudian, akhirnya ... hampir saja air mata menetes dari bola dan kelopak yang spontan saja berkaca, karena air hangat yang merembes seolah tak bisa lagi terbendung. Nuning segera menarik napas panjang untuk menetralisir keharuannya, ketika melihat kondisi yang dinamakan oleh sang sekretaris baru dengan nama rumah kontrakan. Ditengah rimba beton gedung megah kota itu, ternyata masih ada sebuah bangunan begitu sederhana yang sebenarnya tak layak untuk dihuni. Rumah kecil yang mungkin hanya berukuran 20an meter persegi, terlihat terjepit diantara tiga tembok di kiri kanan dan belakang, sementara pintu depan langsung tertuju pada ‘gang senggol’ yang ia lewati. Lalu, seorang anak laki-laki tanggung berusia sekitar 12 tahun keluar menyambut mereka. Tampaknya, ia mendengar keramaian yang terjadi di depan pintu rumah dan langsung mendekat karena ingin tahu. "Loh, kamu nggak sekolah, Ndi?" "Sudah pulang, Kak. Kan lagi ujian semester," jawab anak itu yang sepertinya adalah adik Gita. "Ah, iya ... kakak sampai lupa. Tolong bantu kakak untuk membawa ini. Ibu sedang apa?” "Biasa, kak. Lagi berbaring. Mungkin sekarang sudah tidur lagi setelah tadi Andi suapi dengan bubur." ---   Anak laki-laki itu memandang dengan sinar mata berbinar saat satu karung beras, mie instan dan beberapa bungkus makanan diturunkan dari bahu sang driver. Dengan sigap, bocah kurus yang seperti kurang gizi itu membantu mengangkat bawaan mereka untuk dimasukkan ke balik sekat papan yang memisahkan ruang depan dengan bagian belakangnya. Sekarang Nuning jadi paham, kenapa tadi Gita melakukan hal seperti itu saat berada di mall tempat mereka berbelanja. ***   Dua jam sebelum sampai di rumah Gita. "Please, Mbak ... Mereka sangat membutuhkannya. Saya nggak akan pernah bisa mengenakan pakaian-pakaian yang begini bagus jika harus menatap mereka yang sangat, sangat berkekurangan ..." Tatapan memohon dari si gadis dan bisikan lirihnya, telah membuat hati Nuning meleleh untuk mengabulkan permohonan Gita. Gadis itu dengan sangat telah meminta kepadanya sambil mempermalukan dirinya sendiri, untuk menukar budget belanja satu stel pakaian dengan beberapa kebutuhan pokok dan pakaian sederhana lain bagi keluarganya. Gita tidak bohong, karena adiknya juga mengenakan pakaian rumah yang hanya satu level lebih baik di atas para pemulung. Dan kini, Nuning merasa tergerak untuk segera menengok sang Ibu yang ia duga sedang berada dalam keadaan sakit. Dan tak salah pemikirannya. Di atas pembaringan besi yang terlihat sudah sangat usang; seorang wanita kurus kering yang sebenarnya masih menyisakan kecantikan masa mudanya, terbaring dengan lemah di sana saat Nuning memasuki apa yang disebut dengan kamar. "Selamat siang, Ibu ..." "Selamat siang, Bu ... maaf, ibu siapa?" "Saya karyawan yang bekerja di perusahaan Gita." "Ohhh ... atasan anak saya? Apakah Gita membuat suatu kesalahan?" Wajah itu begitu cemas saat melontarkan pertanyaan. "Tidak, Bu ... Gita malah mendapatkan promosi jabatan," jawab Nuning penuh simpati. Sekilas, ia sempat menangkap kekhawatiran sang Ibu yang takut jika mereka akan kehilangan sumber pendapatan. "Oh, syukurlah ... maaf, saya sakit-sakitan semenjak ditinggalkan ayah Gita. Dan beginilah, akhirnya hanya merepotkan si anak saja.” "Ibuk ... ini Gita belikan s**u dan roti tawar yang seperti ibu inginkan." "Oh ... terima kasih, Nak. Ibu hanya bisa merepotkan dan membuat kamu susah saja." "Ibuk nggak boleh ngomong seperti itu. Ini ada Bu Nuning, sekretaris Direksi di kantor Gita." "Ohhh ... maaf, jadi merepotkan ..." Beberapa saat disitu, Nuning tergerak untuk memberikan sesuatu yang ia bungkus dalam sebuah amplop pada sang Ibu, yang lalu diterima dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Setelah itu sang sekretaris senior pamit sambil menyuruh Gita untuk menemuinya besok, sebelum jam kantor dimulai. *** Sampai di kantor, Nuning segera melaporkan secara lengkap perjalanannya yang jadi molor waktu, karena harus mengantarkan Gita sampai ke rumahnya. Fokus utamanya kini, adalah menginfokan bagaimana kondisi keluarga Gita yang sebenarnya. Dan ceritanya diakhiri dengan sebuah pertanyaan kepada Niko, “Apa yang dapat kita lakukan untuk gadis itu? Tapi sebelumnya, aku minta maaf jika harus bertanya sesuatu.” “Tentang apa?” Niko berbalik bertanya. “Mas sudah Niko mengenal gadis itu sebelumnya?” “Belum, karena aku baru satu kali bertemu dengan dia sebelum hari ini.” “Dimana?” “Di kelas yang aku ikuti. Mata kuliah tersebut adalah keikut sertaanku yang ketiga, karena dua kali selalu mendapatkan nilai E.” “Lalu?” Niko segera menceritakan pertemuannya dua hari yang lalu, juga saat ia membuntuti sehingga tahu jika gadis itu bekerja di tempat ini. “Karena kecerdasan dan keseriusannya, tiba-tiba saja aku mempunyai gagasan untuk menjadikan dia sebagai sekretaris pribadiku.” Lalu, pemuda itupun mengakui jika sebenarnya alasan yang lebih kuat malah bukan tentang pekerjaan ini, tapi lebih kepada kebutuhan Niko untuk meminta tolong Gita jika sewaktu-waktu sang dosen akan memberinya pertanyaan via aplikasi chating.         “Begitulah, Mbak ... jujur, pertimbangan pertamaku karena hanya untuk membalas paksaan Opa dan Mama. Jadi, tiba-tiba saja aku teringat Gita yang sangat jago dalam mata kuliah itu.” “Oh, begitu ... tapi akhirnya jadi kebetulan. Karena sekarang kita jadi tahu jika ada seorang gadis luar biasa yang bekerja di sini menurut hasil semua test.” “Iya, aku juga kaget.” “Mas Niko ... dia adalah sebuah aset berharga. Berikan kesempatan, maka perusahaan ini pasti akan semakin maju jika ia sudah memahami seluk beluk bisnis kita,” demikian Nuning memberi saran. “Mbak Nuning siap membimbingnya?” “Siap, Mas Niko. Karena dia pasti akan meringankan pekerjaanku.” “Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu dia?” “Sebentar, saya pikirkan ...” ---   Beberapa saat Nuning diam sambil mereka-reka beberapa kemungkinan, lalu ia meminjam interkom yang berada di atas meja Niko dan langsung memencet beberapa tombol untuk melakukan panggilan internal. Beberapa saat, Ia berbicara terkait sebuah rumah dinas pada seseorang diujung sana, lalu memberi petunjuk ini dan itu. Kemudian, Nuning mengakhiri pembicaraan dengan sebuah perintah singkat, “Besok usahakan agar sudah siap ditinggali. Saya butuh secepatnya agar bisa segera menempatkan sekretaris pribadi CEO di rumah itu. Terima kasih.” Mengakhiri sambungan interkom, Nuning kembali menghadap pada Niko dan berkata dengan tegas, “Rumah dinas yang ada di belakang kantor ini masih tersisa satu unit. Besok bisa segera di tempati.” “Oke ... Makasih, Mbak ... mungkin sebaiknya Mbak Nuning saja yang besok memberitahukan langsung pada Gita. Kalau aku ... eh, nggak enak. Nanti malah dikira mengada-ada. Tahu sendiri, kan? Gadis itu sangat keras hati dan kaku.” “Iya, Mas. Biar besok saya yang mengurusinya. Kebetulan, aku sudah menyuruhnya untuk menemui sebelum jam kerja besok pagi.” ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD