Perhatian Tidak Terduga

1075 Words
"Pantas nggak balas pesan aku. Dihubungi juga nggak bisa." Setidaknya Eksas tidak berpikir negatif kenapa Daffa tidak kunjung membalas pesannya. "Maaf." "Nggak apa-apa kok, Kak." Eksas tidak merasa kecewa atau apapun. Daffa melihat ada keringat di dahi dan juga atas bibir Eksas. Dia langsung mengusap keringat itu dengan lengan kemejanya sendiri. Tentu saja Eksas kaget. "Jangan, nanti baju Kakak kotor." Dia menahan tangan Daffa. "Bisa dicuci." Daffa kembali mengusap keringat sang istri yang sempat tertunda. Hal kecil seperti ini tentu menimbulkan sedikit gejolak dalam hati Eksas. Apalagi dia belum pernah merasakan perasaan suka atau sebagainya. Bukan dia tidak ingin, tapi karena keadaan dia hanya fokus untuk mencari uang dan bertahan hidup. "Besok-besok nggak usah pakai sepeda lagi kalau ke sini." Daffa tidak tega sendiri. Apalagi sudah malam. Bagaimana kalau Eksas digoda oleh orang lain? Membayangkan saja sudah membuatnya kesal. "Terus pakai apa? Jalan kaki?" "Jangan!" Naik sepeda saja dia tidak mengizinkan apalagi jalan kaki. Eksas mengerutkan kening. Kalau tidak naik sepeda atau jalan kaki, lalu bagaimana caranya ia bisa sampai disini? Eksas tidak punya sayap sehingga tidak akan bisa terbang. Siapa juga manusia yang memiliki sayap. "Apa naik ojek aja?" Daffa menggeleng. "Kalau mau kesini bilang, aku bakal jemput." "Pake apa?" Eksas tahu bahwa suaminya tidak ada motor atau kendaraan lain. Daffa menunjuk motor yang sedang ia duduki sekarang. "Motornya punya siapa?" "Teman." Eksas menggelengkan kepala. "Nggak usah, aku bisa datang ke sini sendiri kok." "Pokoknya jangan. Aku yang jemput. Kamu tinggal bilang kalau mau ke sini." Daffa tidak akan membiarkan Eksas datang seperti ini lagi, apalagi kalau sampai berjalan kaki. Eksas tidak memberi respon. Dia hanya menatap sang suami. "Kamu dengar nggak?" "Iya, Kak. Aku dengar." "Baguslah." Daffa membawa Eksas untuk masuk ke perumahan. Dia juga mengkonfirmasi identitas Eksas kepada Pak Imam sehingga jika selanjutnya Eksas datang tidak perlu untuk dihentikan lagi. Perumahan disini tergolong cukup elit. Apalagi setiap rumah ada mobil. "Apa disini banyak mahasiswa kampus yang tinggal?" tanya Eksas sedikit penasaran. "Ada." "Cewek atau cowok?" "Cewek ada, cowok pun ada." Eksas mengangguk mengerti. Ternyata kehidupan orang tidak ada yang sama. Meskipun mereka sama-sama mahasiswa, tapi kehidupannya jelas saja berbeda. Tidak butuh waktu lama. Daffa sudah sampai di depan kos. Padahal sudah ada petugas keamanan didepan, tapi tetap saja setiap rumah memiliki pagar sendiri. "Biar aku yang geser." Eksas turun dari sepeda untuk menggeser pintu pagar atau gerbang rumah tersebut sehingga Daffa tidak perlu turun dari motor. "Terima kasih." Eksas tersenyum. "Sama-sama. " Meskipun Daffa terlihat dingin dari luar. Bahkan seperti sulit untuk didekati, tapi dia tidak pernah merasa berat hati untuk mengucapkan kata maaf, terima kasih ataupun tolong. Daffa membuka pintu rumah. Dia membuka sepatu dan meletakkan di tempatnya. "Ada berapa kamar di rumah ini, Kak?" "Ada tiga." Daffa masuk ke dalam rumah. Dia meletakkan tas di sofa begitu saja. Tapi Daffa tidak mendengar suara langkah kaki yang mengikuti dirinya. Langsung saja ia memutar tubuh ke belakang untuk melihat "Kenapa tidak masuk?" tanyanya. Ternyata Eksas masih berdiri di luar rumah. "Nggak usah kak, aku disini aja." Eksas merasa sungkan untuk masuk. Apalagi di rumah ini tidak hanya suaminya saja yang tinggal. Tapi ada 2 orang lagi. Daffa menghela nafas panjang. "Masuk." "Tapi..." "Masuk sendiri atau aku gendong?" Mata Eksas langsung membelalak. Apa suaminya serius atau bercanda, Eksas tidak tahu. Apalagi kalau melihat wajah Daffa, dia tampak serius sekali. "Nanti kalau teman Kakak datang gimana?" "Mereka pulangnya masih lama." Mulut Eksas tidak bisa lagi mengatakan berbagai alasan. Dia membuka sandal dan masuk ke dalam rumah. Jujur saja, baru kali ini Eksas masuk ke kos laki-laki. Rasanya sedikit canggung. Eksas bahkan tidak tahu harus melakukan apa, atau berdiri dimana. "Kamu mau tunggu disini atau di dalam kamar?" "Ha?" Eksas kaget. "Aku mau mandi sebentar." Daffa merasa badannya sudah lengket sekali. Ia takut bau badannya membuat Eksas tidak nyaman. Wajar saja karena ia baru saja selesai bermain basket. Keringat banyak yang keluar. Jadi Daffa memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu agar merasa sama-sama nyaman. "Kalau begitu aku pulang saja." "Belum jam sembilan." Daffa melihat jam di pergelangan tangannya. "Tapi kan Kakak mau mandi." "Apa masalahnya?" "Ya..." Eksas berusaha mencari kata-kata yang cocok. Dia takut saat Daffa membersihkan diri, teman kosnya malah datang. Pasti suasananya akan sangat tidak nyaman. "Pokoknya jangan pulang dulu." "I-iya." Eksas tidak bisa membantah sama sekali. Daffa tidak menghabiskan waktu yang banyak untuk membersihkan diri. "Mau tunggu disini atau di kamar aku?" "Di sini aja." Eksas menjawab dengan cepat. Dia bahkan duduk di sofa ruang keluarga karena dekat dengan kamar Daffa. Sebelum Daffa membersihkan diri. Dia mengambil beberapa cemilan di dalam kulkas. Ada s**u, ada roti, ada air putih, ada buah-buahan yang diletakkan di atas meja. "Makan saja," suruh Daffa. "Iya, Kak." Eksas tidak bisa menolak. Apalagi Daffa sudah bersusah payah membawanya makanan itu dengan tangannya sendiri. Sembari menunggu, Eksas melihat beberapa sudut rumah yang ditinggal oleh sang suami. Semua fasilitas di dalamnya lengkap. Bahkan Eksas merasa takjub dengan kitchen set rumah ini. Kalau saja kitchen set kosnya juga seperti itu, maka Eksas akan lebih semangat untuk masak. Meskipun kos laki-laki, tapi rumah tampak bersih. Bahkan tidak ada piring kotor di wastafel. Eksas begitu memperhatikan seisi rumah yang bisa ia lihat. Tanpa sadar, matanya mengarah pada kamar yang pintunya terbuka lebar. Tentu saja kamar itu milik suaminya. Daffa sengaja membuka pintu agar Eksas tidak perlu merasa takut saat dirinya membersihkan diri. Tapi hal itu membuat Eksas melihat Daffa yang hanya menggunakan celana pendek saja. Jantungnya berdetak dengan cepat. Padahal sebelumnya Eksas sudah pernah melihat Daffa bertelanjang d**a di pondok dalam hutan. Harusnya ia merasa biasa saja jika melihatnya, tapi entah kenapa jantung Eksas berdetak tidak jelas. Wajah Eksas memerah, ia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Padahal mereka sudah suami istri, jadi hal seperti ini tidak akan masalah. Bahkan walaupun lebih juga tidak masalah. "Apa lama?" tanya Daffa. "Nggak kok." Eksas tidak berani menatap lawan bicaranya. Tanpa merasa canggung, Daffa langsung duduk disamping Eksas. Dia mengambil s**u kotak dan langsung meminumnya. Keheningan terjadi. Eksas malah tampak panik. Dia takut kalau Daffa bisa mendengar detak jantungnya. "Kakak tadi dari mana?" Eksas memberanikan diri untuk bertanya. "Kampus." "Apa ada kegiatan?" "Enggak." "Terus ngapain?" "Main basket." "Sama siapa?" "Anak kampus." "Oh gitu." Obrolan terhenti. Keheningan kembali terjadi. Eksas berusaha mencari topik obrolan agar suasana tidak semakin membuat keduanya merasa canggung. Lebih tepat, hanya Eksas yang merasa canggung karena Daffa terlihat biasa saja. Kalau tahu begini, lebih baik Eksas tidak masuk dan langsung pulang setelah memberikan kotak bekal. Tapi Daffa tidak memperbolehkannya untuk pulang sehingga Eksas
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD