Mengorek Informasi

1643 Words
Yang dikatakan orang-orang dari padepokan ternyata memang benar. Orang-orang banyak yang memberikan misi untuk mereka dan setelah menyelesaikan misi tersebut mereka mendapatkan bayaran. Jumlah uang tak seberapa yang mereka gunakan untuk kepentingan bersama di padepokan tersebut. Yang membuat Clyde takjub adalah kerja sama, kekompakan dan solidaritas dari semua penghuni padepokan. Satu orang yang menjalankan misi maka uang yang dia dapatkan akan diserahkan pada Claudia yang bertugas untuk belanja membeli kebutuhan makanan dan memasaknya. Hari ini Ivy pun mendapatkan misi, Clyde penasaran bukan main ingin mengetahui misi seperti apa yang akan dijalankan gadis itu. “Baik, akan saya lakukan dengan baik, Pak. Saya tidak pernah gagal menjalankan misi apa pun,” ucap Ivy pada pria paruh baya yang baru saja menyewanya untuk menjalankan misi. “Baik, jika kau berhasil bayarannya akan sangat besar.” Ivy mengulas senyum ceria. “Tentu, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda.” “Kalau begitu saya tunggu hasilnya. Saya pergi dulu.” “Baik, Pak. Terima kasih.” Setelah pria itu pergi, Ivy menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Dari raut wajahnya terlihat jelas Ivy sedang senang. “Kau mau menjalankan misi seperti apa?” tanya Clyde yang diam-diam mendengarkan pembicaraan Ivy dengan kliennya tanpa sepengetahuan gadis itu. Ivy berbalik badan seraya mendelik tajam karena dia sudah hafal betul pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Dia si pria asing tak tahu malu yang walau sudah diusir dengan kasar berkali-kali tetap tidak mau pergi dari padepokan. Ivy bertolak pinggang dengan angkuh di hadapan Clyde. “Itu bukan urusanmu. Dari pada ikut campur urusan orang lain, seharusnya kau cepat angkat kaki dari sini. Kenapa kau malah masih di sini?” “Karena penghuni padepokan yang lain semua setuju aku menginap di sini satu malam lagi.” Ivy memutar bola mata, jadi teringat pada kekompakan saudara-saudara seperguruannya yang mendukung Clyde dibandingkan dirinya. Ivy merasa dikhianati saudara-saudaranya sendiri sekarang. “Huh, terserah. Tapi ingat malam ini terrakhir kau tidur di sini, setelah itu kau harus pergi. Seandainya orang-orang di sini menahanmu untuk pergi, aku tidak akan peduli lagi. Besok aku pasti akan menyeretmu keluar dari padepokan ini.” Clyde meringis mendengar ucapan Ivy tersebut. “Kau ini kejam sekali, ya. Padahal seorang wanita, tapi tidak punya belas kasihan.” Ivy berdecak. “Jika aku tidak punya belas kasihan sudah aku tinggalkan kau ketika kau diserang perampok. Aku juga tidak akan mengizinkanmu ikut ke padepokan bersamaku. Aku akan bertindak kejam begini pada orang-orang yang tidak kusukai.” Clyde menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. “Artinya kau tidak suka padaku?” “Aku tidak suka pada semua orang yang mengingkari janjinya dan tidak tahu malu sepertimu.” Ivy pun melangkah pergi karena dia sudah siap untuk menjalankan misi yang diberikan pria paruh baya tadi. Langkah Ivy terhenti karena menyadari ada seseorang yang mengikutinya di belakang. Ivy berbalik badan dengan emosi. “Hei, apa-apaan kau? Sudah kubilang jangan ikuti aku!” bentak Ivy pada Clyde yang terus mengikutinya walau sudah dia larang dengan keras. “Aku ingin ikut. Penasaran ingin melihat misi apa yang akan kau kerjakan.” Dengan tegas Ivy menggelengkan kepala. “Tidak. Pergi sana.” “Aku tetap ikut.” Clyde berniat berjalan semakin mendekati Ivy, tapi langkahnya terhenti karena melihat Ivy yang tiba-tiba mengangkat pedang dan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. “Maju selangkah lagi maka aku akan menebas kepalamu dengan pedang ini.” Clyde meneguk ludah, tentu saja ancaman Ivy itu membuatnya ketakutan. “Kau akan menebas kepalaku dengan pedang itu?” Clyde bergidik ngeri membayangkannya. “Kau ini benar-benar kejam, ya?” “Ya, aku memang kejam. Jangan main-main denganku jika aku sudah marah aku ini nekat. Aku benar-benar akan menebas kepalamu dengan pedang ini. Paham? Sekarang kau pergi sana, itu pun jika kau masih sayang pada nyawamu.” Setelah memberikan ancaman yang mengerikan itu, Ivy melanjutkan langkahnya yang tertunda, mengembuskan napas lega karena Clyde kali ini tidak mengikutinya. Sepertinya pria itu benar-benar ketakutan dengan ancamannya. Sedangkan Clyde hanya bisa mengembuskan napas pelan sambil menatap punggung Ivy yang semakin menjauh. “Kak Ivy memang begitu, Kak. Dia tidak suka jika ada orang yang ingin ikut saat dia menjalankan misi.” Clyde terkejut bukan main karena tiba-tiba mendengar sebuah suara dari arah belakang. Begitu berbalik badan, dia melihat sosok gadis sedang memegang wadah besar berisi banyak pakaian. Gadis yang dia ketahui bernama Miranda. “Kau mau pergi ke mana?” tanya Clyde memastikan. “Mencuci semua pakaian ini.” “Hm, banyak sekali pakaiannya. Sepertinya itu berat, sini aku bawakan.” Miranda dengan cepat menggelengkan kepala. “Jangan, Kak. Biar aku saja yang membawanya.” Namun, Clyde tak menggubris penolakan Miranda karena tidak mungkin dia membiarkan seorang gadis membawa barang seberat itu di saat ada dirinya di sana. Clyde merebut wadah berisi banyak pakaian kotor itu dan menggantikan Miranda membawanya. “Kau mau mencuci pakaian ini di mana?” tanya Clyde. “Di sebelah sana ada sungai.” “Oh, baik. Aku akan mengantarmu ke sana.” “Terima kasih, Kak.” Clyde menangkap semburat merah yang bermunculan di wajah Miranda, sesuatu yang sering pria itu lihat jika dia berpapasan dengan dayang-dayang di istana. Clyde mengembuskan napas pelan, tahu persis gadis di sampingnya itu terpesona oleh ketampanannya. Mencoba mengabaikan ketertarikan Miranda padanya yang dengan jelas bisa Clyde lihat, dia benar-benar menemani Miranda sampai ke sungai. Setibanya di sungai, Clyde duduk di sebuah batu tak jauh dari tempat Miranda sedang mencuci pakaian. Kembali ke padepokan pun percuma karena hampir semua penghuni padepokan yang sudah dewasa, pergi untuk menjalankan misi. Hanya tersisa anak-anak, Miranda dan Carrisa yang berada di padepokan karena mereka sibuk dengan tugas membersihkan rumah. Karena itu Clyde memilih menemani Miranda, berpikir mungkin dia bisa mengorek informasi dari gadis itu. “Pakaian-pakaian itu milik siapa? Apa milik semua penghuni padepokan?” tanya Clyde penasaran. Miranda mengangguk disertai senyum. “Benar, Kak. Semua pakaian ini milik saudara-saudara di padepokan.” “Oh, apa setiap hari kau yang bertugas mencuci pakaian mereka?” Sekali lagi Miranda mengangguk. “Ya, benar. Tugasku mencuci pakaian. Kak Claudia bertugas berbelanja dan memasak. Sedangkan Kak Carrisa dan anak-anak bertugas membersihkan rumah. Terkadang aku dan Kak Carrisa membantu Kak Claudia memasak jika kami mendapatkan uang banyak dari misi dan kami bisa banyak membuat makanan.” Clyde mengangguk-anggukan kepala. “Oh, begitu. Tidak setiap hari kalian memakan roti gandum?” Miranda terkekeh teringat bagaimana susah payahnya Clyde saat menyantap roti gandum yang keras dan hambar tersebut. “Tidak. Jika kami sedang ada uang, kami memasak makanan enak juga. Tapi jika sedang tidak ada uang, kami biasanya hanya memakan roti gandum seperti semalam dan tadi pagi.” Clyde meringis, di saat setiap saat dia selalu menyantap makanan yang lezat dan mewah di istana, bahkan makanan itu tidak pernah dia habiskan saking banyaknya makanan yang dihidangkan dayang istana untuknya, di padepokan itu justru banyak orang yang kelaparan dan makan seadanya karena mereka kesulitan mendapatkan uang. “Oh, ya. Memangnya misi apa yang selalu kalian terima?” Clyde memulai pembicaraan lagi dengan Miranda. “Misi apa saja yang diberikan orang-orang pada kami, kami pasti menerimanya. Tapi di antara kami semua, Kak Ivy yang biasanya menerima misi paling sulit. Dia selalu membawa uang banyak untuk kami setelah menjalankan misi.” Mendengar ucapan Miranda, Clyde semakin penasaran akan sesuatu. “Apa kau tahu misi apa yang diterima Ivy tadi?” Ya, hal itulah yang paling membuatnya penasaran sekarang. “Aku akan memberitahu Kak Clyde, tapi Kakak jangan cerita pada siapa-siapa, terutama pada Kak Ivy kalau aku yang memberitahu, ya.” Clyde mengangkat satu ibu jari tangannya sebagai tanda dia setuju untuk tutup mulut. “Jangan khawatir. Aku bisa menjaga mulutku dengan baik.” Miranda tersenyum tampak mempercayai ucapan Clyde tersebut. “Kak Ivy tadi menerima misi untuk mengawal putri klien. Putri klien akan diantar ke rumah mertuanya karena dia baru saja menikah. Katanya di jalan menuju rumah mertua putri klien tadi sering banyak perampok. Mereka takut ada perampok yang mengganggu mereka karena itu Kak Ivy akan mengawal perjalanan mereka.” “Artinya Ivy akan bertarung dengan perampok jika mereka muncul?” Miranda mengangguk. “Begitulah.” “Ck, padahal gadis itu sedang terluka. Kasihan sekali dia harus bertarung lagi,” gumam Clyde pelan, tapi Miranda bisa mendengarnya dengan jelas. Clyde tampak tulus mengkhawatirkan Ivy dan melihat ekspresi wajah pria itu, Miranda menyadari sesuatu. Gadis itu seketika menundukan kepala, wajahnya berubah sendu dan lebih memilih untuk fokus melanjutkan pekerjaannya yaitu mencuci pakaian. “Oh, ya. Pria yang kemarin ditangkap prajurit kerajaan, siapa namanya?” tanya Clyde tiba-tiba, teringat pada Alvin yang mengorbankan diri demi menyelamatkan Ivy. “Kak Alvin. Ah, biasanya dia dan Kak Ivy yang menjalankan misi-misi sulit. Itu karena kemampuan bela diri mereka paling tinggi di antara kami semua. Tapi Kak Alvin tidak kembali semalam, aku sangat khawatir. Jangan-jangan dia di penjara di istana.” Kedua mata Miranda berkaca-kaca, Clyde tahu persis gadis itu sedang mengkhawatirkan nasib Alvin. “Tenang saja. Pria itu pasti baik-baik saja.” “Ya, semoga saja,” sahut Miranda tak yakin karena dia takut Alvin akan dihukum berat gara-gara mengaku sebagai pemilik pedang Ivy yang tertangkap basah sebagai pelaku yang mencuri stempel menteri perpajakan di mansion-nya. “Kau tidak perlu khawatir, Miranda. Aku yang akan menjamin keselamatan pria bernama Alvin itu.” Clyde tersenyum di akhir ucapannya. Sedangkan Miranda sekarang bingung bukan main karena mendengar Clyde berkata demikian dengan penuh percaya diri. Setelah itu, perbincangan terus terjadi di antara mereka hingga tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Hampir dua jam waktu yang kedua orang itu habiskan di sungai. Merasa terlalu lama di sungai dan Miranda pun telah menyelesaikan tugasnya mencuci pakaian, mereka pun kembali ke padepokan. Namun, setibanya di dekat padepokan, Clyde melebarkan mata, terkejut bukan main pasalnya di depan sana dia melihat pemandangan yang mengerikan. Banyak prajurit istana yang sedang berkumpul di depan pedepokan, tengah menggeledah rumah karena mereka sedang mencari sesuatu. Dan Clyde sadar dirinya dalam bahaya jika sampai para prajurit itu melihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD