Sedikit Sensitif

1166 Words
Berhubung Eksas sudah tidak lagi bekerja part time, maka dia punya banyak waktu luang. Mama mertuanya sedikit keberatan jika Eksas masih bekerja part time. Apalagi Eksas juga dituntut untuk aktif di kampus. Jadi mau tidak mau, Eksas tidak bekerja lagi. Hidupnya sedikit lebih santai dari sebelumnya. Ini semua berkat keluarga suaminya. Kebaikan mereka tidak mungkin disia-siakan oleh Eksas. Sebisa mungkin, Eksas akan bertindak sebagaimana yang diinginkan oleh mertuanya. Sebenarnya tidak banyak, mereka hanya ingin Eksas fokus kuliah dan sedikit memperhatikan Daffa. "Tumben masak," ujar salah satu teman kos Eksas. Mereka juga satu jurusan yaitu ilmu komunikasi. Nama teman Eksas adalah Rena. "Iya, lagi pengen aja." Rena menatap masakan Eksas. Terlihat enak sekali, apalagi yang dimasak Eksas adalah sup daging sapi. "Kamu gajian ya?" Daging sapi lumayan mahal apalagi untuk anak kos seperti mereka. Jika ingin makan daging, lebih baik beli dirumah makan saja. "Gajian apa?" Eksas mengerutkan kening. Padahal dia sedang tidak bekerja. "Masaknya daging sapi. Kan mahal." Eksas menyengir. Dia lupa kalau belum ada yang tahu tentang pernikahannya dengan Daffa. "Kebetulan lagi ada uang." "Oh gitu. Tapi aku lihat kamu masaknya banyak banget." Rena menatap sup daging tersebut. Dia tampak menginginkan jadi Eksas berinisiatif untuk menawarkan. "Kalau dikasih ya mau lah," jawab Rena sambil menyengir ketika Eksas menawarkan. Setelah memberikan sedikit kepada Rena. Eksas memisahkan juga untuk sang suami. Dia sengaja masak seperti ini ya untuk suaminya. Selama beberapa hari ini Daffa sering membeli makanan diluar. Biasanya juga begitu, tapi kalau terus-terusan tentu saja tidak baik. Sebenarnya Daffa atau Mama mertuanya tidak menyuruh. Mereka tidak ingin menyusahkan Eksas sama sekali. Tapi Eksas melakukan atas kemauan sendiri dan dia merasa senang-senang karena ada kegiatan daripada sekedar hanya berbaring di atas ranjang sambil bermain ponsel saja. Eksas sudah memasukkan sup daging ke dalam kotak bekal. Dia tinggal mengantarkan ke kos sang suami. Eksas belum pernah ke kos Daffa, tapi Daffa sudah pernah mengirim lokasi yang tentu saja akurat. Eksas tinggal mengikuti maps untuk sampai disana. Sebelum itu, ia mengirim pesan terlebih dahulu. Berhubung tidak kunjung dibalas, lebih baik Eksas segera membersihkan diri karena sudah sore. *** "Rokok dong," pinta Zeef kepada siapapun yang punya rokok. Bima langsung mengeluarkan kotak rokok dan melemparnya ke atas meja. "Wih... rokok orang kaya memang beda." Zeef mengambil rokok yang harganya lumayan mahal. Mungkin sekitar 40 sampai 45 ribu rupiah. Bima menatap sang teman dengan tajam. Selalu saja dia dibilang kaya padahal teman-temannya juga kaya. "Tolong sadar diri." "Sejak kapan gue kaya? Isi dompet aja bikin nangis." "Bangkrut beneran bokap sama nyokap lo tau rasa." Mata Zeef langsung melotot. "Doa lo kok buruk gitu?" "Lo yang mulai." Aldi dan Daffa tidak terlalu peduli. Mereka menyesap minuman yang tinggal setengahnya. Sudah tiga puluh menit mereka nongkrong di cafe ini. "Oh ya motor lo gimana?" tanya Aldi kepada Daffa. Ia kira setelah libur semester, motor akan kembali dikirim kesini. Tapi sampai sekarang tidak ada. Daffa menggeleng. Dia sudah berusaha membujuk sang papa tapi tetap tidak ada hasilnya. "Bilang aja lo kesusahan kalau nggak ada motor disini." Bima memberi usul. "Benar tuh." Zeef setuju. Setelah mereka berdebat, sekarang mereka malah satu pikiran. "Gue udah bilang gitu, tapi bokap gue malah nyuruh gue beli motor biasa." Daffa sedikit tidak bersemangat. Padahal tangannya sedikit gatal ingin balapan. Baginya balapan sungguh membuat jiwanya terasa bebas saja. Rasanya benar-benar menggembirakan. Teman-temannya tertawa. "Nasib lo buruk banget." Daffa menunjukkan kepalan tangan agar ketiga temannya berhenti tertawa. Tapi kalau mereka bertiga sudah bergabung, maka tidak akan ada yang takut dengan kepalan tangan Daffa. Berbeda kalau sedang sendiri. Daffa sedikit sensitif akhir-akhir ini karena hobinya tidak tersalurkan. Dia mengambil kotak rokok dan mengeluarkan sebatang rokok. Kopi dan rokok adalah perpaduan yang cukup baik untuk melepaskan sedikit pikiran kalutnya. Padahal dia bisa saja melakukan hal yang lebih positif dari ini. "Suruh istri lo aja yang bujuk, gue rasa kedua orang tua lo bisa luluh." Bima menemukan ide brilian. Apalagi Eksas cukup dipercaya dan diandalkan oleh kedua orang tua Daffa. "Istri?" Daffa mengerutkan kening. "Wah... Dia lupa kalau udah punya istri." Zeef menggelengkan kepala saking tidak percayanya. "Gimana nggak lupa, ketemu aja nggak pernah." Aldi saja sampai tidak percaya hubungan apa yang sebenarnya terjadi antara Daffa dan istrinya. Suami istri kok tidak pernah bertemu. Bahkan orang yang menjalin hubungan tidak halal saja bisa bertemu setiap hari. "Serius?" Zeef sedikit tidak percaya. "Iya, gue yakin." Ali begitu yakin. Apalagi ia melihat istri sang teman lewat foto saja. Gambarnya juga tidak terlalu jelas. "Parah sih. Kalau gitu, ngapain nikah?" Bima langsung menyenggol lengan Zeef. Padahal dia sudah menceritakan secara singkat apa yang sebenarnya terjadi sampai Daffa bersedia menikahi Eksas. "Iya iya gue tau. Tapi aneh aja." "Udah selesai bicaranya?" Daffa yang diam sejak tadi langsung membuka mulut. Ketiga temannya langsung menyengir. Kalau sudah serius begini, Daffa sedikit menakutkan. Padahal kalau dirumah, dia seperti anak manja. "Jurusan istrinya apa?" Aldi bertanya dengan nada pelan agar tidak didengar oleh Daffa. "Teknologi pangan." Aldi terkejut. Ternyata satu jurusan dengannya. Tapi kenapa dia tidak tahu? "Junior gue, namanya siapa?" Aldi lupa-lupa ingat dengan nama istri sang teman. Mungkin baginya tidak terlalu penting jadi tidak perlu diingat. "Eksas. Kenapa?" jawab Daffa. Raut wajahnya sedikit tidak bersahabat. Padahal Aldi hanya bertanya nama saja. Dari awal Daffa sudah tahu sang istri satu jurusan dengan salah satu temannya. "Eksas?" Aldi memastikan. Kali saja telinganya bermasalah. "Iya. Emang kenapa sih?" Bima bingung dengan respon Aldi yang terlalu lebay. "Wah..." Aldi tidak mampu berkata-kata lagi. "Emang kenapa?" Zeef ikut penasaran. Dia tidak terlalu tahu tentang jurusan yang lain, wajar jika bertanya. "Incaran banyak orang di jurusan gue, bahkan satu fakultas." Aldi mengambil ponsel di atas meja dan mengotak atik sebentar. "Eh serius?" Zeef dan Bima kaget. "Iya, ini bukan?" Aldi menunjukkan foto Eksas dengan jelas berfoto bersama-sama dengan beberapa orang. Ada Aldi juga disana. "Iya, ini." Bima membenarkan karena dia memang sudah melihat Eksas secara langsung. Daffa menarik ponsel Aldi dan melihat sendiri. Sebenarnya ia ingin tidak peduli, tapi tampaknya tidak bisa. "Bayangin aja, dia itu kayak paket kompleks." Aldi berbicara dengan penuh semangat. Dia seakan tidak peduli dengan ponsel yang ada di tangan Daffa. Entah apa yang sedang Daffa lakukan pada ponselnya. "Bicaranya lembut tapi kadang bisa tegas, orangnya juga cantik dan bertanggung jawab. Satu lagi, dia juga pintar. Sia-" Daffa memasukkan ponsel kepada mulut yang punya sehingga Aldi berhenti berbicara. "Aduh... gigi gua." Aldi memeriksa giginya. Terjadi benturan gigi dan ponsel. Ia kira berdarah atau bagaimana. Ternyata giginya masih aman. "Lo kenapa sih?" Aldi kesal sendiri. "Nggak usah ngomongin istri gue!" "Tadi lupa kalau udah punya istri, tapi pas diomongin sama laki-laki lain malah marah." Aldi menyindir sang teman secara terang-terangan. "Bisa diam nggak?!" "Ck, untung teman. Kalau nggak habis lo," gerutu Aldi sendiri. Zeef tertawa kecil karena memang dia duduk disamping Aldi. "Emang lo berani?" tanyanya. "Nggak sih," jawab Ald. Dia hanya bicara saja. Mana mungkin berani, yang sering berantem zaman SMA ya Daffa. Sampai orang tuanya dipanggil beberapa kali. Sebenarnya saat itu Daffa bertengkar bukan untuk bersenang-senang, tapi dia akan menghajar orang yang tidak baik. Seperti pelaku bullying dan orang yang mengganggunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD