Datang Ke Kos Suami

1124 Words
Sudah pukul delapan malam, tapi Daffa tidak kunjung membalas pesannya. Jujur saja Eksas masih belum mengerti tentang Daffa sepenuhnya. Apa dia memang tipe orang yang tidak sering memegang ponsel? Atau dalam hidupnya hanya ada tidur dan juga bermain games? Entahlah, Eksas juga tidak bisa asal menebak. Ia hanya bisa menghela nafas panjang. Pada akhirnya Eksas memilih untuk pergi ke kos Daffa meskipun pesannya tidak dibalas sama sekali. Dia pergi menggunakan sepeda. Jarak yang ditempuh berdasarkan aplikasi maps lebih kurang tiga puluh menit. Tidak terlalu jauh karena Eksas sudah biasa bersepeda jauh ataupun jalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Kebetulan di kos Eksas ada sepeda yang memang difasilitasi oleh pemilik kos. Jadi siapapun penghuni kos bisa memakainya. Asalnya mereka bisa menjaga dengan baik. Jika hilang atau rusak tentu menjadi tanggung jawab sendiri. Eksas pergi dengan pakaian biasa saja. Hanya celana longgar, baju sepanjang lutut serta hoodie karena udara cukup dingin dimalam hari. Eksas mengayuh sepeda dengan santai. Dia menikmati perjalanan dengan baik. Berhubung jalanan yang ia lewati masih berada di dekat kampus, maka lalu lintas cukup ramai. Banyak mahasiswa yang berlalu lalang, baik itu di rumah makan, cafe atau tempat lainnya. Eksas memakai masker supaya tidak ada yang mengenalinya. Dia hanya ingin sampai di kos suaminya dengan cepat tanpa ada kendala seperti harus menyapa orang lain atau sekedar mengobrol sebentar jika bertemu kenalan. Eksas memasuki gang sesuai petunjuk maps. Dia masih menerka-nerka. Yang mana kosannya? Apalagi di gang ini juga banyak kosan. Ada kos cewek dan ada kos cowok juga. Beberapa orang menatapnya. Sebuah palang pintu tampak. Sepertinya kos sang suami ada di dalam perumahan tersebut. Apa orang lain bisa masuk di dalamnya? Eksas sedikit ragu karena takut tidak boleh masuk. Tapi Eksas akan mencobanya. "Cari siapa ya?" tanya petugas keamanan perumahan. "I-itu, Pak-" Tiba-tiba Eksas menjadi ragu. Apa dia pulang saja? Tapi sudah sampai disini. "Siapa, Mbak?" "Ini, Pak." Eksas menunjukkan foto Daffa. "Oh Mas Daffa." "Iya, Pak." "Sebentar, saya hubungi Mas Daffa untuk konfirmasi lebih dulu." Tentu saja tidak bisa sembarang orang masuk. Kecuali jika sudah pernah datang. Sedangkan Eksas belum pernah datang sama sekali. "Baik, Pak." Eksas menunggu beberapa menit. Disisi lain, Daffa sedang asik bermain dengan teman-teman di lapangan kampus. Setelah nongkrong di cafe, mereka merasa bosan dan berakhirlah disini. Selain bermalas-malasan di kos, mereka juga aktif berolahraga seperti sekarang. Pantas saja tubuh Daffa dan ketiga temannya tampak bagus. "Al, ponsel lo bunyi." Zeef berteriak sambil mengusap keringat yang membasahi leher dan wajahnya. "Siapa?" tanya Aldi yang masih berada di lapangan. Zeef mengambil ponsel Aldi dari dalam tas. Ada nama "Pak Imam" di layar ponsel tersebut. "Pak Imam," teriak Zeef akan bisa didengar oleh Aldi. Aldi menyuruh Zeef untuk langsung mengangkatnya. Dia terlalu malas keluar dari lapangan. Zeef tidak keberatan. Dia duduk sejenak sambil mengangkat panggilan suara tersebut. Panggilan berlangsung tidak lama. Bahkan tidak sampai dua menit dan panggilan sudah berakhir. "Daf!" "Kenapa?" jawab Daffa tapi dia masih asik bermain. Zeef menyuruh Daffa untuk segera mendekat. Tapi Daffa malah tidak mendengarnya. Zeef tidak tahu lagi harus mengatakan apa. "Woi!" "Apaan?" ketus Daffa. Padahal dia sedang asik bermain, tapi malah diganggu. Zeef menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalannya. Kalau tahu begini, lebih baik Aldi saja yang langsung mengangkat panggilan dari Pak Imam. "Istri lo datang ke kos," ujar Zeef. Seluruh orang yang ada di lapangan basket langsung menatap Zeef. "Istri siapa?" Zeef langsung tertawa karena baru sadar apa yang sudah ia katakan. Daffa seakan tidak peduli dan langsung melangkah mendekati Zeef. Jujur saja Zeef takut kalau Daffa memberi pelajaran kepada dirinya karena tidak sengaja mengungkap status baru Daffa. "Apa kata lo?" tanya Daffa memastikan. Dia takut salah dengar karena jarak diantara mereka. "Kata Pak Imam, Eksas datang." Daffa mencari ponsel di dalam tas. Dia tidak sadar bahwa ponselnya kehabisan daya sehingga mati total. Entah sejak kapan ponselnya mati, Daffa tidak tahu. Daffa mengelap sebentar keringatnya dengan handuk kecil. Setelah itu dia mengambil tas dan meminjam motor Zeef. Tentu saja Zeef langsung memberikan kunci motor. Daffa menghilang dengan cepat. Bahkan teman-temannya sedikit tidak percaya. Mereka tahu kalau Daffa sudah bermain basket, maka dia tidak akan berhenti sebelum benar-benar lelah. Sedangkan sekarang baru bermain tiga puluh menit saja tapi Daffa sudah pergi. "Istri siapa yang datang?" Teman kampus mereka yang tidak tahu hubungan Daffa langsung meminta penjelasan dari Zeef. Untuk mengaburkan fakta, Zeef langsung tertawa seakan-akan apa yang baru saja mereka adalah sebuah bualan semata. "Istri Daffa lah," ujarnya santai. Gelak tawa terdengar. "Iya kali udah punya istri. Didekati cewek aja dia ogah." "Gue malah ngira dia nggak normal." Arsen ikut berbicara. Dia adalah teman satu kelas Aldi. Kebetulan dia juga sudah basket jadi main bersama. "Astagfirullah. Mana mungkin!" "Soalnya ada yang minta nomornya malah nggak mau kasih. Padahal cewek yang minta cantik-cantik." Arsen memberi alasan yang tidak mendasar sama sekali. Diantara mereka berempat, emang Daffa dan Bima yang hidupnya seperti tidak ada perempuan. Bahkan mereka juga tidak punya teman perempuan. Kalau Aldi dan Zeef masih dekat dengan perempuan-perempuan yang ada di kelas atau yang ada diorganisasi yang mereka ikuti. "Otak lo perlu dikasih deterjen tu biar bersih." Aldi tertawa kecil. "Enak aja!" Arsen menatap Aldi dengan tajam. "Makanya jangan pikir yang aneh-aneh. Orang normal malah dibilang nggak normal. Kalau Daffa sampai dengar, pasti lo langsung abis di tangannya." Aldi menakut-nakuti. "Lo jangan ngadu juga." Aldi hanya menepuk bahu Arsen dua kali. Setelah itu dia kembali ke lapangan. Mana mungkin orang-orang percaya jika Daffa menikah. Sejak awal masuk kuliah, Daffa termasuk laki-laki tampan yang sulit didekati oleh perempuan jurusan manapun. Jelas saja banyak yang menyukainya baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Apalagi kalau Daffa sudah memakai motor sport miliknya lengkap dengan helm dan jaket. Siapapun tahu harga motor tersebut. Daffa bergegas untuk pulang. Bisa-bisanya dia tidak sadar ponselnya kehabisan daya. Daffa membawa motor dengan kecepatan tinggi. Dia sudah terbiasa dengan kecepatan di atas rata-rata. Tapi kalau masuk ke kawasan gang, dia akan membawa dengan pelan. Dari jauh, Daffa bisa melihat seseorang duduk di atas sepeda. Meskipun tidak terlalu jelas, Daffa bisa menebak siapa orang itu. "Kenapa ke sini?" tanya Daffa langsung. Wajahnya masih merah efek bermain basket. "Apa aku nggak boleh ke sini?" Hati Eksas sedikit sedih. Tapi dia tidak menunjukkannya. "Boleh. Maksud aku, ada apa sampai kamu ke sini?" Daffa memperbaiki pertanyaannya. Dia tidak boleh berbicara singkat dan irit karena akan menciptakan kesalahpahaman. Eksas tersenyum manis. "Mau anterin makanan." Ia menunjukan kotak bekal. Daffa tidak bisa berkata-kata. Dia kira ada hal yang begitu penting. Apalagi melihat sang istri datang dengan sepeda. Pasti sangat melelahkan. "Kenapa nggak suruh aku buat jemput?" "Coba lihat ponsel Kakak, aku udah chat banyak lo." Eksas sudah memutuskan untuk memanggil Daffa dengan embel Kakak karena Daffa jelas saja lebih tua darinya. Daffa mengambil ponsel dari dalam tas. "Ponsel aku mati karena kehabisan daya," jelasnya sambil menunjukkan kepada Eksas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD