Devita melirik jam tangan yang berada di tangan kirinya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, sudah 5 jam mereka terus bekerja. Ini adalah pertama kali bagi dia sesibuk itu di kantor, Devita merenggangkan badannya sambil memijat sendiri lehernya yang terasa sedikit tegang.
Vicky yang baru saja meletakkan tumpukan dokumen yang telah Devita sortir terlihat berjalan menghampiri Devita, dengan lembut dia menawarkan diri untuk memberi pijatan kecil ke leher Devita.
"Sini kubantu," ucap Vicky sambil menyentuh leher bagian belakang Devita. Dia sadar jika hari ini Devita sudah bekerja keras dengan menyortir tumpukan dokumen penting seorang diri, sedangkan dia yang masih belum terbiasa dengan berbagai jenis dokumen, hanya membantu Devita memindahkan tumpukan dokumen itu.
"Tidak usah Pak Vicky," balas Devita menolak halus tawaran dari Vicky.
"Sudah, tidak apa-apa, kamu memang membutuhkan ini, sejak tadi kamulah yang paling bekerja keras, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku," ucap Vicky sambil memijat leher Devita dengan lembut.
Mendengar itu, Devita pun menerima tawaran dari Vicky, dia lalu bersandar di kursinya dan menikmati pijatan yang diberikan Vicky.
"Devita, maaf karena sudah merepotkanmu di hari pertamaku kerja."
Vicky sedikit merasa bersalah kepada Devita, walaupun sudah menjadi kewajiban Devita untuk bekerja. Namun pekerjaan ini seharusnya dilakukan oleh beberapa orang secara bertahap.
Sedangkan hari ini pekerjaan beberapa orang itu dia serahkan kepada Devita, bukan tanpa alasan, saat ini hanya Devita yang bisa Vicky percayai.
"Tidak apa-apa Pak, ini juga sudah menjadi tugasku, malah sebenarnya aku yang harus minta maaf kepada Pak Vicky karena tidak mengerti apa yang harus aku kerjakan, sehingga setiap hari tumpukan dokumen ini semakin menumpuk tanpa penyelesaian," balas Devita.
Sikap lembut dan ramah Vicky membuatnya jatuh hati kepada Vicky, tidak hanya karena Vicky tampan. Tapi sikap yang di tunjukkan Vicky kepadanya juga menjadi salah satu faktor yang membuatnya menyukai Vicky.
Devita sendiri sadar jika cintanya hanya akan bertepuk sebelah tangan, apalagi Vicky tadi juga sudah memperjelas kepada Devita bahwa dia sudah bertunangan.
Hal itu juga yang membuat Devita akhirnya menerima tawaran Vicky memijat lehernya, dia tahu ketika Vicky menawarkan itu. Hanya sebagai bentuk perhatian Vicky kepada dia sebagai karyawan di perusahaan itu dan tidak lebih.
Setelah menerima pijatan dari Vicky, rasa tegang di leher Devita perlahan menghilang. Mereka berdua lalu melanjutkan pekerjaan mereka yang sempat tertunda.
Di luar ruangan Manda datang mengunjungi Vicky, dia saat ini sedang berbicara dengan salah seorang karyawan dan meminta izin untuk bertemu dengan Vicky. Semua karyawan di tempat itu tentu saja sudah mengenal Manda sebagai anak Aditya Mahardika yang juga adalah tunangan dari CEO baru mereka.
Manda sudah beberapa kali menemani ayahnya ketika datang ke perusahaan ini. Namun, karyawan itu tetap menahannya karena pesan yang ditinggalkan Vicky tadi sudah jelas, bahwa dia tidak ingin diganggu.
"Siapa yang Vicky temui di ruangan itu?" Tanya Manda kepada karyawan di depannya.
"Pak Vicky lagi meeting dengan Ibu Devita, manager marketing di perusahaan ini," jawab karyawan tersebut dengan sopan.
"Manager marketing?" gumam Manda, dia kembali mengingat ketika dia dulu datang bersama ayahnya ke tempat ini. Seingatnya waktu itu ayahnya sempat memperkenalkan Manda dengan manager marketing di sini.
"Ah, wanita cantik itu," gumam Manda yang akhirnya bisa mengingat sosok Devita.
"Sudah berapa lama mereka di dalam?" Tanya Manda dengan ekspresi wajah khawatir.
Karyawan tadi langsung melirik jam dinding yang berada tidak jauh dari tempatnya. "Sudah lima jam lebih," jawab karyawan itu.
"Lima jam lebih?! Apa yang mereka lalukan?!" seru Manda, dia mulai panik dan dengan cepat langsung bergegas menuju ruangan Vicky.
Melihat Manda menuju ruangan Vicky, karyawan wanita tadi langsung mengejarnya. “Nona Manda!” panggilnya. Dia takut jika Vicky akan marah karena tidak mengikuti perintahnya.
Tapi Manda sudah lebih dulu lari dan tidak terkejar lagi. Tanpa mengetuk, Manda langsung membuka pintu ruangan Vicky yang tidak terkunci saat ini. Karena sejak makan siang, Vicky tidak lagi mengunci pintu ruangannya.
"Vicky!" Panggil Manda dengan suara nyaring.
Vicky yang terkejut sontak menoleh ke pintu yang dibuka tiba-tiba.
"Manda?!" ucapnya terkejut, dia lalu melirik jam dinding yang berada di atas pintu masuk ruangannya, di mana waktu menunjukkan sudah pukul setengah empat sore.
"Ah... sudah selama itu ya," gumam Vicky ketika menyadari jika mereka sudah bekerja selama 5 jam lebih.
Dari belakang tampak karyawan wanita tadi berhasil mengejar Manda, dia pun langsung meminta maaf kepada Vicky.
"Tidak apa-apa dia tunanganku," balas Vicky sambil tersenyum kepada karyawan tadi.
Mendengar jawaban Vicky, karyawan tadi bernafas lega, dia lalu mohon pamit kepada Vicky dan Manda.
Devita yang sedang menyortir dokumen langsung beranjak dari duduknya, dia tersenyum menatap manda dan langsung menyapa Manda yang sedang berdiri di depan pintu ruang kerja Vicky.
"Halo, Nona Manda," sapa Devita sambil sedikit menunduk.
Manda membalas sapaan dari Devita “Halo Kak Devita,” dengan tersenyum samar, dia lalu melihat ruangan kerja Vicky yang kini penuh dengan dokumen yang bertumpuk. Beberapa kertas bahkan dibiarkan tergeletak di lantai ruangan itu.
Manda sudah sering datang ke ruangan ini, dan ini pertama kali dia melihat ruangan ini seperti kapal pecah.
"Manda, maaf aku lupa jika sudah berjanji menjemputmu setelah pulang kuliah,"ucap Vicky yang merasa bersalah kepada Manda karena sudah melupakan janjinya.
"Iya, tidak apa-apa," jawab Manda berusaha tenang dengan pikirannya yang sudah mulai kemana-mana.
"Tapi... Vicky, ada apa ini?" Tanya Manda seraya melihat ruangan Vicky yang berantakan.
"Kami sedang membuat rencana penjualan, dan itu butuh data perusahaan beberapa tahun terakhir, karena itulah tempat ini menjadi seperti ini," balas Vicky yang lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Manda menutup pintu ruangan kerja tunangannya itu dan mulai melihat dokumen yang tersebar. Manda sendiri saat ini sedang mengambil jurusan manajemen bisnis, jadi setidaknya dia bisa membaca grafik dan data yang tertera di dokumen.
Gadis manis itu lalu menuju ke tempat Devita, dan mengamati apa yang Devita kerjakan.
Sedangkan Devita sendiri tetap fokus mengerjakan pekerjaannya. Manda menjadi merasa bersalah karena sudah memikirkan yang tidak-tidak tentang Vicky. Dia pun ikut bergabung dengan berada di sisi Devita.
Tak berselang lama Vicky juga menghampiri Devita, dia lalu mengambil beberapa berkas yang telah selesai dikerjakan oleh Devita.
Vicky melihat data yang tertera di salah satu dokumen di tangannya, Perusahaan Tambang di Kalimantan yang berkantor pusat di Jakarta, dari data yang tertulis, perusahaan itu membutuhkan 25 unit armada alat berat, dengan nilai transaksi 33 Milyar Rupiah. Sudah lima bulan Devita mencoba menjual di tempat itu, namun selalu menemui jalan buntu.
Di berkas itu terdapat tiga nama beserta nomor ponsel mereka, Anton - Manager Pembelian, Rudi - CEO, dan Oliver pria asal California Amerika Serikat yang berposisi sebagai owner dari Perusahaan itu.
Vicky sendiri cukup terkejut melihat data yang tertera, tidak mudah untuk mendapatkan nomor telepon dari owner perusahaan, apalagi jika owner itu berasal dari luar negeri.
Hal itu yang membuat Vicky semakin yakin jika CEO yang dulu menjabat benar-benar handal dalam memimpin perusahaan ini.
Ketika Vicky sedang mengetik nomor Oliver di ponselnya, sebuah nama muncul dilayar ponselnya, dan nomor itu sama dengan nomor yang tertera di dokumen.
"Hmm… Uncle Oliver," gumam Vicky sambil tersenyum. Vicky lalu menghubungi nomor tersebut.
Perhatian Devita dan Manda kini tertuju pada Vicky yang sedang menunggu jawaban panggilan telepon. Mereka juga terlihat cemas, karena tahu nilai transaksi ini cukup besar.
"Hello," terdengar suara berat dari seberang sana.
"Uncle Oliver, it's me Vicky," balas Vicky dengan menggunakan Bahasa Inggris.
"Vicky? oh Putra Arthur, bagaimana kabarmu?" jawab Oliver yang langsung mengenali suara Vicky.
Devita dan Manda sedikit terkejut melihat Vicky yang menggunakan bahasa inggris, mereka tidak menyangka jika Vicky akan menghubungi owner dari perusahaan itu.
Devita sendiri sudah merasa sangat kesulitan untuk menghubungi Manager perusahaan itu, sedangkan Vicky kini dengan mudahnya menghubungi pemilik dari perusahaan itu.
Ketika mereka berbicara juga tidak terlihat seperti negosiasi harga antara penjual dan pembeli, itu lebih terlihat seperti seorang anak yang berbicara dengan pamannya.
Setelah berbicara selama beberapa menit, Vicky mengakhiri pembicaraannya dengan Oliver. Sedangkan Devita dan Manda tentu semakin gugup menunggu hasil negosiasi Vicky.
“Bagaimana Pak Vicky?” tanya Devita gugup.
"Dia tidak butuh 25 unit," jawab Vicky dengan nada sedih.
Devita dan Manda ikut tertunduk kecewa mendengar jawaban dari Vicky.
"Tapi dia butuh 240 unit dan p********n tunai!" sambung Vicky sembari tersenyum kepada Devita dan Manda yang berhasil dikerjai olehnya.
"240?!" kompak Devita dan Manda berteriak, mereka berdua saling menatap seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Vicky.
"Iya, 240 unit dengan nilai transaksi sekitar 314 Milyar rupiah," jawab Vicky sambil tertawa melihat ekspresi Devita dan Manda.