Sang Putra Mahkota

1633 Words
Ivy berjalan dengan riang, senyuman tak pernah luntur terulas di bibirnya. Tangannya terus melempar-lempar kecil kantong berisi uang yang dia dapatkan dari hasil menjalankan misi pengawalan. Ivy merasa beruntung karena selama proses pengawalan berlangsung, tak ada kendala yang menghadang. Arah jalan yang katanya sering bermunculan perampok, tak ada satu pun perampok yang muncul saat rombongan mereka melewati jalan tersebut. Ivy selalu waspada di sepanjang jalan karena tugas beratnya yang harus melindungi rombongan pengantin baru itu, bagai Dewi Fortuna selalu mengiringi Ivy, tak ada satu pun perampok yang menunjukan batang hidungnya, alhasil selain mendapatkan bayaran cukup banyak sehingga di padepokan nanti mereka bisa berpesta dengan memasak banyak makanan lezat, juga karena Ivy sekarang bisa pulang ke padepokan dengan cepat. Ivy sebentar lagi tiba di padepokan, wajahnya terus memperlihatkan ekspresi riang karena sudah tidak sabar ingin melihat reaksi saudara-saudara seperguruannya begitu melihat dia pulang dengan membawa uang banyak. Begitu berbelok ke arah kiri di mana di sanalah letak rumah yang dia tempati selama ini, senyuman Ivy luntur seketika pasalnya dia melihat ada banyak prajurit di depan rumah. Tengah memeriksa seisi rumah, bahkan terlihat anak-anak yang menetap di rumah itu saling berpelukan karena ketakutan melihat rumah mereka digeledah seolah ada sesuatu yang para prajurit itu cari. Selain itu, terlihat pula Carrisa yang terus berteriak, meminta agar para prajurit itu berhenti menggeledah rumah dan pergi secepatnya dari sana. Keriangan Ivy musnah detik itu juga digantikan oleh amarah yang meluap-luap dalam dirinya. Dia lalu berlari menuju rumah. “Kak Ivyyyy!” teriak anak-anak itu seraya memeluk Ivy. “Kalian jangan takut, Kakak sudah kembali.” “Iya, Kak Ivy. Tolong kami. Kami takut.” Melihat air mata mengalir di wajah anak-anak yang sudah Ivy anggap sebagai adik-adiknya itu tentu saja membuat amarah Ivy semakin meluap dalam dirinya. “Kak Ivy, syukurlah kau sudah pulang.” Kali ini Carrisa yang menghampiri, sama seperti anak-anak tadi, gadis itu pun terlihat meneteskan air mata. “Kenapa banyak prajurit di rumah kita? Apa yang mereka cari? Apa masih berhubungan dengan pedang yang …” Ivy tak melanjutkan ucapannya karena melihat Carrisa menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak, Kak. Tidak ada hubungannya dengan pedang itu karena katanya Kak Alvin sudah dinyatakan sebagai pemilik pedang dan dia sekarang di penjara di istana. Mungkin Kak Alvin akan dihukum penggal, Kak.” Ivy melebarkan mata, terkejut bukan main mendengar kabar buruk itu. Mana mungkin karena kecerobohan fatal yang dia lakukan dengan meninggalkan pedangnya di mansion menteri perpajakan kini Alvin yang tidak bersalah itu yang harus menanggung resikonya. Pria itu akan dihukum mati dan tentu saja Ivy tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Dia harus menyelamatkan nyawa Alvin bagaimana pun caranya. “Mustahil. Kak Alvin tidak boleh dihukum mati karena aku. Aku akan menyelamatkannya.” Ivy lantas berniat berjalan menghampiri prajurit yang mengenakan seragam yang berbeda dengan prajurit istana yang lain, Ivy yakin prajurit itu merupakan sang pemimpin. Namun, langkah Ivy terhenti karena Carrisa yang mencekal lengannya dari belakang. “Apa-apaan ini, Carrisa? Lepaskan aku!” “Kak Ivy jangan bertindak gegabah. Sudah cukup Kak Alvin yang ditangkap, jangan sampai Kak Ivy ikut ditangkap karena mengatakan sesuatu yang keliru.” “Tapi aku tidak mungkin membiarkan Kak Alvin dihukum mati. Pedang itu milikku bukan miliknya. Selain itu, aku yang mencuri stempel ….” Namun, sekali lagi Ivy tak bisa melanjutkan perkataannya yang masih menggantung karena Carrisa yang membekap mulutnya menggunakan telapak tangan gadis itu. “Ssstttt, Kak. Jangan keras-keras nanti mereka mendengarnya.” Dengan kasar Ivy menyingkirkan tangan Carrisa dari mulutnya. “Aku tidak peduli karena aku memang sengaja bicara keras agar mereka mendengarnya. Kak Alvin harus dibebaskan dari penjara, biar aku saja yang mereka hukum penggal.” Ivy yang sedang emosi itu berniat kembali menghampiri sang kapten dari para prajurit istana itu, tapi untuk kesekian kalinya Carrisa menghentikannya karena gadis itu sudah hafal betul sifat Ivy yang akan ceroboh jika sedang tersulut emosi seperti sekarang. “Carrisa, kenapa kau terus menghalangiku?!” bentak Ivy yang mulai kesal pada Carrisa yang terus menghalanginya. “Dengarkan dulu penjelasanku, Kak. Aku belum selesai bicara tadi. Bukan pedang itu alasan para prajurit istana datang dan menggeledah rumah kita.” Ivy mengerjapkan mata. “Terus apa alasan mereka datang lagi ke rumah kita dan membuat kekacauan seperti ini?” “Mereka sedang mencari putra mahkota yang menghilang karena melarikan diri dari istana dua hari yang lalu.” Ivy mengerutkan kening. “Putra mahkota menghilang? Terus kenapa mereka malah memeriksa rumah kita?” “Katanya semua rumah mereka geledah untuk memastikan putra mahkota tidak bersembunyi. Aku sudah mengatakan putra mahkota tidak ada di rumah kita, tapi mereka tidak percaya dan memaksa menggeledah rumah.” Ivy mengepalkan tangan, emosinya semakin memuncak dalam dirinya. “Kurang ajar. Para prajurit istana itu memang selalu bertindak seenaknya hanya karena mereka prajurit istana, mereka pikir bisa semena-mena pada rakyat kecil seperti kita. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus memberi mereka pelajaran. Kali ini Ivy bisa meloloskan diri dari Carrisa yang berniat menghentikannya lagi agar tidak berbuat ceroboh. Dengan langkah cepat Ivy berjalan menghampiri sang kapten. “Hei, berhenti menggeledah rumah kami. Orang yang kalian cari tidak ada di sini!” teriak Ivy, tak peduli walau orang yang dia ajak bicara merupakan seseorang yang memiliki jabatan tinggi dan harus dia hormati. Sang kapten memelotot, marah tentu saja dengan sikap kurang ajar Ivy padanya. “Berani sekali kau membentakku, Nona.” “Huh, memangnya kenapa aku harus takut? Aku tidak merasa memiliki kesalahan apa pun, aku juga tidak menyembunyikan orang yang kalian cari itu, jadi berhenti membuat kekacauan di sini. Cepat kalian pergi!” Sang kapten mendecih karena baru sekarang ada orang yang berani bicara tidak sopan padanya sampai membentaknya seperti itu. “Jaga bicara dan sikapmu, Nona! Kau bisa ditangkap karena bersikap kurang ajar pada prajurit istana!” Ivy mendengus, tak gentar sedikit pun walau sang kapten balas membentaknya. “Coba saja kau tangkap aku. Itu pun kalau kalian bisa. Lagi pula yang aku katakan ini memang benar. Kalian harus angkat kaki sekarang juga dari rumah kami karena di sini tidak ada orang yang kalian cari. Selain itu, berhenti bersikap semena-mena dan menindas rakyat kecil seperti kami hanya karena kalian prajurit istana. Satu lagi, lepaskan saudara kami yang bernama Alvin, dia tidak bersalah!” Ivy terus berceloteh dengan emosi, meninggikan suaranya yang membuat semua pasang mata dari prajurit istana yang berada di rumah itu tertuju padanya. “Kak Ivy, sudah cukup. Jangan membuat masalah ini jadi semakin besar, Kak,” pinta Carrisa seraya memeluk salah satu tangan Ivy, mencoba menghentikan sang kakak seperguruan yang terus marah-marah, padahal resikonya akan sangat berbahaya untuk Ivy. Ivy menepis tangan Carrisa yang memeluknya. “Lepaskan aku, Car. Biarkan aku mengungkapkan semua kekesalanku ini pada orang-orang sombong dan arogan yang sebenarnya hanya b***k-b***k istana. Mereka lebih rendah dari kita.” Sang kapetn dan para bawahannya jelas tak terima mendengar ucapan Ivy yang secara terang-terangan merendahkan mereka. Menyebut mereka sebagai b***k istana, selama ini tak pernah ada yang berani menyebut mereka seperti itu selain Ivy. “Kurang ajar. Kapten, gadis ini sudah keterlaluan. Dia sudah menghina kita semua!” teriak salah satu prajurit istana yang tak kuasa menahan emosinya setelah mendengar penghinaan Ivy. “Ya, benar, Kapten. Gadis itu harus ditangkap dan dihukum berat karena sudah menghina semua prajurit istana!” Bahkan prajurit lain ikut berteriak menyuarakan kemarahannya karena ucapan kasar Ivy. “Tangkap dan hukum gadis itu, Kapten. Agar tidak ada lagi yang berani bersikap kurang ajar pada prajurit istana!” Suara teriakan dari para prajurit istana yang meminta Ivy ditangkap dan dihukum berat terus bersahut-sahutan, tapi tak terlihat membuat Ivy gentar sedikit pun karena gadis itu tetap melayangkan tatapan tajam seraya berpangku tangan dengan angkuh di depan prajurit-prajurit itu. “Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku karena yang kukatakan memang benar. Kalian semua ...” Ivy menunjuk satu demi satu prajurit istana yang berada di depan rumah. “… memang b***k istana. b***k yang patuh pada perintah raja tidak adil dan suka menindas rakyat kecil!” Fatal sudah ucapan Ivy kali ini karena sang kapten pun bahkan mulai tak kuasa menahan amarahnya. Kedua mata sang kapten membulat sempurna dengan wajah memerah, kedua tangannya pun terkepal erat. “Kurang ajar! Gadis ini tidak bisa diampuni. Tangkap dia dan kita seret dia ke istana untuk diadili. Kalian benar, gadis ini harus dihukum berat. Ah, hukuman mati lebih pantas untuknya!” teriak sang kapten memberikan perintahnya. Semua prajurit di sana bersiap menangkap Ivy, begitu pun dengann Ivy yang sudah memasang kuda-kuda siap bertarung dengan mereka untuk membela dirinya. “Berhenti!” Hingga sebuah teriakan tiba-tiba menghentikan niat para prajurit untuk menangkap Ivy. Mereka serempak menoleh ke arah sumber suara dan di detik berikutnya mereka terbelalak sempurna begitu melihat siapa gerangan pemilik suara tersebut. “Clyde, jangan ikut campur. Ini urusanku dengan mereka. Lebih baik kau menjauh!” teriak Ivy pada Clyde yang merupakan pelaku yang membuat para prajurit mengurungkan niat untuk menangkap Ivy karena teriakannya. Alih-alih menuruti perkataan Ivy, pria itu justru berjalan dengan santai menghampiri para prajurit istana. “Clyde, kau dengar kataku? Menjauh dari sini, jangan ikut campur!” Ivy kembali berteriak pada pria asing yang entah kenapa memiliki keberanian sebesar ini hingga ikut campur dengan urusannya dan para prajurit istana itu. “Sudah cukup, hentikan semua ini!” titah Clyde tentu ditujukan pada para prajurit istana. “Baik, Yang Mulia.” Di detik berikutnya Ivy hanya bisa melongo mendengar para prajurit istana itu begitu patuh pada perintah Clyde, terlebih saat mereka semua kini membungkuk memberikan penghormatan pada si pria asing yang telah dia selamatkan nyawanya. “K-kau … sebenarnya kau ini siapa?” tanya Ivy dengan terbata-bata. Clyde di depan sana mengulas senyum tipis penuh makna. “Aku belum memberitahumu nama asliku, bukan? Namaku Clyde Wendell, aku putra mahkota Kerajaan Wendell.” Ivy tak tahu harus bagaimana mengekspresikan keterkejutannya, tak menyangka sedikit pun bahwa orang yang sudah dia selamatkan ternyata seorang putra mahkota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD