Keputusan Ivy

1438 Words
Sesuai janjinya pada Ivy, Clyde benar-benar datang ke padepokan setelah dua hari berlalu sejak kedatangannya yang pertama kali. Kedatangan Clyde disambut baik oleh semua penghuni padepokan, tapi satu hal yang menjadi masalah … tidak ada sosok Ivy yang hadir untuk menyambutnya. "Di mana Ivy?" tanya Clyde pada Miranda, sosok gadis yang paling memberikan sambutan hangat saat melihat sang putra mahkota datang kembali ke padepokan. "Kak Ivy tidak ada di sini, Yang Mulia." "Lalu di mana dia?" "Saya akan mengantar Anda ke sana jika Anda tidak keberatan." "Tentu saja aku tidak keberatan, aku justru berterima kasih padamu jika memang kau mau mengantarku ke tempat Ivy berada," sahut Clyde seraya mengulas senyum ramah. Mereka berdua pun akhirnya berjalan bersama-sama menuju tempat Ivy berada. "Apa Ivy lupa aku akan datang ke padepokan hari ini untuk menanyakan keputusannya?" tanya Clyde. Miranda yang awalnya berjalan menundukkan kepala itu pun mengangkat kepala dan memakukan tatapannya pada Clyde yang berjalan di sampingnya. "Kak Ivy ingat Anda akan datang hari ini." "Terus kenapa dia malah pergi dari padepokan? Sepertinya dia sengaja menghindariku. Melihat sikapnya ini aku sudah bisa menebak keputusan yang sudah dia ambil." Clyde menghembuskan napas pelan, terlihat kecewa karena dia memang sudah bisa menebak keputusan yang diambil Ivy atas tawarannya. "Jangan langsung menyimpulkan, Yang Mulia. Karena saya lihat Kak Ivy sangat kebingungan selama dua hari ini. Dia terus melamun dan menyendiri bahkan di saat orang lain sedang terlelap dalam tidur di malam hari, saya memergoki Kak Ivy tidak tidur dan sedang melamun sendirian di atap rumah." Clyde terbelalak mendengar ucapan Miranda tersebut. "Ivy sampai tidak tidur kalau malam?" Miranda mengangguk. "Iya, sudah dua hari ini dia tidak tidur kalau malam dan setiap saat hanya melamun. Saya yakin dia sedang memikirkan dengan serius keputusan yang akan dia ambil." "Dia menceritakan padamu tawaranku untuknya dua hari yang lalu?" Miranda kembali mengangguk. "Ya, Kak Ivy menceritakannya pada kami semua." Suara dengusan pun meluncur dari mulut Clyde, padahal dua hari yang lalu dia sengaja mengajak Ivy bicara empat mata agar yang lain tidak mengetahui perihal tawarannya itu, gadis itu justru menceritakan semuanya pada semua penghuni padepokan, tentu saja Clyde mulai kesal pada mulut Ivy yang tidak bisa menyimpan rahasia tersebut. Langkah kedua orang itu terhenti setelah tiba di sebuah hutan yang jaraknya cukup dekat dengan Padepokan. Clyde mengernyitkan dahi karena Miranda membawanya ke hutan seperti ini. "Ivy ada di hutan ini?" tanyanya memastikan. "Ya, Yang Mulia. Itu di sana Kak Ivy sedang berlatih." Clyde pun mengikuti arah yang ditunjuk Miranda, dan benar saja ada Ivy di depan sana yang sedang berlatih melempar pisau pada target. Lingkaran putih sengaja gadis itu buat pada sebuah batang pohon dan Ivy terus melemparkan pisau di tangannya pada target tersebut. Melihat Ivy sedang memegang pisau yang sepertinya sangat tajam, tanpa sadar Clyde meneguk ludah. "Yang Mulia pasti ingin bicara berdua dengan Kak Ivy, saya undur diri dulu." Clyde berpikir untuk meminta Miranda agar tetap tinggal, menemaninya menemui Ivy, tapi saat dia ingat pembicaraannya dengan Ivy bersifat pribadi dan sangat penting, Clyde pun mengurungkan keinginannya tersebut. Clyde mengulas senyum. "Ya, baiklah. Terima kasih sudah mengantarku ke mari, Miranda." "Sama-sama, Yang Mulia. Permisi." Miranda pun melangkah pergi, meninggalkan Clyde seorang diri yang tatapannya tengah fokus tertuju pada Ivy yang masih berlatih, sepertinya gadis itu belum menyadari kedatangan Clyde. Dari kejauhan Clyde terus memperhatikan Ivy dan dia takjub bukan main saat lemparan Ivy tepat sasaran, pisau di tangannya menancap tepat di tengah-tengah target. Plok… plok… plok Itu suara tepuk tangan Clyde yang spontan dilakukan pria itu karena terlalu takjub dengan kemampuan Ivy. Ivy yang akhirnya menyadari dirinya diawasi seseorang pun mengernyitkan kening, terutama saat dia melihat yang mengawasinya secara diam-diam adalah Clyde… sosok pria yang belakangan ini selalu muncul di pikirannya. "Kau… beraninya mengawasiku secara diam-diam," ujar Ivy seraya berjalan cepat menuju pohon yang dijadikan target sasarannya. Dia menarik pisau yang menancap di sana dan mengangkatnya, siap membidikannya pada Clyde. "Hei, hei, apa yang kau lakukan? Jangan bilang kau akan melemparku dengan pisau itu." Clyde panik bukan main, takut Ivy serius akan melemparkan pisau padanya, terlebih dia tahu kemampuan Ivy yang menakjubkan karena tak pernah gagal menembus sasarannya. "Aku paling benci pada orang yang diam-diam mengawasi gerak-gerikku. Kau seperti seorang penguntit saja." Ivy terlihat mengambil ancang-ancang untuk melempar pisau itu ke arah Clyde, membuat sang putra mahkota semakin panik. "Hei, jangan lakukan itu. Apa kau tahu hukuman apa yang akan kau dapatkan jika sampai membunuh seorang putra mahkota sepertiku?" "Huh, paling hukuman penggal," sahut Ivy santai. "Ya, dan kepalamu akan digantung di depan gerbang istana untuk menjadi bahan tontonan." Ivy tersenyum miring. "Aku tidak peduli." "Dan tubuhmu akan dijadikan santapan burung pemakan bangkai peliharaan raja." "Kau pikir aku peduli?" Clyde berdecak semakin ketakutan karena Ivy terlihat tak takut setelah mendengar hukuman yang akan dia dapatkan jika nekat melempar pisau itu padanya. "Bukan hanya kau yang akan mendapat hukuman, tapi saudara-saudara seperguruanmu di padepokan juga akan kena imbasnya. Mungkin mereka akan ditangkap dan dihukum mati juga." Ivy mendengus. "Itulah kenapa aku tidak suka dengan kerajaan, bertindak seenaknya, begitu mudah memberikan hukuman mati seolah nyawa manusia itu sesuatu yang murah dan tidak berharga. Walau kami rakyat kecil, bukan bangsawan seperti kalian, tetap saja kami juga manusia seperti kalian." "Mau bagaimana lagi itu sudah peraturan hukum di istana. Aku… Akkhh!" Clyde spontan berteriak karena Ivy benar-benar melempar pisau ke arahnya, refleks Clyde membungkuk sambil menutupi kepalanya. Namun, saat tak merasakan ada pisau yang menancap di tubuhnya, pria itu pun membuka mata. Dia menatap sekeliling dan menemukan pisau yang dilempar Ivy tepat menancap pada batang pohon di belakangnya. "Huh, menurutku kau ini tidak pantas menduduki posisi putra mahkota. Kau terlalu lemah dan pengecut. Hanya pintar bersandiwara, tapi tidak punya kemampuan bela diri sedikit pun. Kau ini lemah dan payah, aku yakin di istana kau terlalu dimanjakan makanya jadi tidak berguna seperti sekarang." Clyde memasang ekspresi cemberut, Ivy sedang menghinanya dan baru kali ini ada orang yang berani menghinanya seperti itu. Anehnya jika itu Ivy yang berkata kasar, Clyde tak merasa tersinggung sedikit pun, mungkin karena dia sudah terbiasa mendapat perlakuan kasar seperti itu dari Ivy. "Huh, terserah kau mau mengatakan apa karena kuakui memang tidak memiliki keahlian bela diri. Yang aku pelajari sejak kecil itu sistem pemerintahan dan hukum di istana jadi mana mungkin aku sempat belajar bela diri. Lagi pula untuk apa menguasai bela diri jika ada banyak pengawal yang akan selalu mengikuti dan melindungi ke mana pun aku pergi." "Oh, ya? Lalu mana pengawal-pengawalmu sekarang? Sepertinya kau sendirian tanpa mereka di sini?" Ditanya seperti itu oleh Ivy, Clyde meneguk ludah. "I-itu karena aku yang meminta mereka diam di padepokan dan tidak mengikutiku." "Dengan kata lain tidak ada yang melindungimu di sini. Aku bisa dengan mudah membunuhmu." Clyde bergidik mendengar ucapan Ivy, terlebih karena raut wajah gadis itu terlihat sangat serius saat mengatakan akan membunuhnya. Clyde mengangkat kedua tangan. "Jangan. Jangan bunuh aku. Memangnya apa salahku padamu sampai kau ingin membunuhku? Aku kan hanya berniat memberikan penawaran bagus untukmu?" Ivy berdecak. "Penawaran bagus apanya, tawaran konyolmu itu justru membuatku pusing tujuh keliling." "Ah, ya, sampai matamu seperti panda karena tidak tidur selama dua hari ini, kan?" Clyde tertawa lantang, secara terang-terangan menertawakan kelopak mata Ivy yang dikelilingi warna hitam karena kurang tidur, kantung matanya pun tampak menggantung menjadi bukti tak terbantahkan bahwa ucapan Miranda memang benar, selama dua hari ini Ivy tidak tidur sedikit pun karena sibuk memikirkan tawaran yang diberikan Clyde. Tersinggung karena Clyde menertawakannya, Ivy menarik pedang yang tersampir di pinggangnya. "Hei, hei, apa yang akan kau lakukan?" tanya Clyde kembali panik melihat Ivy yang seperti ingin menghunuskan pedang padanya. "Tentu saja membunuhmu dengan pedang ini, berani sekali kau menertawakanku." "Ah, aku minta maaf. Baiklah, Ivy, aku tidak akan mengganggu latihanmu lagi. Aku pergi dulu." Karena takut Ivy benar-benar akan membunuhnya, Clyde pun memilih pergi. Dia sudah berbalik badan, siap meninggalkan Ivy. "Hei, mau ke mana kau? Pembicaraan kita belum selesai. Kau tidak ingin mendengar keputusanku untuk tawaran konyolmu itu?" Clyde kembali berbalik badan menghadap Ivy. "Aku sudah bisa menebak keputusanmu, jadi lupakan saja tawaranku itu. Ok?" Clyde pun kembali berniat melangkah pergi. "Aku bersedia menerima tawaranmu." Namun, Clyde lagi-lagi urung melangkah pergi karena perkataan Ivy yang mengejutkan. "Apa kau bilang barusan? Kau bersedia ikut ke istana denganku?" tanya Clyde, memastikan telinganya tidak salah mendengar. "Ya, dan aku juga bersedia dinobatkan sebagai putri kerajaan. Tapi jangan lupa janjimu, lepaskan Kak Alvin dari hukuman dan kau harus memastikan semua penghuni pedepokan hidup berkecukupan." Setelah itu yang terlihat hanya seringaian lebar Clyde yang senang karena rencananya berjalan sukses. Entah apa yang direncanakan pria itu hingga nekat memohon pada raja untuk menobatkan Ivy sebagai putri kerajaan? Ya, kita lihat saja jawabannya nanti karena sekarang Clyde berhasil menjebak Ivy dalam rencananya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD