"Mas Niko saya tinggal atau ... " tiba-tiba sang sekretaris memecahkan konsentrasi sang CEO pelonco yang baru akan memulai debutnya pada hari itu.
"Tinggal saja Mbak Nuning," jawab pemuda itu dengan tegas.
"Baik, Mas ... saya permisi."
"Iya Mbak Nuning, terima kasih."
Setelah mengucapkan itu, Niko menunggu hingga sekretaris kepercayaan sang Opa pergi meninggalkan ruangan dan kembali menutup pintu dengan rapat.
---
Pemuda itu menoleh pada tamunya, lalu mempersilakan duduk di depan meja kerja yang sedemikian mewah karena terbuat dari kayu jati pilihan berusia tua.
"Duduk, yuk ... silakan," begitu gaya sok akrab, si Boss baru pada sang tamu untuk mempersilakannya duduk. Sementara, ia memutari meja dan menempatkan diri secara nyaman di kursi kebesaran warisan sang kakek.
"Hallo, Gita ... Selamat pagi ..."
Mendadak Niko bangkit dari kursi setelah ingat jika ia belum melakukan formalitas sebagai gaya standar seorang pimpinan perusahaan kepada tamu kehormatannya. Lalu segera sang CEO mengulurkan tangan kepada tamunya setelah berucap demikian.
"Selamat pagi ..."
Wajah cantik di depan Niko menyambut uluran tangan yang ia anggap sebagai sambutan selamat datang.
"Kamu nggak kaget aku sekarang berada di sini?" Tanya Niko membuka percakapan berikutnya, sambil memperlihatkan senyum penuh percaya diri yang tak mau kalah dengan sikap gadis di depannya.
Tak cukup hanya itu, ia juga melakukan sebuah aksi dengan bergerak duduk kembali secara elegan menurut angan-angannya, lalu menyandarkan diri di kursi Direktur yang empuk berlapis kulit mahal seharga puluhan juta rupiah.
"Enggak," jawab Gita dengan santai, namun tetap sopan.
"Kamu nggak heran?"
"Enggak ... kenapa?"
"Bukankah aku yang seharusnya berkata kenapa? Mengapa kamu nggak kaget atau heran aku ada di sini?" Niko bertanya sambil mengerutkan kening heran melihat sikap sang gadis yang biasa-biasa saja dan jauh dari rasa takjub seperti yang ia harapkan.
"Karena, nama belakang kamu Narendra. Dan sewaktu di kelas, aku langsung tahu kalau kamu adalah bagian dari keluarga pemilik perusahaan dimana aku bekerja."
---
Ambyar!! Kejutan yang telah ia rencanakan semalaman dengan efek drama percintaan seperti yang pernah ia lihat di sebuah film, akhirnya menjadi sia-sia karena kecerdasan sang tamu yang terlihat begitu ahli dalam menganalisa sesuatu.
Namun secercah harapan bersinar dalam hatinya ketika tahu jika gadis itu ternyata mengingat namanya saat kemarin ia mencoba memperkenalkan diri di dalam kelas yang begitu heboh.
"Ohh ... begitu. Baiklah, mungkin hanya kebetulan saja kamu bisa menebak dengan benar. Oke, once more questions ..." si Direktur utama dadakan sekarang berlagak meninggikan kualitas penampilan dengan mengeluarkan kosa kata pebisnis internasional.
Lalu lanjutnya lagi ia berkicau, "Beritahu saya, kenapa kamu juga tidak heran saat dipanggil kesini. Emm ... maksudku, kenapa aku bisa tahu jika kamu bekerja sebagai karyawan di sini dan memanggilmu kemari? Bukankah itu seharusnya menjadi sebuah pertanyaan untukmu?"
"Tidak, aku nggak heran," jawab Gita dengan tenang.
"Kenapa?"
---
Kali ini, si pemuda sudah melupakan gayanya sebagai seorang eksekutif muda. Wajahnya terlihat surprise, tapi jauh dari kesan elegan. Jika ia dilihat orang sedang bertingkah seperti saat ini, pastilah orang lain akan mengira kalau Niko hanya sedang bergaya sebagai pimpinan perusahaan yang gagal menunjukkan karakternya.
Betapa tidak, karena wajah yang biasanya terlihat bandel itu sekarang memperlihatkan penampilan lugu saking terkejutnya.
"Karena, dua hari yang lalu kamu mengikuti bis kota yang aku tumpangi hingga sampai di depan kantor. Kebetulan aku juga melihat saat kamu mengamatiku menyerahkan surat dispensasi dan melakukan absensi. Jadi analisaku tadi saat melihat dirimu berada di ruangan ini sudah pasti tepat."
Niko membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Dua kali ia melakukan hal seperti itu, namun belum juga ada kata yang keluar sedikitpun dari bibirnya.
---
Akhirnya harga diri pemuda itu mulai kembali lagi memasukinya secara perlahan, setelah ia ingat akan tujuan sebenarnya mengundang karyawan yang satu ini.
"Baiklah, basa-basi sudah selesai. Terima kasih untuk semua analisamu mengenai penilaian tentang diriku. Sekarang kita mulai saja untuk perkenalan resmi," demikian sang CEO berbicara untuk mengambil alih kendali pembicaraan yang tadi sempat terlepas dari kontrolnya.
"Perkenalkan, saya Nikholas Arya Narendra. Mulai hari ini dan selanjutnya, akulah yang akan memegang kendali perusahaan ini."
Berucap seperti itu, Niko bukan bermaksud untuk jumawa. Hal tersebut ia lakukan hanya sebagai sebuah upaya untuk mengangkat harga dirinya yang tadi sempat terpuruk.
Wajah di depannya masih tetap datar, tanpa ekspresi apapun. Gadis yang kecantikannya luar biasa itu tampak menyimak, tapi tak ada sedikitpun kekaguman atau bahkan upaya mengambil hati pada mimik muka ataupun sorot mata. Ia hanya menunggu kata-kata selanjutnya dari pimpinan level puncak, yang kini sedang berkenan untuk menerima kedatangan seorang anak buah magang.
Mendapatkan reaksi yang sama, Niko kembali mati gaya. Tak kurang akal, ia mengambil lembaran kertas di atas meja yang tadi sudah dipersiapkan oleh Nuning, lalu membacanya sebentar.
Beberapa saat, ia meneruskan bicaranya,
"Hmm ... Andrea Gita Arshavina. Jenis kelamin wanita, umur 19 tahun. Bekerja sebagai tenaga administrasi gudang ... koreksi jika aku salah," demikian Niko memulai aksinya lagi.
"Benar."
"Baiklah ... tahukah kamu kenapa aku memanggilmu kemari?"
"Siap menjawab. Saya pikir, anda akan memberikan sebuah promosi jabatan. Maaf, koreksi ... bukan anda yang memberi promosi, tapi perusahaanlah yang akan memberikan." Gita menjawab dengan tenang.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
---
Sekarang, sang Dirut menjadi lebih tenang dalam menerima jawaban dari gadis tersebut. Meskipun sempat terkejut, tetapi Niko berusaha agar tampak biasa saja.
"Saya berpikir demikian, karena beberapa alasan. Satu, pagi tadi saya dipanggil untuk wawancara dengan kepala bagian HRD. Yang kedua, saya disuruh menghadap sekretaris direksi. Lalu yang terakhir adalah anda, CEO perusahaan sendiri yang mewawancara saya."
"Bagus, saya suka dengan kecermatan analisamu, pertanyaan selanjutnya ..."
Belum juga Niko mulai melemparkan pertanyaan selanjutnya, terdengar ketukan pada pintu ruangan tersebut. Terlambat bagi pemuda itu untuk bereaksi, Gita sudah berdiri dan membukakan pintu.
Nuning mengangguk pada sang gadis untuk berterimakasih, lalu melangkah ke meja atasannya. Ia menyerahkan lembaran kertas, bicara sedikit dengan perlahan dan kembali berjalan keluar sambil tersenyum dan mengangguk pada Gita.
---
Masih tetap duduk di kursi nyaman, CEO yang baru akan mulai bekerja itu membuka-buka kertas yang diberikan oleh sekretaris kakeknya. Dan betapa terkejutnya ia ketika menyisir satu demi satu baris kata dalam laporan yang ia terima tadi.
- Test IQ : 168 (mendekati genius)
- Test EQ : Emosi sangat stabil, mengedepankan logika. Sangat pandai mengendalikan diri.
- Kepribadian : Jujur, cerdas, Loyal, sangat bisa dipercaya, Taktis, serta apa adanya.
Niko mengulang dan mengulang kembali apa yang ia baca. Sebenarnya ia bukanlah seorang psikolog atau mahasiswa psikologi. Namun dengan tes sederhana yang sebelumnya ia minta dari bagian HRD, ia bisa memahami dengan jelas bagaimana karakter dan kecerdasan dari sang gadis yang telah ia pilih untuk menjadi sekretaris ataupun asisten pribadinya nanti.
***