Peraturan Kerajaan Yang Kejam

1363 Words
Bagi Ivy, ini pertama kali dirinya menginjakkan kaki di istana karena biasanya dia hanya melihat bangunan mewah itu dari luar. Gadis itu meneguk ludah, tak menyangka suasana di dalam istana semegah itu. Ivy sudah meninggalkan padepokan dan baru saja tiba di istana. Kini dia tengah berjalan bersama Clyde ditemani beberapa pengawal. Saat berpapasan dengan para dayang, mereka memberikan penghormatan, membuat Ivy untuk pertama kalinya merasa begitu disanjung dan dihormati. Langkah mereka terhenti begitu tiba di sebuah istana. Ivy menggulirkan bola mata ke sekeliling, terutama saat dia melihat ada beberapa dayang dan pengawal yang memberi hormat di depan istana itu seolah mereka memang sudah menantikan kedatangan Ivy. "Mulai sekarang istana ini adalah istana kediamanmu. Kau akan tinggal di sini dan mereka semua adalah pelayan serta pengawal pribadimu," ucap Clyde seolah memahami kebingungan yang sedang dirasakan Ivy. Spontan Ivy menoleh pada sang putra mahkota yang berdiri di sampingnya. "Maksudnya istana ini khusus untukku? Aku tidak akan tinggal bersamamu atau bersama pangeran dan putri yang lain?" Clyde terkekeh membuat Ivy mendelik tajam karena dia serius sedang bertanya. Menyadari tatapan tajam Ivy padanya, Clyde pun berdeham. "Tentu saja tidak. Setiap keluarga kerajaan memiliki istana kediaman masing-masing. Jadi istana ini khusus untukmu. Rumahmu mulai sekarang." Ivy tak berkomentar apa pun, dia sedang menatap sekeliling istana itu. Istana yang luas dan mewah, tamannya pun sangat indah, dipenuhi berbagai jenis bunga yang sedang bermekaran, menguarkan aroma wangi yang semerbak dan bisa tercium meski dari kejauhan. Ivy bukan tipe wanita yang menyukai bunga, tapi untuk taman bunga di depan istananya itu Ivy mengakui taman itu sangat indah. Lalu ada pula kolam ikan dan air mancur menambah keindahan taman tersebut. Di samping taman bunga terdapat pohon besar di mana sudah terpasang ayunan untuk bersantai di sana. Ivy mendengus dalam hati, tak pernah sekali pun terpikirkan di benaknya dia akan memiliki rumah semewah itu. Lalu tatapan Ivy beralih pada dayang dan pengawal yang masih berdiri sambil memberikan penghormatan padanya. Jika dihitung ada tiga dayang dan empat pengawal yang mulai detik ini akan melayaninya. Tatapan Ivy pun beralih pada Clyde. "Istanamu ada di mana?" tanyanya. "Hm, cukup jauh dari sini. Istanamu ini berdekatan dengan istana para ratu dan juga putri kerajaan yang lain. Kalau kau ingin main ke Istanaku, nanti aku akan mengajakmu ke sana." Clyde menyengir lebar di akhir ucapan. "Lalu di mana istana raja?" Namun, alih-alih menanggapi ucapan Clyde, Ivy justru kembali bertanya. Clyde tak merasa tersinggung, sudah terbiasa diabaikan Ivy, lagi pula dia sudah hafal betul sifat dan kepribadian gadis itu. "Istana kediaman raja berada di area yang sama denganku, begitu pun dengan pangeran yang lain." "Oh, begitu." "Ya, nanti kau bisa berjalan-jalan mengelilingi istana ini agar kau tahu istana-istana kediaman keluarga kerajaan yang lain. Hm, bagaimana menurutmu dengan istana kediamanmu ini? Apa kau menyukainya?" tanya Clyde dengan raut wajah sumringah, berharap Ivy akan antusias mengutarakan pendapatnya tentang istana kediamannya. Ivy mengedikan kedua bahu. "Lumayan. Lagi pula istana kediamanku sudah ditentukan bukan? Apa bisa aku memilih Istanaku sendiri?" Clyde meneguk ludah, dia lupa orang yang menjadi lawan bicaranya itu adalah Ivy, sosok gadis yang nyaris tidak pernah memuji apa pun dan selalu bicara dengan nada ketus dan sinis. Clyde mencoba memaklumi, dia kembali mengulas senyum ramah. "Ya, kau benar. Istana ini sudah ditentukan sebagai kediamanmu. Kau memang tidak bisa memilih." "Huh, sudah aku duga. Suka atau tidak pada istana ini aku harus tetap menerimanya. Jadi, jangan bertanya tentang pendapatku." Ucapan Ivy kali ini sudah keterlaluan dan Clyde mulai tersulit emosi, tapi dia memilih mengalah dan tidak meladeni Ivy karena tak ingin di hari pertama gadis itu datang ke istana, mereka sudah terlibat pertengkaran. "Kalau begitu kau masuk saja ke dalam. Istirahat sebentar karena sekitar satu jam lagi kita harus menghadap raja." Ivy mendelik pada Clyde. "Kita akan menemui raja?" "Ya, tentu saja kita harus menghadap raja. Aku juga harus melaporkan bahwa kau menerima tawaranku dan mulai sekarang kau akan menjadi bagian dari keluarga kerajaan." Clyde menyengir lebar sedangkan satu tangannya mendarat di pundak Ivy. Ivy yang tidak suka dengan sikap tak sopan Clyde itu pun menepis tangan Clyde dengan sangat kasar. "Jangan pernah sembarangan menyentuhku. Aku tidak suka," tegas Ivy penuh penekanan. Clyde meringis sambil mengusap-usap punggung tangannya yang terasa sakit karena ditepis dengan kasar oleh Ivy. Sekali lagi mencoba memaklumi sifat Ivy memang seperti itu. "Baiklah, aku mengerti. Maaf karena sudah memegang pundakmu barusan. Sekarang aku pergi dulu, nanti pengawal dan dayangmu akan mengantarmu ke istana utama untuk menghadap raja. Kita akan bertemu di sana. Sampai jumpa satu jam lagi." Clyde melambaikan tangan, berharap Ivy akan membalasnya. Naas sang putra mahkota hanya bisa menghembuskan napas kecewa karena tentunya Ivy sama sekali tidak membalas salam perpisahan darinya. Clyde berniat melangkah pergi, tapi urung begitu mengingat dia belum menyampaikan sesuatu yang penting pada Ivy. "Oh, iya. Ivy, kalau kau membutuhkan sesuatu jangan sungkan untuk mengatakannya pada dayang dan pengawalmu, ya. Jangan lupa mereka yang akan melayanimu mulai hari ini." Namun, Ivy sama sekali tidak merespons, gadis itu melangkah pergi memasuki istananya begitu saja, meninggalkan Clyde yang masih berdiri mematung sambil tersenyum padanya. "Huh, baru sekarang aku bertemu dengan wanita sedingin dia," gumam Clyde pelan sambil tersenyum penuh makna. "Tapi itu yang membuatnya menarik," tambahnya sebelum dia pun melanjutkan langkahnya yang tertunda. *** Melihat banyak makanan mewah dan lezat terhidang di depannya sama sekali tak membuat Ivy merasa senang atau tersentuh. Justru sebaliknya dia ingin meneteskan air mata karena teringat pada saudara-saudara seperguruannya di padepokan. Di saat mereka mungkin sedang memakan makanan sederhana seperti yang selalu mereka makan, Ivy merasa bersalah karena di istananya dia disuguhi makanan-makanan mewah ini. "Silakan dinikmati makanannya, Tuan Putri," ucap salah satu dayang yang sukses membuyarkan lamunan panjang Ivy. Ivy mendongak, memakukan tatapannya pada tiga dayang yang sedang berdiri sambil membungkuk tak jauh darinya. Mereka juga terus menundukkan kepala seolah tak berani menatapnya. "Kalian duduklah di sini bersamaku," pinta Ivy sukses menarik atensi ketiga dayang itu sehingga kini menatap dirinya. "Maaf Yang Mulia, kami tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Kami tidak pantas duduk di samping Anda." Ivy mendengus. "Apanya yang tidak pantas? Kita ini sama. Aku juga rakyat biasa seperti kalian. Kalian juga pasti tahu aku bukan keluarga kerajaan. Aku datang ke sini karena tawaran konyol dari Clyde." Ketiga dayang itu tetap berdiri di tempat, membuat Ivy mulai kesal. "Tunggu apa lagi? Ayo duduk bersamaku. Kita makan sama-sama. Makanan sebanyak ini mana mungkin bisa aku habiskan sendirian." "Mohon ampun Tuan Putri, kami benar-benar tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Kami tidak berani melawan peraturan istana. Pelayan seperti kami tidak pantas duduk bersanding dengan junjungan kami." "Sudah kukatakan aku bukan anggota keluarga kerajaan. Kita ini sama-sama rakyat biasa. Jadi jangan sungkan padaku." "Kami tidak berani, Tuan Putri. Mohon ampuni kami," sahut ketiga dayang itu dengan serempak. Di bawah meja Ivy mengepalkan tangannya, benar-benar marah dengan peraturan istana yang begitu merendahkan orang lain terutama para dayang seperti ketiga dayang itu. "Huh, kalau begitu aku juga tidak akan makan. Aku tidak selera jika harus menghabiskan makanan sebanyak ini sendirian." Ivy pun bangkit berdiri, membuat ketiga dayang itu panik bukan main. "Tuan Putri, kami mohon kembalilah duduk. Silakan menikmati makanan Anda." "Asalkan kalian mau menemaniku makan, aku akan kembali duduk." Ketiga dayang itu saling berpandangan, terlihat kebingungan menghadapi sikap majikan mereka yang begitu keras kepala dan tak memahami peraturan di istana di mana pelayan tidak mungkin bisa bergabung bersama majikan mereka. "Bagaimana? Kalian mau duduk bersamaku dan menemaniku makan?" tanya Ivy, menatap ketiga dayang itu secara bergantian. "Mohon ampun, Yang Mulia. Kami benar-benar tidak berani melakukannya. Kami takut melanggar peraturan kerajaan, Yang Mulia." "Hanya duduk bersamaku apa akan membuat kalian dihukum dengan berat?" Dengan serempak ketiga dayang itu mengangguk. "Benar. Kami akan mendapatkan hukuman berat." "Hukuman berat seperti apa?" Ivy terlihat gemas menghadapi ketiga dayang yang menurutnya begitu patuh dan penakut itu. "Kami akan dihukum penggal, Yang Mulia." Detik itu juga Ivy melebarkan mata, terkejut bukan main. "Keterlaluan. Sistem pemerintahan di kerajaan ini dan semua peraturannya memang keterlaluan dan tidak adil. Lihat saja aku pasti akan mengubah segalanya. Jangan sebut namaku Ivy jika aku tidak bisa mengubah semua peraturan tidak manusiawi di kerajaan ini." Ivy pun melenggang pergi setelah itu, tak peduli walau ketiga dayang itu terus memohon agar dirinya tetap tinggal untuk menyantap makanan yang sudah mereka hidangkan. Ivy benar-benar tidak peduli.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD