BAB DUA BELAS

3277 Words
Clyde hanya bisa meringis saat melihat makanan yang kini terhidang di depannya. Roti gandum yang terlihat keras dan juga entah apa bumbu yang disediakan di sebuah wadah kecil, dari aromanya seperti kacang tanah sedangkan Clyde tak menyukai semua makanan yang berbahan kacang tanah.  Clyde menatap ke sekeliling, dia melihat semua orang yang tidak lain merupakan penghuni padepokan seperti Ivy, terlihat begitu lahap menyantap makanan mereka. Padahal roti gandum itu begitu keras sehingga butuh kekuatan ekstra untuk menggigit saking keras dan alotnya roti tersebut.  Ada banyak anak kecil yang ternyata menetap di padepokan itu. Jika dihitung ada sekitar enam anak-anak. Gadis muda pun ada yang terlihat seumuran dengan Ivy, maupun yang lebih tua dan lebih muda dari Ivy. Walaupun pria sepertinya lebih mendominasi di dalam pedepokan tersebut.  Saat tatapan Clyde tertuju pada Ivy yang juga sedang lahap menyantap makanannya, Clyde hanya bisa meneguk ludah. Pantas saja gadis itu begitu memuji rasa roti miliknya ternyata sehari-hari dia memakan makanan yang menurut Clyde tak layak untuk dimakan. Dia jelas tak mau mencicipi sedikit pun rasanya karena itu dia mendorong dengan perlahan agar piring berisi roti gandum dengan selai kacang itu sedikit menjauh darinya.  Tanpa pria itu sadari seseorang melihat tindakannya tersebut, dia adalah Miranda yang sejak dikenalkan oleh Ivy pada Clyde selalu memperhatikan pria itu seolah dia tertarik padanya.  Bagi Miranda, sosok Clyde merupakan pria tampan yang baru pertama kali dia lihat karena selama ini walau dia sudah sering melihat lawan jenis bahkan berinteraksi dengan mereka karena pria-pria yang dia maksud merupakan para pria yang tinggal di padepokan bersamanya, baru kali ini dia melihat pria setampan Clyde.  Selain tampan ada sesuatu di dalam diri Clyde yang menurut Miranda terlihat memesona dan penuh kharisma yang membuatnya tak pernah bosan menatap Clyde, dengan kata lain gadis itu jatuh cinta pada Clyde pada pandangan pertama.  Miranda terkekeh pelan begitu melihat tindakan Clyde yang enggan memakan makanan yang dihidangkan untuknya karena itu dengan sengaja mendorongnya agar menjauh.  Ivy yang memang duduk di samping Miranda bisa mendengar dengan jelas kekehan gadis itu, dia pun menyenggol pelan lengan Miranda, akibatnya Miranda terkesiap kaget dan cepat-cepat menoleh ke arahnya.  “Ada apa?” tanya Miranda heran dengan sikap Ivy yang menurutnya hanya mengganggu kesibukannya menatap wajah Clyde. Satu alis Ivy terangkat naik, “Apa yang kau tertawakan? Aku dengar kau tertawa barusan?” Kini kening Ivy mengernyit dalam karena alih-alih menjawab pertanyaannya, Miranda justru kembali terkekeh geli. “Kau ini sebenarnya menertawakan apa?”  Karena dia tahu Ivy tak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban, Miranda pun mendekatkan mulut ke telinga Ivy dan berbisik, “Aku melihat Clyde tidak mau memakan rotinya. Dia menjauhkan roti itu dan ekspresi wajahnya yang meringis menurutku lucu.”  Seketika Ivy menatap ke arah Clyde yang duduk cukup jauh darinya karena pria itu tengah duduk bersama kumpulan para pria yang lain. Gadis itu mendengus saat dia pun melihat Clyde memang tidak sedang makan seperti yang lainnya, dia justru sedang sibuk memperhatikan orang lain yang sedang makan dengan lahap.  Ketika tanpa sengaja mereka saling beradu pandang, Ivy bisa melihat Clyde yang terenyak kaget.  “Kau ini kenapa tidak makan? Tidak suka dengan makanannya?” tanya Ivy lantang yang sukses menarik atensi semua orang menjadi tertuju pada Clyde.  “Iya, benar kau belum memakan rotinya ya? Kenapa rotimu masih utuh?” Seorang pria kini ikut melontarkan tanya, Clyde jadi gelagapan di tempatnya duduk.  “Ah, tidak. Aku …” “Bilang saja terus terang kalau kau tidak suka memakan rotinya karena keras dan alot, kan? Wajar pria keturunan bangsawan sepertimu pasti terbiasa memakan makanan mewah seperti roti lembut yang kau berikan padaku tadi pagi,” celetuk Ivy membuat mulut Clyde yang sudah terbuka kini kembali terkatup rapat. Clyde mendelik tajam pada Ivy yang menurutnya terlalu banyak bicara.  “Oh, jadi kau ini keturunan bangsawan? Iya juga jika dilihat dari penampilanmu, kau memang kelihatan jelas keturunan bangsawan.” Pria yang duduk di samping Clyde ikut menyetujui ucapan Ivy.  Mendapati semua orang kini menatap dirinya, seketika Clyde jadi gelagapan. Dia kini takut identitasnya akan terbongkar sehingga dia pun berusaha memutar otak untuk mencari alasan yang tepat agar orang-orang itu tak curiga padanya.  Clyde tertawa, “Siapa bilang aku keturunan bangsawan? Kalian salah lihat, aku ini berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Tidak ada bedanya dengan kalian,” katanya sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.  Ivy mendengus keras mendengar jawaban Clyde, “Tidak perlu berbohong, kau pikir kami mudah dibohongi? Sekilas pun kelihatan kau ini memang keturunan bangsawan.”  Clyde berdecak karena lagi-lagi Ivy yang mengundang keributan yang menciptakan masalah untuknya. “Jangan sok tahu ya. Aku ini orang biasa. Tidak ada bedanya dengan kalian.” “Coba buktikan kalau begitu,” tantang Ivy. “Baik, siapa takut?” sahut Clyde, tak gentar. “Memangnya aku harus membuktikannya dengan cara apa?”  Clyde mengernyitkan dahi saat melihat Ivy bukannya menjawab dengan suara justru merespon dengan jari telunjuknya yang terarah pada satu arah. Mengikuti arah yang ditunjuk Ivy, Clyde meneguk ludah saat menyadari gadis itu menunjuk pada roti gandum miliknya yang masih utuh di atas piring karena tak dia sentuh sedikit pun.  “Makan roti gandum itu seperti kami memakannya. Baru kami akan percaya kalau kau ini sama seperti kami dan bukan keturunan bangsawan.”  Clyde tahu Ivy sengaja melakukan ini padanya tapi dalam situasi seperti ini dia sudah tak bisa mundur lagi. Lagi pula dia harus melakukan apa pun agar identitasnya tak dicurigai siapa pun. “Baik, aku akan memakan roti ini. Setelah itu kalian semua terutama kau …” Clyde menunjuk Ivy dengan dagunya. “… harus percaya kalau aku ini hanya orang biasa, bukan keturunan bangsawan.”  Ivy mengangkat ibu jari sebagai bentuk persetujuan. Yang terjadi setelah itu adalah Clyde yang dengan terpaksa menggigit roti gandum yang luar biasa keras dan alot hingga dia khawatir giginya akan lepas karena menggigit makanan sekeras itu.  Ivy pun tertawa, puas melihat dia berhasil mengerjai pria yang menurutnya merepotkan karena sama sekali tak berguna selain obat-obatan mujarabnya yang bisa diandalkan.  “Kak Ivy, kasihan dia jadi dipaksa makan gandum yang keras dan alot ini,” ucap Miranda yang tak tega melihat Clyde yang terlihat jelas kesulitan memakan rotinya.  “Biarkan saja. Kita kan sudah berbaik hati memberinya jatah makan di saat kita sedang berhemat begini. Dia malah tidak mau memakannya. Jadi supaya makanannya tidak sia-sia kita berikan padanya, dia harus memakannya.”  Ivy lalu mendekatkan mulut dan berbisik di depan telinga Miranda, “Lagi pula bukankah sekarang dia semakin terlihat lucu?”  Kedua gadis itu pun tertawa karena sudah jelas sedang menertawakan Clyde yang kesulitan memakan roti gandum bahkan pria malang itu berulang kali tertangkap menahan mual karena dengan terpaksa harus memakan selai kacang yang begitu dibencinya.   ***   Ivy, Claudia, Miranda dan Carissa kini sedang berada di sebuah kamar karena mereka berempat memang tidur di kamar sempit itu bersama-sama. Ivy sedang tidur tengkurap dengan atasan yang hanya tertutupi bra saja, dia sedang membiarkan luka di pinggangnya dioleskan salep oleh Claudia agar cepat mengering.  “Kau ini kenapa bisa sampai terluka seperti ini?” tanya Claudia, ikut meringis saat Ivy meringis dan merintih kesakitan karena luka itu kembali terasa perih saat dioleskan salep.  “Ini karena ada prajurit yang pandai menembak. Keahlian menembaknya setara dengan Kak Alvin, buktinya dari kejauhan dia berhasil menembakku. Beruntung karena aku mengenakan ikat pinggang berbahan kulit yang cukup tebal sehingga pelurunya tidak menancap di pinggangku, coba kalau tidak ada ikat pinggang itu.” Ivy menggelengkan kepala karena tak mampu membayangkan bagaimana kondisi pinggangnya jika sebuah peluru menancap di dalam.  “Kau ini selalu saja begini. Kau terlalu ceroboh dan nekat makanya sering terluka. Lihat saja tubuhmu …” Claudia, Miranda dan Carrisa menatap punggung Ivy yang penuh dengan bekas luka sayatan pedang yang gadis itu dapatkan dari pertarungan demi pertarungan ketika menjalankan misi.  “… kau ini padahal wanita tapi tubuhmu banyak bekas luka. Kau harus menjaga tubuhmu, Ivy. Bagaimana nanti kau bisa menikah kalau tubuhmu banyak cacat begini? Tidak akan ada pria yang mau denganmu apalagi kalau pria itu keturunan bangsawan yang selalu menginginkan wanita bertubuh mulus tanpa cela.”  Ivy tertawa mendengar ucapan Claudia yang menurutnya tidak penting untuk dibahas, “Memangnya siapa yang mau menikah dengan pria keturunan bangsawan? Aku tidak pernah berpikir ke sana tuh,” jawabnya cuek.  “Terus, terus, pria seperti apa yang Kak Ivy inginkan menjadi suami kakak?” Dengan penuh semangat Carissa ikut bertanya.  Ivy menerawang seolah tengah memikirkan tipe pria yang dia inginkan untuk menjadi pasangannya kelak. “Dia cukup pria biasa saja sepertiku. Pria yang sederhana tapi kuat. Aku ingin memiliki suami yang sangat kuat sehingga dia bisa melindungiku.”  “Wah, artinya suami kakak harus memiliki ilmu bela diri sangat tinggi ya karena Kak Ivy saja sudah sangat kuat. Bagaimana ceritanya pria itu juga harus bisa melindungi Kak Ivy yang memiliki ilmu bela diri cukup tinggi,” kata Carissa lagi.  “Tentu saja dia harus memiliki ilmu bela diri yang tinggi, setidaknya lebih kuat dibanding aku.” Ivy kembali menerawang menatap ke arah dinding kamarnya yang terbuat dari papan tipis. “Dia juga harus tampan, pintar, bisa diandalkan. Yang paling penting dia juga harus orang yang tenang dan tidak berisik. Kalian tahu kan aku tidak suka keributan, jadi pria yang memiliki mulut berisik seperti wanita jelas bukan pria idamanku.”  “Ngomong-ngomong soal tampan, pria yang kau bawa itu juga tampan,” celetuk Claudia yang sukses membuat Miranda yang sejak tadi melamun karena memikirkan Clyde, kini menatap Ivy dengan serius, khawatir Ivy juga menyukai pria itu sama sepertinya.  “Ah, kalau Clyde sama sekali bukan tipeku. Dia itu payah.” Ivy mengibas-ngibaskan tangan seraya menipiskan bibir. “Dia tidak memiliki kemampuan bela diri dan tidak bisa diandalkan.”  “Dari mana Kak Ivy tahu dia tidak bisa bela diri?” Miranda yang kali ini bertanya. “Itu karena … ah, benar juga. Aku belum cerita bagaimana aku bisa bertemu dengannya kan pada kalian?”  Dengan serempak ketiga gadis itu mengangguk karena Ivy memang belum menceritakan apa pun tentang pertemuan pertamanya dengan Clyde, padahal mereka penasaran bukan main karena Ivy yang terkenal sangat dingin pada orang asing terutama para lawan jenis tiba-tiba saja pulang dengan membawa seorang pria asing. Sangat tidak menunjukan kepribadian seorang Ivy yang mereka kenal.  Mendapati ketiga temannya begitu penasaran, Ivy pun dengan lantang menceritakan kejadian yang membuatnya bisa bertemu dengan Clyde. Namun, kejadian saat mereka terjebak di sebuah gubuk kecil dan Ivy mendapati begitu tersadar dari pingsannya dia sedang berpelukan dengan Clyde, sama sekali tidak diceritakan Ivy pada mereka karena khawatir mereka bertiga akan salah paham padanya dan Clyde. Padahal Ivy sangat yakin Clyde memang tidak melakukan apa pun padanya karena tubuhnya tak merasakan keanehan.  “Hah? Jadi, dia selemah itu?” tanya Claudia, tampak kecewa setelah tahu pertemuan Ivy dengan Clyde bermula dari dia mendengar teriakan Clyde yang dikepung tiga perompak. Berkat Ivy yang berhasil memukul mundur ketiga perompak, Clyde pun berhasil diselamatkan.  “Begitulah. Dia itu memang payah, lemah dan tidak berguna. Satu-satunya yang berguna dari dia ya obat-obatannya yang mujarab itu. Selebihnya …” Ivy menggelengkan kepala berulang kali, “… tidak ada yang bisa diandalkan dari pria pengecut itu.”  “Selain itu, dia juga sangat berisik, mulutnya seperti wanita,” tambah Ivy. “Berarti dia bukan tipe pria idamanmu?”  Dengan tegas Ivy mengangguk untuk merespon pertanyaan Claudia tersebut, “Bukan. Jelas dia bukan tipe pria idamanku, sebaliknya dia itu tipe pria yang harus aku jauhi,” sahut Ivy dengan lantang dan tanpa ragu, membuat Miranda tersenyum kecil karena senang Ivy tak akan menjadi saingannya.  “Wah, sepertinya ada yang senang di sini? Lihat, lihat, dia senyum-senyum sendiri.”  Ivy mendongak dan menoleh ke arah orang yang sedang diejek oleh Carissa, tidak lain merupakan Miranda yang jadi salah tingkah disertai wajahnya yang memerah sempurna karena menahan malu.  Ivy yang tak paham apa pun itu hanya mengernyit bingung, “Kalian ini bicara apa? Memangnya kenapa dengan Miranda?” “Ya ampun, serius Kak Ivy tidak sadar?” Carissa tampak terkejut karena Ivy begitu tidak peka sehingga tidak menyadari apa yang tengah terjadi pada Miranda.  Ivy menggeleng-gelengkan kepala, “Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Memangnya Miranda kenapa? Wajahnya sampai memerah begitu.”  Suara decakan Claudia mengalun, ikut kesal dan gemas dengan ketidakpekaan Ivy, “Itu dia sedang malu karena tertangkap basah senyum-senyum sendiri setelah mendengar pria bernama Clyde itu bukan tipe pria idamanmu.” “Hah?” Ivy semakin melongo tak mengerti apa pun. “Memangnya kenapa Miranda jadi senang?”  Ivy meringis begitu pinggangnya yang tidak terluka dicubit oleh Claudia yang tak kuasa lagi menahan rasa gemasnya pada Ivy yang ketidakpekaannya sudah mencapai level maksimal.  “Masa kau tidak sadar, Ivy? Miranda itu sejak bertemu dengan Clyde selalu memperhatikan pria itu secara diam-diam. Dia sedang jatuh cinta pada Clyde.”  “Issshhh, Kak Claudia! Jangan bilang begitu! Siapa memangnya yang jatuh cinta padanya? Aku tidak …” Walau Miranda mengelak tapi melihat wajahnya yang semakin memerah layaknya kepiting rebus disertai gadis itu yang terlihat panik, Ivy baru sadar yang dikatakan Claudia dan Carissa memang benar. Miranda jatuh cinta pada Clyde dan entah kenapa Ivy merasakan hatinya tidak nyaman sekarang. Dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba merasa seperti itu, hanya saja satu hal yang dia yakini dia tak setuju jika Miranda jatuh cinta pada pria asing itu.   ***   Suara dengkuran halus terdengar di ruangan yang sepi tersebut pertanda semua orang kini sedang tertidur dengan lelap. Ya, semua orang di dalam kamar itu kecuali Ivy. Setelah perbincangannya dengan ketiga teman sekamarnya dan mengatahui Miranda menyukai Clyde, hati Ivy jadi tak tenang entah karena alasan apa, dia pun tak mengetahuinya secara pasti.  Ivy tak bisa memejamkan mata meski dia sudah berusaha sejak tadi. Padahal ketiga temannya sudah tidur dengan nyenyak, mungkin sedang berpetualang di dunia mimpi masing-masing.  Ivy bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk, menatap satu per satu wajah ketiga teman sekamarnya yang tak terusik oleh gerakannya, Ivy memutuskan untuk beranjak pergi dari kamar.  Alasan lain Ivy tak bisa tidur karena dia tidak bisa berhenti memikirkan nasib Alvin yang dibawa pergi oleh prajurit istana karena masalah pedang miliknya yang tertinggal. Selain Alvin, gurunya juga tak terlihat sejak dia kembali ke padepokan. Claudia bilang kemungkinan gurunya itu sedang pergi untuk memastikan Alvin baik-baik saja dan tidak disakiti oleh para prajurit istana yang membawanya.  Ivy berjalan tanpa tujuan hingga kedua kakinya kini membawanya keluar dari padepokan, Ivy kini berjalan-jalan di halaman padepokan yang luas karena sering dijadikan tempat untuk latihan bela diri.  “Malam-malam begini seorang gadis tidak baik berkeliaran di luar. Memangnya kau tidak kedinginan?”  Ivy yang sedang melamun sambil menundukan kepala itu tersentak kaget begitu mendengar sebuah suara dari arah samping kanan. Dia pun menoleh dan terkejut menemukan Clyde sedang duduk di sebuah kursi kayu sambil memberi rumput pada kudanya.  Ivy mendengus, “Kau sendiri sedang apa di luar malam-malam? Kenapa tidak tidur di dalam?”  Clyde mengangkat kedua bahu, “Aku mana bisa tidur, teman-temanmu itu berisik sekali. Mereka mengorok keras sekali.”  Ivy terkekeh, bisa membayangkan betapa tersiksanya Clyde jika mengingat beberapa teman prianya di padepokan itu memang mengorok keras jika sedang tidur.  Ivy lalu menghampiri Clyde dan mendudukan diri di samping pemuda itu karena ada kursi lain yang kosong. Dia ikut mengambil rumput yang tergeletak di tanah karena sepertinya sudah dicabut dari tanah oleh Clyde, lalu ikut memberikan rumput itu pada si kuda.  “Ivy,” panggil Clyde tiba-tiba. “Hm, kenapa?” Ivy bergumam tanpa sedikit pun menatap lawan bicaranya karena dia kini tengah fokus memberi makan kuda Clyde.  “Kau mencuri stempel yang sangat berharga di pemerintahan, memangnya kau tidak takut akan dihukum mati jika sampai ketahuan dan tertangkap?”  Ivy seketika terbelalak mendengar pertanyaan Clyde, dia lalu mendelik tajam pada pria itu, secara terang-terangan menunjukan bahwa dia tidak menyukai pembahasan ini.  “Itu bukan urusanmu,” ucap Ivy penuh penekanan, meminta dengan tegas agar Clyde tidak ikut campur urusannya.  “Bukan begitu. Aku hanya merasa tindakanmu berlebihan. Kalau kau tidak setuju dengan kenaikan pajak, kau kan bisa mengajukan protes. Kau bisa mengirimkan surat keluhan pada pejabat terkait yang menangani masalah pajak rakyat. Kerajaan Wendell walaupun kekuasaan sepenuhnya ada di tangan raja tapi rakyat diizinkan berpendapat, raja pasti akan mendengar keluhan kalian.”  Ivy berdecak jengkel karena tak terima selain ikut campur, Clyde kini mulai berani mengkritiknya.  “Kau bilang raja akan mendengar keluhan rakyat kecil seperti kami?” Ivy kini tertawa lantang sebagai bentuk cemoohan. “Omong kosong macam apa itu? Selama 23 tahun aku hidup di kerajaan ini, yang aku tahu hanyalah raja kita itu pemimpin egois yang hanya mementingkan kemakmuran keluarganya apalagi istrinya.”  Clyde memelotot, luar biasa tersinggung mendengar perkataan Ivy yang jelas-jelas menghina ayahnya. “Jangan bicara sembarangan. Kau berani sekali menghina raja. Apa kau tahu konsekuensinya kau bisa dihukum penggal jika menghina raja?”  Ivy bangkit berdiri dari duduknya karena bicara dengan Clyde membuatnya tersulut emosi, pria itu sangat menyebalkan menurutnya. “Aku tidak bicara sembarangan. Yang kukatakan ini memang fakta. Raja bukan hanya egois tapi dia juga …”  “Ivy!”  Ivy tertegun dan tak melanjutkan ucapannya begitu mendengar suara baritone seseorang yang begitu dia kenal baru saja terdengar dari arah belakang. Dia pun berbalik badan dan terkejut luar biasa begitu menyadari orang yang berdiri di belakangnya merupakan seseorang yang sangat dia hormati.  “G-Guru.”  Mendengar gumaman Ivy, Clyde bergegas berdiri dari duduknya dan ikut menatap sosok pria tua yang terlihat gagah dan berkharisma. Jadi, pria itu yang mengajarkan Ivy bela diri sehingga gadis itu begitu tangguh. Pikir Clyde kira-kira seperti itu.  “Guru sudah kembali? Bagaimana dengan Kak Alvin?” tanya Ivy, kini dia semakin khawatir karena sosok Alvin tak terlihat datang bersama Xiao Lian.  “Alvin baik-baik saja. Besok dia kembali ke padepokan.”  Detik itu juga Ivy mengembuskan napas lega, “Syukurlah,” katanya, lega bukan main. “Lain kali jangan melakukan tindakan ceroboh yang membuat orang lain yang terkena imbas dari perbuatanmu.”  Ivy menundukan kepala, menerima sepenuhnya kejadian yang menimpa Alvin memang sepenuhnya kesalahan dirinya, “Maafkan aku, Guru. Aku janji akan lebih berhati-hati.”  Xiao Lian tidak menyahuti karena fokusnya kini sedang tertuju pada sosok pria yang berdiri di belakang Ivy. “Siapa namamu, anak muda?” tanyanya.  Clyde meneguk ludah, tatapan pria yang sudah pasti memiliki bela diri tinggi itu sukses membuatnya tiba-tiba merasa gugup. “C-Clyde. Namaku Clyde,” jawabnya.  Clyde yakin Xiao Lian kini sedang menatapnya serius seolah lupa cara berkedip, seketika Clyde menjadi salah tingkah. Dia tak sanggup menatap wajah Xiao Lian terlalu lama sehingga dia pun menundukan wajah, lebih memilih menatap sepatunya dibandingkan menatap wajah Xiao Lian yang begitu serius menatap dirinya.  “Ivy, masuklah ke dalam. Ini sudah malam, waktunya tidur.” “Iya, Guru.”  Ivy tak berani membantah jika sang guru sudah memberinya perintah. Dia pun melenggang pergi tanpa berpamitan pada Clyde. Melihat itu, Clyde seketika panik karena tak mau ditinggalkan berdua saja dengan Xiao Lian.  Ivy sudah melangkah jauh, Clyde pun mulai melangkahkan kaki, berniat menyusul gadis itu. Namun …  “Mohon ampuni semua yang dikatakan Ivy tadi. Gadis itu memang ceroboh dan masih polos.”  Clyde terbelalak mendengar ucapan Xiao Lian, terlebih karena pria itu berbicara sangat formal dan sopan padanya.  Berusaha bersikap senormal mungkin, Clyde berkata, “A-Anda ini bicara apa? Aku tidak …” “Saya sedang meminta agar anda mengampuni murid saya, Yang Mulia.”  Bukan hanya terbelalak, Clyde bahkan tercengang dengan mulut yang menganga.  “Kenapa anda terlihat terkejut? Bukankah anda ini Pangeran Clyde Wendell … Putra Mahkota Kerajaan Wendell?”  Clyde hanya bisa mematung di tempat tanpa  mampu berkata-kata lagi. Hanya bisa merutuki karena identitasnya sudah terbongkar. Yang jadi pertanyaannya, kenapa guru Ivy ini bisa tahu identitasnya di saat hanya para pejabat dan orang-orang yang menetap di istana saja yang pernah bertemu secara langsung dengannya? Siapa sebenarnya pria bernama Xiao Lian ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD