Pria Tidak Tahu Malu

1498 Words
Clyde masih mematung di tempat dengan bola mata melebar sempurna, dia masih terkejut dan tak habis pikir karena pria tua di depannya yang Ivy panggil guru, mengetahui identitas dirinya sebagai putra mahkota. Kenapa bisa orang itu mengetahuinya? Benak Clyde penuh dengan tanda tanya. "Jangan memasang ekspresi wajah seperti itu, Yang Mulia. Anda sepertinya sangat terkejut." Clyde meneguk ludah, sebisa mungkin bersikap biasa di depan pria misterius tersebut. "A-aku terkejut mendengar ucapan Anda. Padahal sama sekali tidak benar. Mana mungkin aku seorang putra mahkota. Putra mahkota pasti sedang ada di istana sekarang." Clyde terkekeh di akhir ucapan, mencoba bersikap sesantai mungkin meski kenyataannya di dalam d**a jantungnya berdetak cepat bagai sedang lari marathon. Xiao Lian mengulas senyum tipis, senyum penuh makna yang tak bisa diterka artinya oleh Clyde. "Saya tahu semua hal tentang Anda, Yang Mulia. Jadi, percuma mengelak. Tapi tidak masalah jika Anda tidak ingin mengakui identitas Anda yang sebenarnya, saya memaklumi. Hanya saja satu hal yang ingin saya minta dari Anda." Tatapan Clyde masih tampak syok, pria tua di depannya sangat berkharisma dan bicara dengannya entah kenapa membuatnya sangat gugup dan salah tingkah. "A-apa itu? Dan tolong jangan memanggilku Yang Mulia. Aku bukan orang yang harus dihormati begitu." Clyde mencoba terus mengelak karena dia tahu akan berbahaya jadinya jika sampai ada yang mengetahui identitas aslinya. Xiao Lian kembali menanggapi dengan senyum. "Saya tidak berani bersikap kurang ajar di depan Anda, Yang Mulia. Kembali pada perkataan saya tadi, saya ingin mengutarakan sebuah permohonan pada Anda." Karena Clyde tahu percuma dia terus mengelak di depan orang yang sepertinya memang tahu persis siapa dirinya, dia pun memilih mengalah. Clyde mengangguk pasrah. "Apa permintaan Anda?" "Padepokan ini merupakan tempat tinggal para anak yatim piatu yang tidak memiliki rumah, orang tua dan juga keluarga. Mereka bersama-sama menetap di sini agar bisa hidup. Mereka sangat bergantung pada Padepokan ini karena itu saya sangat memohon jangan melibatkan Padepokan ini dengan masalah Anda karena mungkin resikonya akan sangat tinggi untuk kami jika sampai kerajaan tahu Anda berada di sini." Clyde mengernyitkan kening karena dia paham betul maksud ucapan pria tua di hadapannya. Orang itu sedang mengusirnya secara halus. "Selain itu, murid saya yang bernama Ivy memang sering berkata kasar dan melakukan tindakan salah. Tapi sebenarnya dia memiliki hati yang baik dan dia rela mengorbankan diri demi kepentingan orang lain. Tidak peduli walaupun dia akan berada dalam bahaya, jika menurutnya itu demi kepentingan orang banyak, dia akan tetap melakukannya. Contohnya saat dia mencuri stempel dari menteri perpajakan. Dia melakukan itu demi kepentingan rakyat kerajaan ini. " Entah untuk keberapa kalinya ucapan Xiao Lian membuat Clyde terbelalak karena terkejut bukan main. "A-Anda tahu Ivy yang mencuri stempel menteri perpajakan?" "Sudah saya katakan saya mengetahui semuanya karena itu percuma Anda mengelak, Yang Mulia. Saya tahu Anda putra mahkota yang melarikan diri dari istana." "Kenapa anda bisa tahu? Siapa sebenarnya anda ini?" Dan untuk kesekian kalinya Xiao Lian mengulas senyum penuh makna. "Saya bukan siapa-siapa, hanya pendiri Padepokan ini. Nama saya Xiao Lian, Yang Mulia." Clyde semakin yakin pria bernama Xiao Lian ini memang bukan orang sembarangan. Entah kemampuan hebat apa yang dimilikinya jika mengingat kemampuan bela diri Ivy yang sangat hebat. Pasti Xiao Lian yang mengajari gadis itu bela diri. "Mungkin akan ada prajurit istana yang mencari Anda sampai ke Padepokan ini. Jika itu benar-benar terjadi, saya mohon Anda ingat permintaan saya tadi. Sekarang sudah malam, selamat beristirahat, Yang Mulia." Xiao Lian pun melangkah pergi. Clyde hanya menatap dalam diam punggung pria tua itu yang terus menjauh hingga menghilang dari hadapannya. "Hah, bagaimana ini? Kupikir tidak akan ada yang tahu identitasku di luar istana, ternyata pemikiranku salah besar. Ada orang yang tahu. Ck, kupikir Padepokan ini tempat yang aman untuk bersembunyi. Sekarang aku harus bagaimana?" Clyde kebingungan bukan main dan alih-alih kembali ke dalam rumah, dia justru duduk melamun di dekat kuda Ivy yang menatap dirinya seolah tahu masalah besar yang sedang dihadapi pria itu. *** Pagi menjelang, Clyde yang kurang tidur karena melamun semalaman itu kini menguap lebar di depan semua penghuni Padepokan yang sedang asyik menyantap sarapan mereka. Clyde meneguk ludah ketika menyadari semua pasang mata kini tertuju padanya. "K-kenapa kalian menatapku begitu?" tanyanya bingung. "Kau sepertinya mengantuk. Apa kau kurang tidur? Ada lingkaran hitam di sekeliling matamu," sahut salah seorang pria yang menjadi penghuni Padepokan. Dengan cepat Clyde menyentuh kelopak matanya, tidak ada cermin di sini sehingga dia tak bisa melihat semengerikan apa penampilannya saat ini. Padahal saat di istana, tidak pernah ada yang berkata demikian, justru dia selalu dipuji dan disanjung karena ketampanannya dan penampilannya yang sempurna. "Ya, bagaimana tidak mengantuk, semalam bukannya tidur, dia malah berkeliaran di luar," celetuk Ivy tanpa menatap wajah Clyde karena gadis itu sedang sibuk dengan makanannya. "Ah, begitu. Kau tidur saja setelah sarapan kalau memang kurang tidur." Miranda yang menyarankan, membuat Ivy melongo mendengarnya. "Hah? Enak saja. Di saat kita di sini kerja banting tulang untuk bisa mencari makan, pria pemalas ini malah enak-enakan tidur? Ck, tidak bisa begitu. Lagi pula dia ini harus pergi sekarang juga. Dia janji hanya menginap satu malam di padepokan kita." Dengan menggebu-gebu Ivy mengingatkan janji yang diucapkan Clyde padanya. "Ivy, kau kejam sekali pada temanmu. Biarkan dia istirahat sebentar lagi di padepokan kita." "Huh, tidak. Janji tetap janji. Orang ini…" Ivy menunjuk wajah Clyde dengan jari telunjuknya. "... harus pergi dari padepokan kita hari ini juga. Aku tidak menerima alasan lagi." "Tadi kau bilang kalian kerja banting tulang demi mencari makan. Memangnya apa pekerjaan kalian?" tanya Clyde santai, seolah ucapan kasar Ivy tidak dia pedulikan dan pengusiran gadis itu dia abaikan sepenuhnya. "Hei, kau dengar tidak? Kau harus pergi dari padepokan ini. Setelah selesai sarapan, kau harus langsung angkat kaki. Apa kau dengar?" Ivy kembali mengingatkan. "Jadi apa pekejaan kalian? Pertanyaanku belum dijawab." Ivy mengerutkan kening, jengkel tentu saja ucapannya diabaikan pria asing yang sialnya sudah menyelamatkan nyawanya. "Kami biasanya menerima misi." Lagi-lagi Miranda yang memberikan jawaban, membuat Ivy memutar bola mata karena sekarang dia percaya memang gadis itu sedang jatuh cinta pada si pria asing. "Misi? Misi apa memangnya?" "Misi apa saja yang diberikan orang-orang pada kami. Setelah menjalankan misi biasanya kami akan dibayar. Dan uang itu kami gunakan untuk makan, juga membeli kebutuhan yang lain untuk kami semua di padepokan." Clyde menatap iba pada orang-orang yang sedang duduk bersamanya. Dari penampilan mereka yang memakai pakaian lusuh menandakan sudah terlalu sering mereka kenakan, dia semakin sadar orang-orang ini membutuhkan bantuan. "Miranda, jangan menjelaskan apa pun padanya. Ingat, dia itu hanya orang asing. Jangan mudah percaya pada orang asing, kau tidak lupa kan pada nasihat guru?" Ivy yang tetap ingin mengusir Clyde dari padepokan, menegur Miranda dengan keras. Dia lalu menoleh pada Clyde yang menurutnya tidak tahu malu karena tetap saja berdiam diri padahal sudah diusir. " Dan kau, tunggu apa lagi? Cepat habiskan makananmu, setelah itu angkat kaki dari sini." Ivy mengulurkan sebuah roti gandum pada Clyde. Roti gandum yang keras dan hambar yang semalam bahkan Clyde harus memakannya dengan susah payah. Clyde meringis, tatapannya tertuju pada roti yang dia benci itu. "Tidak, terima kasih. Aku tidak lapar," tolaknya seraya mendorong tangan Ivy yang sedang memegang roti gandum itu agar menjauh darinya. "Huh, bilang saja kau tidak suka roti gandum ini? Tapi bagus kalau kau tidak mau memakannya, kami jadi tidak perlu berbagi di saat kami juga kekurangan makanan." Ivy lantas menarik tangannya lagi, memotong roti gandum itu menjadi beberapa bagian, dia lantas membagikannya pada beberapa orang yang sudah tak memiliki roti lagi karena habis mereka makan. Satu roti gandum untuk satu orang, mereka sungguh hidup serba kekurangan. Melihatnya membuat hati Clyde semakin iba. "Hei, orang asing. Kau ini bukannya berterima kasih pada kami yang sudah mau berbagi makanan denganmu walau sedikit, eh malah kau menolaknya dengan tidak sopan," gerutu Ivy yang masih kesal dengan penolakan Clyde barusan. Clyde mengulas senyum, sama sekali tak tersinggung karena sepertinya dia sudah mulai terbiasa mendengar ucapan Ivy yang pedas dan kasar. "Jangan khawatir, aku bukan orang yang tidak tahu berterima kasih. Karena kalian sudah baik padaku, suatu hari nanti akan aku balas kebaikan kalian semua. Terutama kau." Gantian Clyde yang menunjuk wajah Ivy dengan jari telunjuknya. "Hah? Memangnya dengan cara apa kau akan membalas kebaikan kami? Kau sendiri tidak punya apa-apa. Bahkan rumah saja tidak punya." "Nanti kau akan tahu dengan cara apa aku akan membalas kebaikan kalian. Tunggu saja. Ngomong-ngomong boleh aku menginap satu malam lagi di sini? Aku penasaran ingin melihat misi seperti apa yang selalu kalian terima untuk mencari uang. Boleh, kan?" Ivy memutar bola mata, benar-benar tak habis pikir ada orang tidak tahu diri seperti Clyde. Sudah diusir malah tetap ingin menginap. "Aku kan sudah bilang kau harus…" "Tentu saja boleh." "Menginap saja di sini, kami senang ada kau di sini." Ivy yang belum menyelesaikan ucapannya yang masih menggantung di tenggorokan itu hanya bisa melongo karena tidak ada yang mendukungnya untuk mengusir Clyde. Saudara-saudara seperguruannya malah dengan tidak sopan memotong ucapannya dan dengan serempak mengizinkan Clyde untuk tetap tinggal. Ivy hanya bisa mengepalkan tangan menahan kesal, ah… rasanya dia ingin berteriak sekencang mungkin untuk mengutarakan kekesalan yang dia rasakan kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD